03 Desember 2009

KAPAL-KAPAL NUSANTARA

MENUJU JAYAKARTA

CATATAN sejarah mengenai masyarakat pertama kali yang bermukim dan hidup secara teratur di kawasan yang kini dinamakan Jakarta, diduga adalah penduduk Kerajaan Tarumanegara, sekitar abad ke-5. Saksi tertua akan informasi tersebut adalah Prasasti Tugu, yang hampir seribu empat ratus tahun lamanya tertanam di desa Batu Tumbuh (Tugu), Jakarta Utara, dan pada tahun 1911 dipindahkan ke Museum Nasional. Bekas tempat berdirinya prasasti itu kini tertutup jalan aspal, walaupun inilah monumen historis tertua tentang Jakarta.

Tentang Prasasti Tugu ini, A.Heuken SJ (Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta), menyebutkan bahwa prasasti tersebut berkaitan dengan empat prasasti tua di Jawa lainnya yang berasal dari masa Purnawarman, penguasa Kerajaan Tarumanegara. Keempat batu lainnya yang juga ditulis dalam bahasa Sansekerta adalah: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Cidanghiang (Lebak), Prasasti Kebon Kopi (Ciampea) dan Prasasti Jambu (Nanggung; sebelah barat Bogor).


Pada akhir abad ke-7, Kerajaan Tarumanegara diduga kuat sudah lenyap. Daerahnya takluk pada Sriwijaya untuk kemudian pada abad ke-11 berada pada pengaruh Jawa sebagaimana ditunjukkan melalui Prasasti Citatih (Cibadak, 1030 M). Tentang istilah Sunda (Kelapa) itu sendiri baru muncul pada abad ke-10, sebagaimana Prasasti Kebon Kopi II (942 M) dan sebuah catatan (buku) Cina yang mengandung uraian tentang Sunda, Chu-fan-chi, karangan Chau Ju-kua (1178-1225).

Menurut Abdurrachman Surjomihardjo (Sejarah Perkembangan Kota Jakarta), berita-berita tentang adanya masyarakat yang menetap di daerah Jakarta sekarang ini pasca Purnawarman hingga datangnya Portugis tidak banyak jumlahnya. Baru pada awal abad ke-16 terdapat lagi berita-berita mengenai bekas daerah Purnawarman itu.


Di daerah itu muncul pelabuhan yang dikenal sebagai Sunda Kelapa yang berada dalam pengawasan kerajaan Hindu Sunda, Kerajaan Pakuan Pajajaran, dengan Ibukota kerajaannya terletak di sekitar Batutulis (Bogor). Orang-orang Tionghoa golongan tua yang ternyata telah cukup lama berkunjung ke kawasan ini kadang masih menyebut Sunda Kelapa sebagai Kota Yecheng atau Kota Kelapa.

Adalah Tome Pires (The Suma Oriental), seorang musafir Portugis yang mengunjungi Sunda Kelapa, menuliskan bahwa pelabuhan ini telah dikunjungi kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Madura dan juga pedagang-pedagang dari India, Tiongkok Selatan dan kepulauan Ryuku (kini Jepang). Pires yang datang bersama Enrique Leme, utusan Gubernur Jenderal Portugis, d'Alboquerque, tiba di Sunda Kelapa pada 1522.


Kehadiran mereka ini memang telah ditunggu Raja Sunda Samian atau Sangiang (Sang Hyang) Surawisesa (1521-1535), yang ketika masih menjadi putra mahkota sempat mengunjungi d'Alborquerque yang telah menguasai Malaka sejak 1511. Dan selanjutnya, pada 21 Agustus 1522 disepakati sebuah perjanjian persahabatan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Portugal. Menurut A.Heuken SJ (Historical Sites of Jakarta), "inilah perjanjian internasional pertama di negara kepulauan yang kemudian dikenal sebagai Indonesia kini".
Di dalam tulisan J.D. Baros (Da Asia), dalam perjanjian itu, saksi dari Sunda Kelapa adalah 'Padam Tumongo, Ssamgydepati et Bemgar, - yakni Paduka Tumenggung, Sang Adipati dan (Syah)bandar dan dari pihak Portugis delapan orang. Masing-masing, Fernao de Almeida (bendahari pelayaran); Fransisco Eanes (pencatat muatan); Joao Countinho; Gil Barbosa; dan Thome Pinto.


Menurut Hoesein Djajadiningrat (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten), perjanjian itu (tidak ditandatangani oleh pihak Sunda, tetapi) disyahkan menurut adat dengan mengadakan selamatan.

Sebagai tanda perjanjian tersebut, sebuah batu besar ditanam di pantai. Batu yang disebut padro itu ditemukan kembali pada tahun 1918, waktu dilakukan penggalian untuk membangun rumah baru di pojok persimpangan Prinsen Straat dan Groene Straat di Jakarta Kota. Jalan-jalan itu sekarang bernama Jl Cengkeh dan Jl Nelayan Timur. Adapun batu padrao sekarang disimpan dalam Museum Nasional di Jl. Medan Merdeka Barat. Lokasi semula batu ini menunjukkan, bahwa pantai pada awal abad ke-16, kurang lebih lurus dengan garis yang kini menjadi Jl. Nelayan.


Tentang kenapa Raja Pakuan Pajajaran menerima perjanjian tersebut diduga karena mereka memandang kehadiran Portugis akan memperkokoh posisi mereka dalam urusan niaga terutama lada, maupun dalam menghadapi tentara Islam dari Kesultanan Demak, yang kekuatannya sedang naik daun di Jawa Tengah.

Tentu saja, Perjanjian Sunda-Portugis ini mencemaskan Sultan Trenggana dari Demak. Maka, karena itu pada tahun 1526/1527, Fatahillah, panglima pasukan Cirebon, yang bersekutu dengan Demak, mendatangi Sunda Kelapa dengan 1.452 orang tentara. Dan sejak itu, penduduk Sunda yang terkalahkan mundur ke arah Bogor.


Adapun Jayakarta (nama baru Sunda Kelapa sejak 1527) dihuni oleh 'Orang Banten' yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon bersama saudagar-saudagar Arab dan Tionghoa di muara Ciliwung. Adapun penguasaannya berada di bawah Cirebon dan untuk kemudian di bawah Banten.

Menurut perhitungan dan perkiraan Dr. Soekanto, kejadian itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527, yang kini dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Menurut Soekanto, pada hari itu Fatahillah memberi nama baru pada Sunda Kelapa karena kemenangannya atas tentara Hindu Sunda dan awak kapal Portugis. Tetapi, dasar historis hipotesis tersebut ada beberapa yang meragukannya. Setidaknya Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo pada tahun 1956, sewaktu menghadiri perayaan pertama hari ulang tahun Jakarta merasa terheran-heran dan setengah mengejek 'peringatan ganjil' itu.


Sementara itu, menurut Prof.Dr.Slametmuljana dari Universitas Indonesia, penamaan kota ini menjadi Jayakarta baru diperoleh dari adipati yang ketiga, yakni Pangeran Jayawikarta atau Wijayakarta. Namun, belum terdapat data sejarah yang pasti membenarkan salah satu hipotesis tersebut. Hanya saja, Walikota Soediro (1952-1960), memperoleh dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk teori Dr. Soekanto. Maka, pemerintah Jakarta berpegang pada teori ini. Keputusan 1956 tersebut disebut sebagai 'kemenangan Soediro' berlandaskan 'kemenangan Fatahillah' yang kurang pasti tanggalnya. Dengan demikian, sebagaimana diungkapkan ahli sejarah Abdurrachman Surjomihardjo, perdebatan historis itu telah diselesaikan (?) dengan keputusan politis.

Dan, menurut Dr. Soekanto, sebagai seorang pimpinan Muslim, Fatahillah tentu teringat kepada Surah Al-Fath, ayat 1, yang berbunyi, "Inna fatahna laka fathan mubinan," (Sungguh Kami telah memberi kemenangan kepada mu, kemenangan yang tegas atau Jayakarta). Sementara menurut Abdurrachman Surjomihardjo, di samping itu, sering pula dipakai kata Surakarta, yang berarti karya yang berani dan sakti. Tetapi nama Jayakarta lebih terpakai. Adapun, nama Jakarta itu sendiri muncul pertama kali dalam buku Joao de Barros, Da Asia…, (Xacatra por outro nome Caravam - 'Xacatra yang disebut juga Caravam (=Karawang).
Naskah ini diterbitkan pada tahun 1552 dari sumber yang lebih tua. **
Mencari Sosok Gubernur Bank Indonesia Yang Ideal


Tidak terasa sudah lebih dari 6 bulan, Bank Indonesia berlayar di tengah-tengah kekacauan ekonomi Indonesia tanpa kehadiran seorang Nakhoda. Semenjak Gubernur Bank Indonesia, Boediono mengundurkan diri karena menjadi Wakil Presiden pada bulan Mei 2009, praktis sampai hari ini Bank Indonesia tidak lagi memiliki seorang leader. Memang, jabatan Gubernur Bank Indonesia saat ini dilaksanakan oleh Deputi Gubernur Senior. Akan tetapi, hal itu kurang lengkap, mengingat Bank Indonesia saat ini berada dalam titik terendah kepercayaan publik akibat kasus Bank Century, maka kehadiran sosok Gubernur yang mampu menyelesaikan polemik Bank Century dan membawa Bank Indonesia menjadi bank sentral yang kredibel sangat dibutuhkan.

Merefleksikan diri dengan sejarah, apabila kita kembali ke masa lalu maka akan didapatkan bahwa sosok yang menjadi Gubernur Bank Indonesia seolah menjadi sasaran tembak bagi kepentingan-kepentingan politik. Sejarah berbicara bahwa sebagian besar Gubernur Bank Indonesia selalu tersandung dengan masalah hukum saat menjabat ataupun setelah tidak lagi menjabat. Praktis, hanya Loekman Hakim, Soetikno Slamet, Soemarno, Radius Prawiro, Rachmat Saleh, Arifin Siregar, dan Adrianus Mooy yang 'aman' lolos dari jeratan hukum saat menjadi Gubernur Bank Indonesia.

Dimulai dari Gubernur Bank Indonesia yang pertama, Sjafruddin Prawiranegara. Kegigihan beliau untuk menjadikan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen menjadikan bumerang bagi kepemimpinannya di Bank Indonesia. Pemerintah saat itu yang sedang kekurangan uang, terus meminta kepada Bank Indonesia. Sjafruddin, sebagai sosok yang keras tentu saja terus berusaha menolak hal itu, karena akan mengakibatkan dampak yang kurang baik bagi perekonomian Indonesia, dan itu terbukti saat inflasi Indonesia mengalami lonjakan di pertengahan dekade 1950-an. Perlawanan yang dilakukan oleh Sjafruddin membuat pemerintah berang, dan akhirnya menuduh Sjafruddin terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatera. Sjafruddin kemudian dicopot dari jabatannya pada Januari 1958, dan menjadi buron pemerintah, bahkan sempat dipenjara.

Gubernur Bank Indonesia selanjutnya yang mengalami masalah dengan hukum adalah Jusuf Muda Dalam. Penggagas pembentukan bank tunggal ini, dihukum mati oleh Pemerintah Orde Baru karena kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia. Masa kepemimpinan Jusuf Muda Dalam yang singkat (3 tahun) menjadikan Bank Indonesia sebagai kasir bagi proyek-proyek pemerintah. Perekonomian terpuruk, inflasi meroket, dan keadaan sosial-politik sangat carut-marut waktu itu.

Setelah 30 tahun mengalami masa yang tenang, tanpa gejolak politik dan ekonomi yang kuat, maka pada tahun 1997-1998 Gubernur Bank Indonesia kembali menjadi pesakitan di depan hukum. Soedradjad Djiwandono, Gubernur Bank Indonesia saat itu, harus berurusan dengan hukum karena kebijakannya dalam kasus BLBI yang berpotensi merugikan negara hingga ratusan triliunan rupiah. BLBI yang awalnya kebijakan untuk menyelamatkan sistem perbankan nasional dari kehancuran total, malah menjadi buah simalakama bagi Bank Indonesia. Masyarakat yang tidak banyak mengetahui bahwa BLBI merupakan kebijakan pemerintah, dan Bank Indonesia hanya sebagai pelaksana kebijakan saja, menghujat Bank Indonesia sebagai bank sentral yang gagal. Uang ratusan triliun yang seharusnya bisa membantu rakyat yang sedang mengalami krisis justru diberikan kepada bankir-bankir hitam dan banyak yang dilarikan ke luar negeri. Hingga saat ini, benang kusut kasus BLBI belum terurai secara rapi, dan masih banyak aset negara yang perlu dikembalikan untuk modal pembangunan. Soedrajad Djiwandono dan jajaran direksinya pada waktu itu, mungkin belum bisa tenang sampai hari ini. Kasus BLBI terus dibiarkan mengambang oleh aparat penegak hukum, kadang hangat...kadang dingin...tergantung mood pemerintah untuk mengungkapkan kasus ini. Jadi, saya berpikir bahwa kasus ini akan menjadi cacat bagi penegak hukum dalam memberantas kejahatan kerah putih di Indonesia.

Pada tahun 1999, angin segar berhembus ke Bank Indonesia. Independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mengatur bidang perbankan, moneter, dan sistem pembayaran benar-benar membuat Bank Indonesia bebas untuk menentukan arah kebijakaannya demi memperlancar recovery dan stabilisasi perekonomian Indonesia pasca krisis. Akan tetapi, independensi Bank Indonesia justru menjadi semacam kutukan bagi para Gubernur yang memimpinnya. Seluruh Gubernur Bank Indonesia pada masa ini selalu tersandung dengan masalah hukum. Kerja keras Gubernur Bank Indonesia untuk mengeluarkan Indonesia dari berbagai krisis dianggap tidak berarti. Masalah ekonomi memang tidak ada, tetapi kasus-kasus yang menimpa Gubernur Bank Indonesia banyak terjadi di ranah politik, wilayah yang sebenarnya bukan menjadi core dari Bank Indonesia.

Syahril Sabirin, Gubernur Bank Indonesia periode 1998-2003, di tengah-tengah masa jabatannya tersandung masalah Bank Bali yang juga belum selesai sampai saat ini. Keinginan Gus Dur (Presiden Indonesia 1999-2001) untuk melengserkan beliau dari kursi BI 1 ternyata tidak berhasil. Syahril yang merasa tidak bersalah terhadap skandal Bank Bali terus dikejar dan malah sempat dijadikan tersangka dan mendekam di tahanan selama beberapa hari. Nuansa politis terhadap kasus Syahril sangat kuat, bahkan melibatkan pejabat pemerintahan saat itu. Syahril berhasil menyelesaikan jabatannya sampai pada waktunya, akan tetapi hal ini menjadi catatan buruk prestasinya yang telah berhasil membantu Indonesia keluar dari krisis yang parah.

Gubernur pengganti Syahril, yaitu Burhanuddin Abdullah (2003-2008) dapat dikatakan sangat tragis nasibnya. Prestasi beliau yang sangat mengagumkan karena membawa stabilisasi bagi perekonomian Indonesia ternyata tidak dianggap sama sekali. Dugaan penyaluran dana 100 miliar ke DPR untuk memuluskan pembahasan amandemen UU Bank Indonesia di tahun 2004 ternyata menjadi onak di masa jabatannya. Dia beserta beberapa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia yang lain menjadi pesakitan di depan pengadilan, hanya karena kebijakannya yang sebetulnya bukan kemauan dari Bank Indonesia. Kita semua mahfum, bahwa DPR merupakan lembaga wakil rakyat yang justru bukan representasi dari suara rakyat. Banyak oknum di DPR yang menjadi makelar undang-undang, dan terus meminta uang kepada lembaga yang akan diatur oleh undang-undang yang bersangkutan. Kini, Burhanuddin harus mendekam selama 5 tahun di dalam tahanan. Waktu yang sangat lama untuk seseorang yang dikenal bersih dan jujur seperti Burhanuddin.

Gubernur Bank Indonesia yang terakhir, yaitu Boediono (2008-2009) saat ini sedang tidak nyenyak tidurnya, karena adanya skandal Bank Century yang melibatkan diri beliau dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kucuran dana sebesar lebih dari 6.5 triliun untuk penyelamatan Bank Century banyak digugat oleh rakyat. Kemana dan untuk apa dana sebesar itu diberikan, padahal Bank Centruy bukanlah bank besar..?? bola salju kasus ini terus menggelinding, dan memunculkan banyak interpretasi di masyarakat. Audit investigatif BPK telah diserahkan, PPATK sedang membuat laporan aliran dana, hak angket telah disetujui, dan Pansus DPR telah dibuat. Semua itu untuk menguak tabir hitam di balik skandal dana Bank Century. Akan tetapi saya yakin, Boediono tidak bersalah dalam hal ini. Dia hanya sebagai pengambil keputusan yang mendegar masukkan dari para bawahannya. Dia tidak akan mempertaruhkan reputasinya sebagai orang yang bersih, jujur, dan anti korupsi hanya karena sebuah kebijakan.

Nah, bagaimanakan seharusnya sosok Gubernur Bank Indonesia yang ideal agar kejadian-kejadian di atas tidak terulang lagi. Cerdas, ahli, pegawai karier, dan jujur saja bukanlah sesuatu yang cukup. Dia harus mempunyai pandangan ke depan tentang perekonomian Indonesia, dan kuat dalam bargainning politik dengan pemerintah dan DPR. Ekonomi Indonesia yang sangat rentan di masa depan, membutuhkan sosok Gubernur Bank sentral yang tajam intuisinya dan mampu membuat kebijakan untuk mengantisipasi kondisi perekonomian yang memang tidak stabil. Kemudian, sosok yang kuat dalam bargainning politik juga sangat dibutuhkan sebagai seorang Gubernur Bank Indonesia. Jangan sampai, kasus para Gubernur Bank Indonesia pasca Independensi terulang kembali kepadanya. Dia harus mampu melobi pemerintah dan DPR, serta mampu mengatasi konflik kepentingan yang kerap terjadi diantara dua lembaga tersebut. Satu hal lagi mengenai sosok Gubernur Bank Indonesia yang ideal adalah dia mampu membawa Bank Indonesia sebagai lembaga yang terbuka dan dikenal oleh masyarakat. Banyak masyarakat yang belum mengenal tugas-tugas Bank Indonesia, sehingga ketika ada kasus tentang ekonomi mereka seolah-olah menunjuk Bank Indonesia sebagai pelakunya. Sudah saatnya Bank Indonesia keluar dari menara gading, dan terjun ke masyarakat, tidak lagi sebagai supervisor yang hanya menerima laporan, tetapi langsung faca to face dengan masyarakat. Semoga kriteria-kriteria tersebut ada di dalam sosok Gubernur Bank Indonesia yang baru....dan dia menjadi Ratu Adil bagi Bank Indonesia...Kita lihat saja nanti....

02 Juli 2009

Merasa sendiri....

saat ini gua merasa sendiri, ngga ada lagi tempat untuk berbagi.
saat ini gua hanya mendapatkan kelelahan lahir dan batin.
Tidak ada lagi kebahagiaan itu...
semua sudah berubah....

ah sudahlah..
mungkin dia harus mengembangkan karier...
gua hanya dianggap angin lalu....
tidak penting,....tidak berguna......

sekarang gua harus sabar....
sabar untuk menghadapi kenyataan....
siap menghadapi kenyataan yang sepahit apapun....
hanya berserah kepada Yang Maha Kuasa...

25 Juni 2009

Bekerja Adalah Ibadah

Kata orang bekerja adalah ibadah, dan ibadah itu tentu saja mendapatkan pahala.
Tetapi, apakah bekerja yang selalu diiringi dengan iri bisa mendapatkan pahala?? Ah sebuah ambigu dalam hidup.....

Kita bekerja karena banyak faktor, salah satunya untuk mencukupi kebutuhan hidup. Orang yang bekerja tentu saja patut bersyukur kepada Tuhan YME, karena sudah diberikan rejeki yang baik di dalam hidupnya. Namun, bila kita berada pada lingkungan bekerja yang tidak menyenangngkan, manajemen kerja yang amburadul, job deskripsi yang tidak jelas, dan status yang tidak jelas, tentu saja kita tidak dapat 100% bersyukur kepada Tuhan YME.

Mungkin Tuhan marah bila kita tidak mensyukuri nikmat yang diberikannya, tetapi kita mungkin Tuhan juga lah yang maha tahu, yang mana yang benar dan mana yang salah. Sekarang kita menyerahkan sepenuhnya kepada Sang Pencipta, karena Dia-lah yang mengatur hidup, rejeki, dan segalanya bagi umat manusia.

Kerja...kerja...dan kerja.....cuma itu yang sekarang bisa dilakukan, ditengah himpitan hidup dan persaingan yang ketat.....

24 Maret 2009

Manajemen Pengedaran Uang oleh Bank Indonesia Tahun 1980


Bank Indonesia sebagai lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkan yang rupiah sebagai alat pembayaran di Indonesia harus dapat menjamin tersedianya uang kartal sesuai dengan kebutuhan. Ketersediaan uang tersebut meliputi aspek kecukupan jumlah atau nilai uang, komposisi pecahan uang yang sesuai, waktu dan tempat yang tepat, serta kondisi uang yang baik dan layak edar. Untuk itulah diperlukan sebuah manajemen yang baik dalam pengedaran uang yang meliputi kegiatan penerbitan uang baru, pengadaan uang, penyebaran uang, serta pencabutan dan penarikan kembali uang dari peredaran. Bank Indonesia mulai melakukan manajemen pengedaran uang pada tanggal 1 Desember 1980, berdasarkan Surat Keputusan No.13/52/Kep/Dir/UPU tentan ketentuan-ketentuan pokok pelaksanaan pengedaran uang yang berlaku mulai tanggal 31 Desember 1980. Selain itu, masalah pengadaan bahan dan pencetakan uang, Bank Indonesia bekerja sama dengan Perum Peruri yang dituangkan dalam Perjanjian Pokok Hubungan Kerja tanggal 23 Maret 1981.


a. Penerbitan Uang Baru[1]


Penerbitan uang baru oleh Bank Indonesia pada umumnya dilakukan dalam rangka mempermudah masyarakat dalam melaksanakan transaksi. Uang baru yang diterbitkan merupakan pecahan yang belum pernah ada atau pecahan yang sama untuk menggantikan emisi/penerbitan sebelumnya. Prinisip yang diperhatikan dalam menerbitkan uang baru antara lain:
1. Uang harus mudah dan nyaman digunakan serta harus tahan lama agar mempunyai usia edar yang cukup lama.
2. Uang harus mudah dikenali masyarakat termasuk yang bermasalah pada penglihatan.
3. Unsur pengaman pada uang harus memadai sehingga tidak mudah dipalsukan.
4. Biaya pembuatan uang harus dijaga agar biaya pembuatan uang (nilai intrinsik) lebih kecil dari nilai nominalnya.

Atas dasar prinsip tersebut, maka Bank Indonesia melakukan persiapan dalam pembuatan uang, berupa:
1. Tema penerbitan uang.
Tema yang dipilih dalam penerbitan uang, misalnya tema seri pahlawan, seri hewan, ataupun seri kebudayaan.
2. Nilai nominal uang.
Bank Indonesia terlebih dahulu menentukan nilai nominal uang yang diterbitkan, sesuai dengan kebutuhan di dalam masyarakat.
3. Jenis bahan yang digunakan.
Bahan yang digunakan ditentukan oleh Bank Indonesia, yaitu berbahan kertas untuk uang kertas, dan alumunium serta cupronickel (campuran antara 75% tembaga dan 25% nikel) untuk uang logam.
4. Ukuran uang.
Ukuran yang ditentukan antara lain panjang dan lebar untuk uang kertas atau plastic, serta diameter, ketebalan, dan berat untuk uang logam.
5. Desain uang.
Desain yang ditentukan adalah gambar bagian depan dan gambar bagian belakang yang akan dipakai dalam uang.
6. Warna dominan pada uang.
7. Tulisan yang dicantumkan pada uang.
8. Penetapan unsur pengaman.
Diterapkan pada spesifikasi bahan uang dan teknik cetak uang.
9. Penetapan tanggal pengedaran uang.
Tanda mulai berlakunya uang sebagai alat pembayaran yang sah.

Dalam penerbitan uang baru, Bank Indonesia bekerja sama dengan Perum Peruri. Perum Peruri melakukan pengadaan bahan dan pencetakan uang sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sebelum diedarkan, Bank Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tentang penetapan uang baru yang diterbitkan sebagai alat pembayaran yang sah untuk wilayah Republik Indonesia sejak tanggal yang terdapat dalam Surat Keputusan tersebut. Selain itu Bank Indonesia melakukan kampanye atau sosialisasi agar masyarakat mengetahui dan mengenali uang baru yang akan diedarkan. Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara dan sarana, seperti siaran pers, penyuluhan, brosur, poster, media cetak, dan media elektronik.

b. Pengadaan Uang Rupiah[2]


Setelah menerbitkan uang baru, Bank Indonesia melakukan kegiatan pengadaan uang Rupiah. Bank Indonesia menyusun rencana pengadaan uang untuk memenuhi kebutuhan uang kartal dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan tersebut meliputi penyusunan rencana cetak uang, pengadaan bahan uang, dan pencetakan uang. Rencana cetak uang meliputi unsur-unsur jumlah kebutuhan uang yang diedarkan berdasarkan proyeksi kebutuhan riil masyarakat akan uang kartal dengan memperhitungkan jumlah uang untuk menggantikan uang yang dimusnahkan serta jumlah uang untuk persediaan kas yang aman.


Penyusunan rencana cetak uang mengacu kepada pola kegiatan kas di seluruh satuan kerja kas yang ada pada kantor kas dan kantor Bank Indonesia yang meliputi pola aliran uang keluar, aliran uang masuk, serta pemusnahan uang dari segi nilai maupun komposisi pecahan uang. Berdasarkan penyusunan rencana cetak uang selama satu tahun, kemudian Bank Indonesia merencanakan pengadaan bahan uang. Perhitungan bahan uang meliputi banyaknya bahan uang yang diperlukan untuk mencetak uang dan bahan uang yang diperlukan sebagai toleransi untuk tingkat kesalahan dalam pencetakan.


Bank Indonesia menempatkan pesanan bahan uang kepada Perum Peruri yang akan membeli bahan uang tersebut melalui proses lelang/tender. Penawaran harga dari peserta tender kemudian diajukan Peruri kepada Bank Indonesia untuk dimintakan keputusan. Setelah Bank Indonesia menyetujui, maka dilaksanakan pembelian oleh Peruri yang nantinya bahan uang tersebut akan diserahkan kepada Bank Indonesia untuk disimpan. Bahan-bahan yang disimpan kemudian diserahkan kepada Perum Peruri/percetakan lain apabila Bank Indonesia ingin melakukan pencetakan uang. Pesanan pencetakan uang disampaikan kepada Perum Peruri/percetakan dilakukan dengan penyerahan bahan yang disertai dengan jenis uang, pecahan uang, jumlah tiap pecahan, spesifikasi uang, jadwal penyerahan, kemasan uang, biaya, pengamanan, dan penyelesaian apabila terjadi masalah.


Di perusahaan percetakan dilakukan engraving, yaitu finalisasi gambar utama dengan sistem cukil yang memerlukan keahlian khusus dan waktu yang cukup panjang. Hasil dari proses ini adalah master cetak, yang kemudian akan diajukan dalam bentuk proof cetak, dalam bentuk satuan dan bentuk lembaran satuan kepada Gubernur Bank Indonesia untuk mendapatkan persetujuan. Apabila disetujui, maka proof cetak ini akan digunakan dalam produksi massal. Pencetakan dilakukan dalam beberapa tahap, dengan tahapan; cetak offset à cetak intaglio à pencetakan nomor seri. Seluruh hasil cetak diserahkan kepada Bank Indonesia sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Hasil cetak yang sempurna akan disimpan untuk keperluan pengedaran, sedangkan hasil cetak yang tidak sempurna akan dimusnahkan melalui prosedur yang berlaku.

c. Penyebaran Uang Rupiah[3]


Uang baru yang telah dicetak secara sempurna oleh Bank Indonesia akan disebar melalui kegiatan penyebaran uang rupiah, yang meliputi pengelolaan khasanah uang, pengiriman uang, pelayanan kas, dan pemusnahan uang. Sebelum melakukan penyebaran uang, Bank Indonesia menyimpan uang dan barang berharga lainnya dalam Khasanah Besar dan Khasanah kas harian. Khasanah besar menyimpan persediaan uang kartal dalam peti, hasil cetak uang yang belum diumumkan peredarannya, titipan pengiriman uang (remise) dari Kantor bank Indonesia, dan emas serta perak milik Bank Indonesia. Khasanah kas harian digunakan untuk menyimpan persediaan uang kartal untuk kebutuhan pembayaran dan penukaran sehari-hari, dan persediaan uang asing serta barang-barang berharga lainnya yang berkaitan dengan operasional perbankan.


Dari khasanah, kemudian dilakukan pengiriman uang yang dikenal dengan istilah remise. Kegiatan remise dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang disusun dengan memperhatikan pola kebutuhan uang kartal masing-masing satuan kerja kas. Pengiriman remise dilakukan dengan alat pengangkutan darat, kapal laut, dan pesawat udara. Pelayanan kas oleh Bank Indonesia kepada bank maupun non bank meliputi pelayanan pembayaran uang, penerimaan uang, dan penggantian uang. Pelayanan kas harus selalu diupayakan pelaksanaannya secara akurat, cepat , dan aman dari segi administratif maupun pengelolaan fisik uangnya. Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut, diperlukan perencanaan serta pengawasan yang baik atas kegiatan kas dengan mengacu pada aturan-aturan baku sebagai pedoman yang meliputi standar prosedur, tugas, wewenang, dan tanggung jawab.


Pelayanan penukaran uang kepada masyarakat merupakan salah satu bentuk kebijakan penyebaran uang rupiah yang dilakukan Bank Indonesia. Kegiatan tersebut biasanya berupa penukaran uang pecahan besar ke pecahan kecil atau sebaliknya, penukaran uang yang telah lusuh atau cacat, dan penukaran uang yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran dengan uang yang masih berlaku. Bank Indonesia juga melakukan pelayanan kas di luar Kantor Bank Indonesia pada saat jam kerja maupun diluar jam kerja. Kegiatan kas mobil pertama kali dilakukan di Jakarta oleh Bagian Kas Kantor Pusat Bank Indonesia berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.2/51 RUPA-RUPA tanggal 11 September 1969 perihal kegiatan kas mobil. Setelah sukses di Jakarta, kegiatan kas mobil kemudian juga dilakukan di kota Medan, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Dalam rangka clean money policy, Bank Indonesia menjaga agar uang yang beredar layak edar. Terhadap uang yang masuk dilakukan sortasi untuk memilah uang itu layak atau tidak untuk diedarkan. Uang yang tidak layak edar akan diberi tanda tidak berharga dan segera dilakukan pemusnahan dengan dibakar atapun dilebur.

d. Pencabutan dan penarikan kembali uang dari peredaran[4]


Manajemen pengedaran uang yang terakhir adalah kegiatan pencabutan dan penarikan kembali uang dari peredaran. Bank Indonesia melakukan kegiatan tersebut dikarenakan beberapa sebab, antara lain:
1. Uang telah beredar cukup lama, antara lima sampai tujuh tahun.
2. Emisi uang tersebut banyak dipalsukan, sehingga diperlukan emisi baru dengan pengaman yang lebih banyak dan baik.
3. Perkembangan situasi politik dan kebutuhan di dalam masyarakat.
4. Penyederhanaan komposisi pecahan dalam peredaran.
5. Persediaan bahan uang.


Pencabutan dan penarikan kembali dari peredaran dilakukan Bank Indonesia apabila uang baru penggantinya sudah cukup banyak beredar di masyarakat. Pencabutan diumumkan secara resmi dalam berita negara RI dan diketahui oleh masyarakat. Kepada masyarakat diberikan kesempatan untuk menukarkan dan mendapatkan penggantian dengan nilai yang sama dalam jangka waktu tertentu dan tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia. Setelah 30 hari sejak jangka akhir batas penukaran, Bank Indionesia akan member tanda tidak berharga (PTTB) untuk uang yang dicabut dan ditarik dari peredaran dengan cara memberikan lubang berbentuk segi enam berjajar di tengah uang yang dilakukan menggunakan mesin pons. Setelah PTTB, maka uang tersebut akan dimusnahkan sesuai prosedur yang telah ditetapkan.



[1] Diatur dalam Pasal 2 sampai Pasal 4 SK. Direksi Bank Indonesia tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pelaksanaan Pengedaran Uang.
[2] Diatur dalam Pasal 5 sampai Pasal 8 SK. Direksi Bank Indonesia tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pelaksanaan Pengedaran Uang.
[3] Diatur dalam Pasal 9 sampai Pasal 14 SK. Direksi Bank Indonesia tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pelaksanaan Pengedaran Uang.
[4] Diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 18 SK. Direksi Bank Indonesia tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pelaksanaan Pengedaran Uang.
Penetapan Bank Indonesia Sebagai Lembaga Satu-satunya yang Mencetak dan Mengedarkan Uang di Indonesia



Di dalam pasal 26 hingga pasal 28 UU No.13/1968 dinyatakan bahwa Bank Indonesia menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang di Indonesia.[1] Alasan penunjukkan Bank Indonesia sebagai lembaga tunggal dalam pengaturan peredaran uang, karena Pemerintah memandang bahwa dari sudut ekonomi tidak ada perbedaaan fungsional antara uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, atas dasar kepentingan keseragaman dan efisiensi, pengeluaran uang kertas dan uang logam diserahkan kepada Bank Indonesia selaku lembaga keuangan negara.[2]

Berdasarkan Undang-Undang No.13/1968, Pemerintah tidak lagi membebankan kepada Bank Indonesia untuk menyediakan jaminan emas dalam menerbitkan dan mengedarkan uang, ataupun membiayai impor melalui cadangan devisa. Masalah penerbitan dan pengedaran uang diatur dalam pasal 26 ayat (3) Undang-Undang No.13/1968 yang menyatakan bahwa sebelum tahun anggaran, Pemerintah terlebih dahulu menentukan jumlah maksimum uang yang akan beredar dalam satu tahun dan mencantumkannya dalam nota keuangan untuk dijadikan pedoman oleh Bank Indonesia dalam menerbitkan dan mengedarkan uang. Penetapan jumlah maksimum uang kartal tersebut merupakan landasan yang cukup untuk pegangan yang efektif guna pengendalian jumlah uang yang beredar, dengan demikian laju inflasi yang dapat menyebabkan keterpurukan ekonomi dapat dihindari.[3]


Di awal tahun 1970-an, kesatuan moneter di Indonesia belum seluruhnya tercapai. Hal itu karena di Propinsi Irian Barat masih menggunakan Rupiah Irian Barat (IB Rp) sebagai alat pembayaran. Demi mewujudkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, maka Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No.8 Tahun 1971 tanggal 18 Februari 1971, yang menyatakan bahwa rupiah umum diberlakukan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Irian Barat disamping IB Rp yang akan ditarik dari peredaran secara bertahap. Penyatuan wilayah moneter di Indonesia mulai terlaksana dengan ditariknya uang kertas dan uang logam IB Rp dari peredaran pada tanggal 31 Mei 1971. Penarikan tersebut diikuti dengan diedarkannya uang rupiah yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Kepada masyarakat diberikan kesempatan penukaran dengan nilai tukar IB Rp dengan rupiah adalah IB Rp 1 = Rp. 18,90 sesuai dengan Keputusan Presiden No. 31 Tahun 1970.[4]


[1] Undang-Undang No.13/1968.
[2] Penjelasan Pasal 26 Undang-Undang No.13/1968.
[3] Undang-Undang No.13/1968
[4] Keputusan Presiden No.8/1971 dan Keputusan Presiden No.31/1970.

19 Februari 2009

MISTIK KEJAWEN : ANTARA ILMU dan NGELMU

Ilmu adalah bukti olah otak manusia yang mungkin didasarkan pembuktian ilmiah. Ilmu bersumber pada kebenaran ilmiah. Setiap manusia yang sadar dan wajar dapat memiliki sebuah ilmu. Ilmu ini akan membantu keperluan hidup manusia dalam segala hal. Biasanya, ilmu selalu dituntut dengan logika tertentu yang membuat komunikasi antar manusia semakin jelas dan transparan.
Ciri suatu ilmu, antara lain harus rasional, fenomenal, sistematis, teratur, dan analitis. Pendek kata, ilmu dapat diuji kebenarannya lewat dasar-dasar pembuktian tertentu. Ilmu, memiliki paradigma dan rumus-rumus yang jelas. Pendek kata, ilmu akan berprinsip pada obyektivitas. Misalkan, ilmu bahasa, ilmu bumi, ilmu tauhid, dan lain-lain.
Berbeda dengan ilmu, dalam khasanah budaya Jawa dikenal istilah ngelmu. Istilah ini sulit dikatakan sejajar ataupun tidak sejajar dengan ilmu. Ngelmu merupakan konsep pemikiran Jawa deles (asli). Di dalamnya terdapat hal-hal yang rasional dan mungkin juga irrasional. Ngelmu tidak harus diterima melalui akal. Sebagian besar ngelmu diturunkan atau diterimakan melalui rasa.
Dalam konteks masyarakat Jawa, ilmu dipandang sebagai knowledge, sedangkan ngelmu sebagai gnosis, yaitu bentuk spiritual yang tidak saja mengandalkan intelektual tetapi intuitif. Jika ilmu didasari akal, ngelmu mendasarkan pada seluruh organ tubuh. Namun demikian, tidak berarti bahwa ngelmu itu tanpa akal dan tidak ada yang rasional. Ngelmu pun ada yang melukiskan nalar yang jelas dan transparan. Memang telah disadari oleh Masyarakat Jawa bahwa ngelmu mengandung sesuatu arti ajaran rahasia untuk pegangan hidup.
Ngelmu biasanya dicapai melalu laku batin atau rohani. Jalan rohani ini, dalam tasawuf sering disebut tarekat. Tarekat dalam budaya spiritual Jawa dikenal sebagai bagian dari laku mistik kejawen. Paradigma ngelmu dalam mistik kejawen sering dirumuskan dalam pengetahuan jarwadhosok, yaitu ngelmu diartikan angel olehe ketemu. Mangkunegara IV dalam menurut Serat Wedhatama, menggambarkan "Ngelmu iku kelakone kanthi laku". Maksudnya, perwujudan atau untuk mendapatkan suatu ngelmu harus dijalankan laku (upaya batin). Upaya tersebut dilakukan melalui penghayatan rasa yang sifatnya suprarasional dan atau intuitif. Dalam hal-hal tertentu, ngelmu justru diperoleh melalui indra keenam manusia. Atas dasar ini, maka ciri-ciri dari ngelmu antara lain:
(1) bukan merupakan aktivitas otak, melainkan rohani yang berusaha ke arah sangkan paraning dumadi; (2) untuk nggayuh kasampurnaning dumadi; (3) menuju kelepasan, yaitu celak coloking Hyang Widi, momor pamoring Sawujud; (4) berbentuk ungkapan-ungkapan sepotong yang berisi lambang. kiasan untuh.
Ciri-ciri tersebut, menunjukkan bahwa ngelmu dalam mistik kejawen memang sangat wingit (sakral) dan penuh liku-liku batin. Kendati demikian, tidak berarti ngelmu semacam ini sulit atau tidak bisa dipelajari. Biasanya manusia Jawa yang telah menekuni ngelmu ini disebut telah nyecep (menghayati) ngelmu kasepuhan (ngelmu tua atau kesempurnaan hidup). Manusia tersebut, ada juga yang menyebut telah buntas (selesai) mendalami ngelmu karang (ngelmu untuk ngudi kesempurnaan). Ngelmu karang biasanya penuh misteri batin dan rahasia gaib. Ngelmu ini implementasinya mempergunakan instrumen supranatural, seperti halnya semedi, dzikir, membaca mantram, ngracut raga, telepati, gendam, olah kanuragan, ngraga sukma, dan lain-lain. Melalui penghayatan mendalam terhadap laku-laku ini, kemungkinan manusia akan menapatkan "temuan" tentang kesaktian, sadar diri (awas-eling), dan ngerti sadurunge winarah (tahu apa yang akan terjadi).
Dengan kata lain bahwa ngelmu memang lebih sakral dibandingkan ilmu. Ngelmu memang khas Jawa. Itulah sebabnya, saya setuju ciri ngelmu yang dikemukakan Soesilo, yaitu: (1) diketahui dengan laku batin, penghayatan rohaniah, (2) ngelmu kelakone kanthi laku, setelah dijalankan, (3) berdasarkan penghayatan, perasaan yang dilakukan sendiri, didapat melalui tapa brata (mengurangi kesenangan duniawi), (4) dijalankan dengan heneng (konsentrasi), hening (pikiran bening), dan heling (ingat Tuhan).
Ngelmu demikian amat diperlukan dalam praktek mistik kejawen. Karena, mistik Kejawen bukan dilandasi oleh teologi, tetapi oleh paham theosofi. dalam paham ini, ngelmu merupakan sebuah ngelmu batin, mistik, atau ngelmu Jawa dan hakikat kejawaan. Dengan kata lain, ngelmu dalam budaya spiritual Jawa adalah pengetahuan (kawruh) batin atau sering disebut nglemu kasampurnaning dumadi. Atau sering juga dinamakan ngelmu sejati, ngelmu kasunyatan. Dalam serat Wedharan Wirid, ngelmu serupa sering dinamakan juga kawruh tentang panembah jati (menyembah Tuhan). Yakni berisi kawruh sejati, mulai dari sarengat, tarekat, hakekat, sampai makrifat.
Ngelmu dalam mistik kejawen adalah ngelmu kasampurnaan atau ngelmu kasunyatan. Yakni, ngelmu yang lebih nyata, sunya (suci). Ada juga yang menyebut ngelmu kasidan jati, yang berasal dari kata sidan (sempurna) dan jati (kesejatian). Ngelmu ini harus dijalankan melalui catur lampah (empat jalan), yaitu:
1. pangesthi atau pamelenging tekad. Yakni, berdasarkan kemantapan budi berupaya mencari jalan terang dalam kegelapan. Mistikawan lalu menerapkan ngelmu kanthong bolong. Maksudnya, mau menolong manusia lain tanpa memikirkan waktuk, asalkan isi kantong ada akan tumbuh niat
2. angelar pemandeng, maksudnya dengan jalan laku dyatmika (halus budi) melalui konsentrasi batin.
3. ambuka netra, artinya memperhatikan manusia lain dengan hati nurani yang jernih.
4. ngukub kabeh, artinya menjadi satu (manunggal) dengan dzat suci (Tuhan) secara utuh.
Untuk mengamalkan ngelmu, seperti halnya ditegaskan dalam Serat Cipto Waskhito karya Pakubuwono IV, harus melaksanakan empat hal: (1) mantep, mantap dengan penuh keyakinan untuk melakukan mistik kejawen, (2) temen, artinya melakukan mistik kejawen dengan tekun, (3) gelem nglakoni, mau mengamalkan apa yang diperoleh melalui laku tersebut, (4) aja gumunan, janganlah mudah terpukau atau heran terhadap keajaiban yang diperoleh melalui ngelmu. Hal ini berarti bahwa ngelmu sejati harus diperoleh olah rasa, yakni dengan menjalankan kewajiban hidup luhur. Akhirnya, mistikawan akan paham terhadap hakikat hidup, sehingga hidupnya tidak ngaya (memaksakan diri) atau nggrangsang (bernafsu meraih yang bukan semestinya).
Melalui ngelmu, orang Jawa akan melakukan penghayatan akan Tuhan dalam suatu hubungan langsung dengan-Nya. Karena mistik kejawen amat luas dan dalam, penghayat mistik akan memanfaatkan ngelmu untuk menjumpai Tuhan melalui pendalaman dan penjernihan batin. Intinya ngelmu kejawen akan membuka jalan penganutnya ke arah kenyataan sejati. Yakni kesejatian tentang ada, yang diselami melalui rasa, kehidupan, dan melebur di dalamnya. Ngelmu mistik akan mampu memahami semacam ilham yang tersingkap melalui realitas. Ngelmu tersebut merupakan pisau penghayatan ke hal yang sulit terdeskripsikan.

17 Februari 2009

Bingung dan Linglung.............
Bingung di kantor mesti ngerjain apa, semua orang sudah mulai curiga dan memainkan taktik sendiri untuk membuat mereka aman. Duh....sial, kenapa ini mesti terjadi, ngga jelas apa yang harus dikerjakan tahun ini, ngga ada penjelasan ke arah mana pekerjaan akan dilaksanakan. Pusing dan bingung, itulah kata-kata yang ada dibenak saat ini. Semuanya serba abu-abu, lebih baik tahun lalu, biar kerjaan banyak yang penting jelas, dan gua sanggup menyelesaikan tepat waktu. Apa karena bisikan-bisikan 'setan' ke pimpinan, yang mengesankan bahwa kerjaan yang ada itu banyak di bertumpuk di satu orang, sehingga banyak orang yang mulai tidak menyukai. Ah....itu cuma prasangka jelek aja!!!
Okelah, harusnya ada kejelasan pekerjaan tahun ini, mau kemana dan dibawa kemana proyek ini, jangan diombang-ambing gini dong. Sebenarnya asyik sih, jadi banyak waktu buat nyantai, tapi ini kan sama aja dengan mengingkari janji diri, bahwa bekerja dengan baik harus dilakukan dengan semaksimal mungkin. Bingung dan linglung, sekarang mau ngapain dan mau ngerjain apa, tapi ya sudahlah, semua itu mungkin jalan takdir yang harus gua hadapin.
Siap-siap, bila tahun depan sudah tidak bisa seperti ini, bekerja di tempat lain dan harus beradaptasi lagi dengan tempat yang baru. Feeling mengatakan bahwa ini tidak akan lama lagi akan datang, dan harus siap untuk pergi, dan mengucapkan selamat tinggal kepada Museum Bank Indonesia!!!!!

04 Februari 2009

Pengedaran Uang di Indonesia Sebelum 1968



Pembuatan uang di Indonesia pada awalnya dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Darurat No.20/1951 tanggal 27 September 1951 (ditetapkan menjadi Undang-Undang No.27/1953 tanggal 18 Desember 1953) tentang mata uang dinyatakan bahwa uang dengan pecahan di bawah lima rupiah dicetak oleh Pemerintah.[1] Pada perkembanganya pemerintah menerbitkan beberapa seri uang kertas dan uang logam. Pada tahun 1951, Pemerintah mencetak uang kertas di Security Banknote Company. Setelah itu sejak tahun 1954-1964, pencetakan uang kertas Pemerintah di lakukan oleh PN Pertjetakan Kebajoran. Sementara itu untuk pencetakan uang logam dilakukan oleh PN Arta Yasa.[2] Untuk pecahan di atas lima rupiah pencetakan dilakukan oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan dalam pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No.11/1953 tentang Bank Indonesia. Pada periode 1953-1964, Bank Indonesia mencetak uang kertas dalam beberapa emisi. Pencetakan uang kertas oleh Bank Indonesia dilakukan di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, pencetakan dilakukan oleh PN Pertjetakan Kebajoran, sedangkan di luar negeri dilakukan oleh Johan Enschede&Zonen (Belanda) dan Thomas De La Rue & Co (Inggris).[3]

Meskipun diterbitkan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia, akan tetapi pengedaran uang tersebut menjadi tugas dari Bank Indonesia. Hal ini terkait pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.11/1953 yang menyatakan tugas Bank Indonesia untuk mengatur keseimbangan nilai rupiah dan menyelenggarakan pengedaran uang di Indonesia.[4] Uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah tidak ada ketentuan penjaminan. Namun demikian pengamanannya dilakukan dengan menetapkan jumlah-jumlah uang kertas pemerintah yang dapat dikeluarkan oleh pemerintah yang diatur dalam PP. Jumlah uang kertas pemerintah jumlahnya relative sangat kecil, hanya 5% dari seluruh jumlah uang yang beredar. Uang logam yang dikeluarkan oleh pemerintah nilainya dijamin oleh nilai bahan logam yang digunakannya.[5] Sementara itu dalam mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas, Bank Indonesia dibatasi oleh ketentuan yang terdapat dalam pasal 16 Undang-Undang No.11/1953 yang menyatakan bahwa:[6]
a. Jumlah semua uang kertas, saldo rekening Koran, dan tagihan-taghian lain yang dapat segera ditagih dari Bank Indonesia harus seperlimanya dijamin dengan emas, mata uang emas, atau cadangan yang terdiri atas alat-alat pembayaran luar negeri yang umumnya dapat ditukarkan.
b. Minimal seperlima dari nilai jaminan tersebut harus ada di Indonesia.
c. Dalam keadaan luar biasa, untuk rentang waktu paling lama tiga bulan, Bank Indonesia boleh menyimpang dari ketentuan seperlima tersebut.


Penjaminan uang dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan pemegang uang kertas, karena sesuatu hal misalnya karena tidak percaya lagi atas uang tersebut, minta uangnya ditukar dengan aset senilai yang tercantum dalam mata uang tersebut. Penentuan besarnya jaminan biasanya dimulai saat Bank Indonesia menghitung jumlah uang yang akan beredar dalam satu tahun untuk dijadikan dasar penetapan besarnya nilai jaminan. Akan tetapi apabila jumlah cadangan devisa yang digunakan untuk penjaminan tidak mencukupi, maka Direksi akan mengajukan perubahan prosentase jaminan kepada Dewan Moneter. Setelah itu, Dewan Moneter akan mengajukan kepada parlemen untuk persetujuan, dan apabila disetujui akan dikeluarkan undang-undang yang tentang ketentuan penjaminan. Berdasarkan undang-undang itulah, Bank Indonesia menyiapkan jaminan sebagaimana ditetapkan, yang seperlimanya harus ada di Indonesia.[7] Saat jaminan telah disiapkan, barulah Bank Indonesia mencetak dan mengedarkan uang.


Pada perkembangannya persentase jaminan emas mengalami penurunan menjadi lebih rendah dari 15% pada tanggal 30 Januari 1957, karena ketidakpercayaan terhadap uang kertas tidak selalu terjadi, dan jaminannya pun tidak selalu dalam bentuk emas, tetapi dalam bentuk yang lainnya. Pada akhirnya berdasarkan UU No.84 tahun 1958 tentang pengubahan pasal 16 dan 19 Undang-Undang Pokok Bank Indonesia No.11/1953, Bank Indonesia dibebaskan dari kewajiban menepati persentase jaminan emas atas uang yang diedarkan. Ketentuan tersebut diambil oleh pemerintah karena terus menurunnya cadangan devisa Indonesia, sementara peredaran uang terus mengalami peningkatan. Hal itu menyebabkan cadangan devisa Indonesia tidak dapat mengimbangi pertumbuhan uang yang beredar, sehingga penjaminan emas atau uang yang dikeluarkan tidak dapat dipertahankan lagi dan pada akhirnya dihapuskan. Sebagai gantinya, Bank Indonesia diwajibkan untuk menyediakan devisa untuk membiayai kebutuhan impor selama tiga bulan.[8]


Pada periode Ekonomi Terpimpin, Bank Indonesia membantu Pemerintah mengedarkan uang Rupiah Irian Barat (IB Rp) dan uang rupiah khusus kepulauan Riau (KR Rp). Hal itu dilakukan untuk mewujudkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, karena pada waktu itu di wilayah Irian Barat masih menggunakan mata uang Nederlands Niuew Guinea Gulden dan di Kepualuan Riau sebagian besar masyarakatnya menggunakan Malayan Dollar sebagai alat pembayarannya.[9] Untuk mengukuhkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden No.27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember untuk mengeluarkan uang Rupiah baru sebagai alat pembayaran yang berlaku bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Peraturan tersebut juga menyatakan bahwa Bank Indonesia diberikan wewenang untuk mengeluarkan semua jenis uang dalam segala pecahan, sehingga berdasarkan peraturan ini Pemerintah tidak lagi menerbitkan uang rupiah dalam pecahan apapun.[10]


Penetapan Presiden No.27/1965 merupakan peraturan yang menyatakan bahwa Bank Indonesia sebagai satu-satunya lembaga dalam mengeluarkan dan mengedarkan uang di Indonesia. Pecahan dibawah lima rupiah yang pertama kali dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank Indonesia adalah uang kertas seri Dwikora dengan tanda tahun 1964 yang diedarkan bersamaan dengan pemberlakukan penetapan presiden tersebut. Uang yang dikeluarkan tersebut berupa uang kertas dengan pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen, dan 50 sen. Uang tersebut ditandatangani oleh T. Jusuf Muda Dalam (Gubernur Bank Indonesia) dan R. Hertatijanto (Direktur Bank Indonesia). Semua uang itu dicetak oleh PN. Pertjetakan Kebajoran (PERKEBA).[11]


Pergantian Pemerintahan pada tahun 1966 menyebabkan dilakukannya penataan kembali kehidupan perekonomian di Indonesia yang saat itu berada di ambang kebangkrutan. Hiperinflasi yang mencapai angka 635% pada bulan Maret 1966 menyebabkan masyarakat menderita. Untuk itu Pemerintahan yang baru berusaha agar krisis ekonomi yang ada di Indonesia dapat segera di atasi. Berdasarkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan maka Pemerintah berusaha untuk melakukan restrukrisasi dan rehabilitasi perekonomian di Indonesia. Dalam pasal 55 ketetapan tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka pengamanan keuangan negara pada umumnya dan pengawasan serta penyehatan tata-perbankan pada khususnya, maka segera harus ditetapkan Undang-Undang Pokok Perbankan dan Undang-Undang bank sentral.[12] Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut, maka dikeluarkan Undang-Undang No.14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang disahkan dan diundangkan tanggal 30 Desember 1967. Setahun kemudian, disahkan pula undang-undang No.13/1968 tentang bank sentral pada tanggal 7 Desember 1968. Undang-undang tersebut berlaku mulai tanggal 31 Desember 1968. Selanjutnya sesuai dengan undang-undang tersebut, bank sentral tetap menggunakan nama Bank Indonesia.


Catatan Kaki:
[1] Undang-Undang Darurat No.20/1951 tanggal 27 September 1951 tentang Penghentian Berlakunya “Indische Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang, dan Undang-Undang No.27/1953 tanggal 18b Desember 1953 tentang Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang.
[2] Tim Penulis Sejarah Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode I (1945-1959): Bank Indonesia Pada Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Bank Indonesia. 2005. Hlm. 263-264.
[3] Ibid., hlm. 264-267.
[4] Undang-Undang No.11/1953 tanggal 19 Mei 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia.
[5] Cyber Museum.
[6] Undang-Undang No.11/1953.
[7] Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1958), Jakarta: LPPI, 1991. Hlm. 255-257.
[8] Ibid.
[9] Untuk masalah Rupiah Irian Barat diatur dalam Penetapan Presiden No.2/1963, sedangkan untuk Rupiah Kepulauan Riau diatur dalam Penetapan Presiden No.9 Tahun 1953.
[10] Penetapan Presiden No.27/1965.
[11] Tim Penulis Sejarah Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode II (1959-1966): Bank Indonesia Pada Masa Ekonomi Terpimpin, Jakarta: Bank Indonesia, 2005. Hlm. 203-205.
[12] Tap MPRS No.XXIII/MPRS/1966.
SUKU BUNGA PRIORITAS DALAM ERA DEREGULASI
(Riyanto, Suara Karya 23 November 1988)
Dewasa ini dikenal dua kelompok suku bunga yang masing-masing terbentuk atau ditetapkan dengan latar belakang dan alasan yang berbeda. Agak berbeda dengan keadaan sebelum deregulasi Juni 1983, yang penetapan suku bunga dilakukan sedemikian rupa, sehingga sebagian besar kegiatan ekonomi yang masih dipandang perlu didukung dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak mendapat bantuan fasilitas kredit bank yang diatur dan ditunjang oleh bank sentral.

Pengaturan suku bunga dan bahkan besarnya jumlah kredit ditetapkan oleh Bank Sentral berdasarkan urutan prioritas yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah. Karenanya dapat dimengerti mengapa selama periode tersebut perbankan nasional terlebih-lebih bank pemerintah kurang leluasa untuk menetapkan sendiri tingkat bunga yang dikehendaki. Pengaturan secara sentral ini berkaitan pula dengan banyaknya bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank pelaksana yang menyalurkannya kepada sektor, golongan, maupun kegiatan ekonomi yang dikategorikan prioritas.

Perbankan mengemban misi untuk menunjang proyek-proyek pembangunan yang ditetapkan Pemerintah. Kelompok ataupun kegiatan yang berpredikat prioritas ini dipandang masih memerlukan uluran tangan, dukungan maupun fasilitas di bidang kemudahan usaha perpajakan, perlindungan terhadap kompetisis serta bantuan kredit bank dengan fasilitas lunak sehingga dapat meningkatkan kemampuan mereka. Salah satu sasaran yang ingin dicapai dengan kebijakan Trilogi Pembangunan ialah pemerataan yang dilaksanakan melalui mekanisme penetapan sektor prioritas tersebut.

Karenanya bisa dipahami mengapa sebelum adanya kebijakan 1 Juni 1983 terdapat demikian banyak sektor prioritas yang mendapat dukungan bank sentral dengan berbagai fasilitas lunak baik suku bunga maupun jumlah kredit yang diberikan. Penggolongan kegiatan/sektor ekonomi yang dianggap prioritas dan mendapat perlakuan khusus dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Pinjaman investasi baik berskala besar untuk berbagai proyek/sektor industri perhubungan, pariwisata, pertanian, perkebunan, pencetakan, sawah dan lain sebagainya maupun yang berskala kecil seperti kredit mini, midi, maupun kredit-kredit kepada koperasi anggotanya.
Kredit khsusu untuk usaha-usahawan kecil dalam bentuk KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) dengan pinjaman maksimal tidak lebih dari Rp. 15 juta dengan harapan usahawan-usahawan ini mampu berkembang maju.
Pinjaman modal kerja baik berskala kecil maupun besar untuk berbagai sektor prioritas seperti:
- Pengadaan dan penyaluran pangan (beras, padi, jagung, garam rakyat0 oleh BUUD dan KUD
- Program Bimas dan Inmas pertanian rakyat, peternakan, dan perikanan rakyat.
- Fasilitas kredit ekspor dan produksi ekspor.
- Peternakan, perikanan, pengumpulan dan penyaluran hasil pertanian yang dilakukan oleh BUUD/KUD dan koperasi.
- Fasilitas kredit untuk sektor industri dan jasa-jasa seperti gula, minyak goreng, tekstil, kertas, semen, angkutan umum, konstruksi serta impor dan lain sebagainya.
Kredit priorotas lainnya seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) dan kredit untuk mendirikan asrama mahasiswa.

Dengan berbagai kemudahan seperti digambarkan di atas maka pemerintah melalui kebijakan di bidang perbankan akan berusaha mendorong sektor-sektor yang diprioritaskan untuk maju dan berkembang ke arah yang lebih baik. Mekanisme melalui sektor perbankan dimaksudkan agar golongan kelompok maupun sektor-sektor yang dikategorikan prioritas tersebut tidak menganggap bahwa bantuan tersebut sebagai sesuatu yang tidak perlu dibayar kembali. Di lain pihak dimaksudkan pula agar ada unsur mendidik dan sikap tanggung jawab yang lebih nyata dari para penerima kredit.

Pemberian fasilitas tersebut nampaknya masih terus dilakukan sebagai bagian dari kebijakan dan strategi pemerintah untuk mencapai sasaran penerimaan maupun pertumbuhan. Itu sebabnya mengapa didalam GBHN 1988 bab IX huruf C bidang ekonomi terdapat petunjuk-petunjuk penting yang perlu diperhatikan oleh perbankan antara lain sebagai berikut:
Kebijakan perdagangan yang mendorong dan membantu koperasi serta pengusaha golongan ekonomi lemah perlu dilanjutka dan disempurnakan antara lain dengan memberukan kemudahan dalam mengembangkan usaha termasuk penyediaan kredit dan permodalan.
Kemampuan koperasi untuk berperan lebih besar di berbagai sektor seperti pertanian, perindustrian, konstruksi, perdagangan, keuangan dan sebagainya perlu ditingkatkan. Untuk itu perlu didorong dan dikembangkan kerja sama antara koperasi dengan usaha negara dan swasta.
Pengusaha golongan ekonomi lemah termasuk pengusaha informal dan tradisional perlu terus dibina untuk meningkatkan kemampuan usaha dan pemasaran dalam rangka mengembangkan kewiraswastaan dan sebagainya. Sejalan dengan itu perlu disediakan secara memadai berbagai kemudahan dan bantuan seperti kredit dan permodalan, tempat usaha, dan sebagainya.

Selain di bidang ekonomi, pada bidang sosial budaya telah digariskan pula hal-hal yang berkaitan dengan perumahan dan pemukiman yang antara lain berbunyi: ”lembaga pembiayaan yang melayani pembangunan perumahan perlu ditingkatkan dan dikembangkan peranannya sehingga dapat mendorong terhimpunnya modal yang memungkinkan pembangunan rumah milik dan rumah sewa dalam jumlah yang besar. Sejalan dengan itu perlu diciptakan iklim yang menarik bagi pembangunan perumahan baik oleh masyarakat maupun oleh perorangan antara lain dengan penyediaan kredit yang memadai, pengaturan persewaan dan hipotek perumahan.”

Dengan pedoman tersebut di atas jelas bahwa terdapat sektor-sektor prioritas yang memerlukan dukungan pembiayaan perbankan dengan harapan agar kemampuan golongan atau sektor yang memperoleh manfaat tersebut dapat ditingkatkan. Karenanya seperti telah disinggung di atas, bank sentral sebagai lembaga yang bertanggung jawab di bidang pembiyaan perbankan telah menetapkan kemudahan tidak saja menyangkut alokasi dana kredit, tetapi juga tingkat bunga yang dibebankan.

Kebijakan Suku Bunga
Sebagaimana dimaklumi kebijakan suku bunga pada periode sebelum 1 Juni 1983 lebih banyak diatur dan diarahkan untuk menunjang proyek-proyek prioritas seperti digambarkan di atas, sehingga tingkat bunga yang berlaku relatif sangat rendah.

Secara umum suku bunga kredit investasi berkisar antara 10.5% - 13.5% per tahun dan modal kerja antara 12% - 21% per tahun dan bahkan kredit ekspor hanya 9% per tahun sedangkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) antara 5% - 9% per tahun, serta Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) dan kredit asrama mahasiswa masing-masing hanya 6% dan 5% per tahun.

Sedangkan suku bunga yang berlaku di perbankan swasta nasional berada pada tingkat antara 18% - 32% per tahun. Dengan adanya kebijakan 1 Juni 1983, maka tingkat bunga yang berlaku di bank-bank pemerintah untuk sektor nonprioritas menjadi sekitar 16.5% - 23.5% dan 18% - 24% setahun masing-masing untuk kredit investasi dan modal kerja, sementara di BUSN tercatat antara 21% - 30% per tahun atau ada yang lebih.

Kenaikan suku bunga tersebut merupakan konsekuensi logis dari kebijakan deregulasi sehingga berdampak kurang menguntungkan bagi dunia usaha nasional. Upaya-upaya telah dilakukan untuk mempengaruhi tingkat bunga tersebut dengan antara lain menetapkan kebijakan penyediaan fasilitas diskonto, mengeluarkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) maupun Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Dengan instrumen moneter tersebut, maka diharapkan tingkat agar suku bunga khususnya bunga deposito berjangka dapat diturunkan. Sebagai contoh dengan adanya kebijakan penurunan suku bunga fasilitas diskonto dari 17.5% menjadi 16.5% dari suku bunga SBI (satu bulan) dari 15% menjadi 14.5% per tahun. Pada Mei 1984 telah menyebabkan turunnya suku bunga deposito berjangka antara 0.25% sampai 1%.

Demikian selanjutnya dengan penurunan suku bunga fasilitas diskonto dan SBI yang tercatat September 1984 dari 26% dan 18% per tahun menjadi 18.5% dan 15% pada bulan Agustus 1985 serta kemudian dengan menurunnya suku bunga deposito pada bank-bank pemerintah telah menurun dari 15% - 21% per tahun pada tahun 1984 menjadi 13% – 15% per tahun pada Agustus 1985 dan 14% - 24% per tahun pada BUSN menjadi 12.5% - 19% selama periode yang sama.

Terlepas dari upaya untuk menurunkan tingkat bunga dengan berbagai kebijakan seperti digambarkan di atas maka kondisi obyektif yang berlaku nampaknya belum memungkinkan untuk menekan tingkat bunga yang benar-benar realistis serta mampu dipikul oleh golongan atau sektor yang diprioritaskan pemerintah.

Faktor pengaruh tingkat bunga luar negeri, keterbukaan perekonomian Indonesia, pandangan yang kurang positif terhadap nilai rupiah serta kurang efisiennya pengelolaan bank didalam negeri telah menyebabkan tingginya biaya-biaya intermdiasi (intermediation call) yang kesemuanya berakibat sulitnya pembentukan tingkat bunga yang relatif rendah.

Suku bunga yang berlaku umum bagi penerima kredit baik prioritas maupun nonprioritas belum mungkin diberlakukan dewasa ini. Kekuatan dan kemampuan sektor-sektor yang diprioritaskan, terutama golongan ekonomi lemah dan koperasi belum sama dengan golongan-golongan/sektor-sektor lain yang termasuk kategori non prioritas. Kekuatan dan kemampuan mereka belum dapat disejajarkan, sehingga gagasan untuk memberi kemudahan seperti yang digariskan di dalam GBHN masih tetap perlu ditunjang.

Itu sebabnya walaupun kebijakan deregulasi sektor perbankan telah dua kali diadakan, yang terakhir dikeluarkan pada tanggal 27 oktober 1988, namun nampaknya kebijakan suku bunga prioritas masih tetap dilanjutkan. Dengan perkembangan yang telah dicapai selama serta adanya kemampuan yang lebih besar dari golongan masyarakat tertentu, maka dukungan suku bunga prioritas telah mengalami penyesuaian-penyesuaian.

Golongan yang semula memperoleh KIK ataupun KMKP yang dibebani bunga 10.5% - 12% telah ditingkatkan menjadi 12% - 15%. Demikian pula fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) mengalami peningkatan pula dari 5% – 9% per tahun menjadi lebih tinggi lagi, yang kesemuanya memberi arti bahwa kemampuan golongan masyarakat tersebut dianggap telah mulai meningkat, sehingga secara berangsur-angsur dukungan berupa subsidi bunga perlu dikurangi.

Pakto 27 nampaknya tidak ada perubahan yang berarti di bidang kebijakan suku bunga prioritas dan apa yang sudah digariskan di dalam paket 1 Juni 1983 masih tetap dilanjutkan. Hanya kemungkinan suku bunga kredit ekspor yang dinilai ada unsur subsidi sehingga dinilai menimbulkan persaingan tidak sehat di pasaran internasional (terutama di dalam rangka pelaksanaan GATT), maka terpaksa akan diadakan penyesuian di masa-masa yang akan datang.

Pakto 27 lebih banyak diarahkan kepada upaya-upaya untuk mempenharuhi tingkat bunga yang berlaku umum di pasaran dengan lebih mengefektifkan pemanfaatan instrumen pasar uang melalui fasilitas diskonto.

Dengan mempergunakan mekanisme tidak langsung diharapkan suku bunga umum yang berlaku di pasaran baik suku bunga simpanan maupun pinjaman dapat dipengaruhi dan pada gilirannya dapat memperkecil perbedaan antara suku bunga prioritas dengan suku bunga yang berlaku di pasaran. Kondisi yang demikian dapat diartikan pula memperkecil jumlah subsidi bunga yang dipermasalahkan dewasa ini.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa walaupun langkah deregulasi demi deregulasi terus dilakukan, namun sepanjang pemerintah masih mempunyai sasaran dan misi untuk menunjang golongan-golongan masyarakat lemah, koperasi maupun sektor-sektor yang diprioritaskan maka penetapan suku bunga prioritas masih terus dilakukan sebagai salah satu kebijakan moneter perbankan nasional.

03 Februari 2009

Alhamdulillah....

sekarang gua uda mulai kuliah nih....ngambil Magister Manajemen. Ternyata untuk belajar lagi itu susah ya..bikin kepala nyut-nyutan lagi...Tau begini gua harusnya kuliah lagi setelah lulus kuliah, tapi ada daya, dananya ora ono....

Sekarang gua harus bertekad menyelesaikan semua ini dalam waktu 1,5 tahun, ngga peduli apapun yang terjadi, pokoknya 1,5 tahun..meskipun kini dana simpanan gua terkuras tandas, bayangkan aja...dua bulan ini gua tidak saving sama sekali, malah defisit terus-menerus, aduh....yah pokoknya bulan depan uda mulai nabung lagi ya...secara cicilan hutang sudah mulai mengalir kembali....

22 Januari 2009

KEJAWEN
SEBUAH PEMAHAMAN DASAR


Kita merasa cukup bahagia tinggal di Jakarta yang metropolitan, tempat bergaulnya berbagai etnis lokal dan manca, menjalani proses alami membaur dalam kehidupan bernegara yang merdeka dan berbudaya. Dengan semangat kebersamaan dan sederajat, yang dengan nyata telah mengetengahkan berbagai pandangan hidup, baik yang sifatnya masih lokal maupun yang telah mendunia. Untuk kesejahteraan, kebahagiaan, dan terutama ketentraman hidup sering diadakan diskusi, sarasehan, ataupun temu rasa yang bersifat spiritual dan lintas agama. Sejuk rasa hati karena merasakan kebesaran sang pencipta dalam kehidupan sejati, dimana sesama manusia tidak dikotak-kotakkan. Tetapi esensi kebersamaan dan persamaan yang sama-sama didambakan semua pihak dan itu hakikatnya ialah amanah hidup ini. Benar sekali kata leluhur Jawa bahwa semua agama itu baik.

Kejawen selama ini dianggap oleh masyarakat awam sebagai sebuah agama. Akan tetapi pengertian Kejawen yang sebenarnya adalah suatu sikap hidup yang tidak menonjolkan keduniawian, tetapi dalam waktu bersamaan juga sikap budaya yang menghargai laku spiritual yang saling mengkait dan hakikatnya tak terpisahkan. Sebenarnya bila disimak dengan jujur dan tenang, Kejawen cukup ideal untuk dilaksanakan pada masa kini dan merupakan salah satu pilihan untuk membenahi kehidupan dunia yang perdaban sejatinya masih belum terwujud. Hal tersebut dikarenakan Kejawen mempunyai pemahaman spiritual yang universal dengan meyakini bahwa Sang Pencipta Kehidupan itu Maha Adil, Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga semestinya jalan hidup ini terang dan indah. Segala kebutuhan lahir-batin spiritual akan terpenuhi bila disikapi dengan benar dan tawakal.

Kejawen yang dulu diajarkan dengan sangat tertutup dan hanya dari mulut ke mulut, sekarang telah terbuka dan transparan sehingga selain baik untuk penghayatan dan peminat juga memudahkan pekerjaan pengamat dan peneliti. Terbukti saat ini telah banyak buku yang membahas tentang Kejawen dan dapat dibaca serta dipelajari oleh masyarakat seperti yang tertulis dalam buku “Kejawen: Laku Menghayati Hidup Sejati” dan “Kejawen: Menjawab Tantangan jaman”

Pemahaman Kejawen
Sistem pengajaran Kejawen memang berbeda dengan pengajaran filosofia zaman kuno. Sistem tersebut terbuka dalam kelas-kelas dan disebarkan untuk para peminat dan untuk umum. Filosofi “cinta kebajikan” dijalankan secara terbuka, sementara dalam Kejawen ada ajaran “cinta kesempurnaan” yang diajarkan oleh para guru berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang telah lama diteliti, hanyalah akan bisa diterima oleh orang-orang yang terpilih, orang-orang yang mampu dan kuat menerima serta mengamalkannya. Maka itu pengajarannya bersifat sangat selektif.

Oleh karena hanya dibicarakan dalam kelompok-kelompok kecil, lalu biasanya juga pelan-pelan, maka dikatakan “klenik”. Jadi sebenarnya kata klenik itu tidak ada jeleknya atau negatifnya. Hanya saja oleh pihak-pihak yang kurang mengerti, kata klenik itu dikonotasikan negatif. Sehingga dengan sengaja ada yang menghembuskan Kejawen itu klenik, bohong, tak ada gunanya, dan kampungan.

Pihak-pihak yang kurang mengerti Kejawen antara lain mungkin golongan yang “sok” modern, belum apa-apa sudah lebih dulu mencap dengan konotasi negatif bahwa Kejawen itu klenik, ketinggalan jaman, masa lalu, dan lain-lain. Masih lagi dihubungan dengan tahayul, suka main kembang, membakar kemenyan, senang berada di kuburan, suka nyentrik, misterius, pakaiannya aneh-aneh, serba hitam, rambut panjang, jari tangannya penuh dengan batu akik, tidak berpikir logis, suka perdukunan, dan tukang santet.
Bagi yang masih mau mendengarkan penjelasan bagus, paling tidak menggunakan sedikit waktunya untuk mendengarkan dan menbaca Kejawen itu sebenarnya apa. Pemahaman Kejawan bisa dipandang dari beberapa aspek yang akan diuraikan. Salah satu segi Kejawen adalah kawruh-nya (pengetahuan) yang disebut kebatinan, yaitu spiritualisme Kejawen. Kebatinan dibagi dua, yaitu ilmu dan ngelmu.
Ilmu adalah hasil pikiran manusia yang makin lama makin maju, karena temuan para ahli dalam budaya ilmu pengetahuan. Sedangkan ngelmu itu berhubungan dengan gaib. Jadi ngelmu sebenarnya dari dulu sudah ada, hanya dibukanya sedikit-sedikit sesuai kebutuhan manusia. Beberapa ngelmu atas kehendak Tuhan YME dengan jalan diuraikan (di-wedar), lebih terbukansedikit demi sedikit sehingga lama-kelamaan akan terlihat.
Demikian juga dengan penghayat Kejawen akan menerima ngelmu itu dan memahaminya sedikit demi sedikit, sesuai dengan hukum alam. Untuk memahami dan mengalami itu harus dengan cara belajar dan praktek. Maka itu untuk orang Kejawen belajar itu tiada hentinya, sampai saat orang itu pulang ke alam kelanggengan. Ini juga untuk menjaga supaya orang itu tidak kaget dalam menerima, karena bisa berbahaya.
Mempelajari Kejawen tidak berarti menghidupkan primordialisme sempit, kesukuan, kedaerahan, dimana yang diagung-agungkan hanya Jawa. Kita harus berani bijak dan belajar dari sejarah. Pada jaman kuno sebelum ada nama Indonesia, nama Jawa sudah dikenal lebih dahulu. Jadi kenapa disebut Kejawen? Hal itu dikarenakan bahwa Kebatinan yang dipelajari berakar kuat pada adat-istiadat dan budaya yang bersumber dari masyarakat dan tanah Jawa. Hal itu bukan berarti animisme atau paganisme, tetapi kepercayaan kepada Yang Maha Esa, Sang Pencipta Hidup jagat raya beserta isinya, yang diagungkan sebagai Gusti, Pangeran, dan Tuhan.
Kejawen itu ilmu dan ngelmu spiritual Jawa yang bila dihayati dan dijalani dengan baik dalam kehidupan akan menemukan jalan spiritual ke urip hidup sejati, mencapai hubungan yang harmonis/serasi dan selaras antara kawulo dan Gusti. Inilah yang dalam istilah Kejawen disebut Kasunyatan (kenyataan). Jelas salah pengertiannya atau memang sengaja mendiskreditkan Kejawen, dengan mengatakan Kejawen itu ilmu hitam, pemuja roh halus bahkan suka mengundang setan.
Inti dari Kejawen adalah penyembahan kepada Tuhan YME, inti laku utamanya adalah pendekatan diri kepada Tuhan dengan jalan samadi. Jadi jalan pencarian dan jalan menemukan Tuhan itu teramat penting bagi Kejawen.
Bagaimana kalau ada yang mengatakan bahwa Kejawen itu mistik? Menurut “The Oxford American Dictionary of Current English” definisi mystic adalah: “A person who seeks by contemplation and self surrender to obtain unity with or obsorption into deity or the ultimate reality, or who believes in the spiritual apprehension of truths that are beyond understanding.”
Dengan pengertian mistik seperti diatas memang bisa dikatakan bahwa Kejawen juga berunsur mistik, termasuk orang yang dalam pendekatan diri kepada-Nya, bartafakur dan berpasrah total untuk mendapatkan persatuan dan kenyataan tertinggi dalam naungan kebesaran Tuhan, itu sama dengan pengertian Manunggaling Kawulo Gusti, hubungan selaras hamba dengan Tuhan. Sifat mistik yang seperti ini, sebenarnya universal, yang juga terdapat di agama-agama dan kepercayaan yang mengagungkan Tuhan.
Hal yang menjadi sorotan adalah sesaji, yang terdiri atas macam-macam barang dan wujud. Ada yang berupa nasi tumpeng, rangkaian dedaunan atau bunga-bunga yang ditaruh di piring atau bokor, berbagai lauk-pauk, penganan dan minuman. Sesaji pada dasarmya merupakan simbol-simbol pengungkapan yang bermakna baik. Untuk suatu upacara tradisional, misalnya perkawinan, mitoni (tujuh bulanan kehamilan anak pertama), syukuran, dan lain-lain. Sesaji komplit yang diadakan kalau dirangkai menjadi kalimat yang artinya:
pengakuan dan ungkapan terima kasih kepada Tuhan, Penguasa, dan Alam.
permohonan supaya upacara berjalan selamat dan mendapatkan perlindungan-Nya.
mendapatkan restu dari para pini sepuh (orang tua).
Berisi petuah-petuah untuk hidup yang baik, giat belajar, bekerja, berbuat baik dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, dan sesama.
selalu hidup rukun dalam masyarakat, dengan sesama hidup, termasuk dengan alam dan segala isinya, artinya harus peduli dan melestarikan alam, karena semuanya adalah ciptaan Tuhan.
supaya tidak ada gangguan dari orang usil, maupun dari makhluk yang metafisik.
Mengenai wujud, jenis, dan rupa sesaji itu memang demikian menurut tradisi dan harus diakui bahwa setiap etnis, bangsa, atau daerah tertentu mempunyai tradisinya masing-masing. Pepatah Jawa bilang: Desa mawa tata, negara mawa cara. Desa dan kota masing-masing ada aturannya dan sebaiknya kita ikuti saja, supaya berjalan baik sebagaimana mestinya.
Tentang sesaji bunga, hal itu sudah biasa dipergunakan, termasuk oleh orang Barat, karena juga memang indah, bukankan dikatakan “katakan dengasn bunga!” bentuk, rupa, dan arti simbolis sesaji dan upacara-upacara tradisional Jawa, pada kenyataannya sangat dikagumi oleh orang-orang mancanegara termasuk wisatawannya, terlebih setelah diberitahu apa arti yang tersirat. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bangga mempertahankan, melestarikan, dan memperkenalkan upacara-upacara tradisional kita, lengkap dengan sesajinya.
Menurut beberapa pemerhati, Kejawen selain berarti ngelmu spiritual Jawa untuk menemukan jalan ke kehidupan sejati, mencapai hubungan harmonis, serasi, selaras Kawulo Gusti yang adalah Kasunyatan. Juga sering disebut kebatinan, spiritualisme, ngelmu spiritual atau ngelmu sejati tentang kepercayaan kepada Tuhan YME.
Menurut definisi Kongres Kebatinan III tahun 1957 di Jakarta yang dipimpin oleh Mr. Wongsonegoro, yang disitir oleh Bung Karno dalam pidato sambutannya pada kongres tersebut yang berjudul “Kebatinan Sejati” menyatakan bahwa kebatinan adalah sumber azas dari sila Ketuhanan YME untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup.
Kejawen yang mencakup kehidupan orang Jawa yang beradab yang berakar kuat pada budaya dan tradisi adiluhung yang meliputi aspek-aspek lahiriah, batin, dan ngelmu sejati atau kesempuranaan, seperti ilmu pengetahuan, bahasa, satra, tata krama, tata susila, adat-istadat, seni budaya, budi pekerti, dan budi luhur. Falsafah mamayu hayuning bawono dan ngelmu kesempurnaan hidup untuk jambuhing kawulo gusti selalu menjadi pegangan yang penting. Sehingga dengan sikap dan laku Kejawen, dalam hidup ini kita bisa nglenggahi urip ing marcapada lan urip kang sejati, yaitu mampu menjalani hidup baik dan benar di dunia ini sekaligus mampu menghayati hidup sejati melalui hubungan harmonis, selaras kawulo gusti atau hubungan hamba dengan Tuhan.
Kita bisa melaksanakan hak dan kewajiban hidup kita secara seimbang lahir, batin, dan spiritual sebagai manusia yang sadar, yang selalu mau belajar, bekerja, dan berusaha dengan rajin, tekun, prosduktif, konstruktif, berpikir, bersikap, dan bertindak positif untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, dunia, dan alam semesta (ingat kita semua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari itu semua), dan selalu menyembah dan berbakti kepada Tuhan, menurut agama dan kepercayaannya yang benar-benar dihayati. Sehingga keseimbangan hidup dalam Kejawen adalah sekali lagi lahir, batin, spiritual, dan hidup ini haruslah aktif, tidak loyo. Silahkan berbuat apapun asal dengan cara yang baik dan benar, menjunjung etika dan moral, sopan, suka menolong, pendek kata kebutuhan hidupnya di dunia supaya terpenuhi dengan memadai sesuai dengan keperluan pokok dan perkembangan zaman yaitu antara lain: sandang, pangan, papan, intelektual, budaya, dan spiritual.

21 Januari 2009



Sejarah Singkat Gedung De Javasche Bank (Museum Bank Indonesia)


De Javasche Bank resmi berdiri di Batavia pada 24 Januari 1828 berdasarkan Octrooi. Pada waktu itu De Javasche Bank adalah perusahaan swasta yang modalnya berasal dari 34 pemegang saham.

Sebagai perusahaan swasta yang bergerak di bidang perbankan, kegiatan De Javasche Bank berkaitan erat dengan perdagangan hasil bumi dari berbagai penjuru Hindia Belanda, oleh karena itu De Javasche Bank tidak saja memiliki kantor di Batavia, tetapi juga di beberapa kota besar seperti Semarang, Surabaya, Medan, Solo, dan lain-lain. Pentingnya komoditi hasil bumi bagi De Javasche Bank terlihat pada kaca patri yang menjadi ornamen hias gedung.

Sejarah Gedung
Pada awal berdirinya, De Javasche Bank menempati bangunan dua lantai bekas rumah sakit dalam kota, yang saat itu dikenal dengan nama Binnenhospital. Gedung berbentuk L ini terletak di sisi jalan Bank dan pinggir Kali Besar. Pada saat itu Binnenhospital berada persis di sebelah dalam tembok kota tua Batavia.

Sesuai dengan perkembangan zaman, kegiatan De Javasche Bank makin banyak. Kapasitas gedung sudah tidak memadai dengan kebutuhannya sebagai bank besar, sehingga dimintalah Biro Arsitek Ed Cuypers en Hulswit untuk merancang renovasi dan perluasan gedung. Biro arsitek ini adalah konsultan arsitektur terkemuka yang didirikan di Batavia pada 1908 sebagai cabang dari biro yang sama di Amsterdam. Maka dimulailah pembangunan perluasan gedung dengan menambahkan beberapa unit baru.

Kronologis Renovasi
Kronologis pembangunan adalah sebagai berikut:
Tahap 1: 1909-1912
Tahap 2: 1922
Tahap 3: 1924
Tahap 4: 1933-1935

Pada tahap satu pembangunan difokuskan pada penyediaan beberapa fungsi baru yang sebelumnya tidak ada. Unit-unit tersebut adalah ruang-ruang berlapis baja tempat penyimpanan benda berharga (pantserkluizen atau lazim disebut kluis, atau yang sekarang dikenal dengan nama ruang khasanah). Oleh Biro Arsitek Ed Cuypers en Hulswit bangunan baru ini direnovasi menjadi lebih dekoratif dan bergaya neo klasik. Kelihatannya Biro Arsitek Ed Cuypers en Hulswit terpengaruh dengan tren yang saat itu tengah berkembang di Eropa, yaitu aliran arsitektur Beaux Arts. Aliran ini dipelopori oleh para arsitek lulusan sekolah arsitek bergengsi, Ecole des Beaux Arts, di Paris. Aliran ini amat terbuka dalam memanfaatkan gagasan-gagasan karya seni lain ke dalam rancangan arsitektur bangunannya. Ini terlihat jelas pada berbagai elemen bangunan luar ruang maupun interior gedung ini. Gaya ‘Arts and Craft’, ‘Art Nouveau’, dan ‘Art Deco’ memperkaya unsur dekoratif bangunan. Itu sebabnya bangunan ini menjadi karya arsitektur penting di Hindia Belanda. Selain itu, bangunan ini merupakan gedung bergaya Eropa pertama di Hindia Belanda yang memasukkan unsur-unsur domestik dalam ragam hiasnya, seperti elemen dekoratif yang berasal dari makara maupun kolom-kolom dari candi-candi hindu maupun bentuk stupa.

Kemudian pada tahap dua perluasan yang dilakukan tidak mengubah bentuk arsitektur bangunan maupun tampilan luarnya. Fokus renovasi tahap dua ini adalah dengan menambah beberapa kluis, ruang arsip, ruang rapat besar, dan rumah penjaga. Ruang rapat besar ini kemudian dikenal dengan nama Ruang Hijau karena dindingnya ditutup keramik hijau yang didatangkan dari Martin & Co, Amsterdam. Konstruksi ruang lapis bajanya dibuat khusus oleh perusahaan LIPS dari Dordrect. Dinding, lantai, dan plafon dibuat dari beton setebal 65 cm diperkuat dengan baja ulir dan dinding ganda. Pada setiap sudut dinding luar dipasang cermin sudut untuk kepentingan keamanan.

Pembangunan yang dilakukan pada 1924 sebetulnya hanya meneruskan apa yang sudah dikerjakan pada tahap sebelumnya (1922) dengan menyelesaikan unit bangunan di sepanjang jl Bank (dulu disebut Javabankstraat). Bangunan baru ini menggantikan bangunan bekas rumah sakit, sehingga sudah tidak tersisa lagi bangunan bekas rumah sakit Binnenhospital tersebut.

Dan pada tahap terakhir, 1933-1935, terdapat beberapa tambahan baru, seperti kluis yang ditempatkan di sisi jalan Pintu Besar Utara (dulu jalan Binnen-Nieuwpoortstraat), tampak depan (di sisi jalan Pintu Besar Utara) dirombak tampilannya menjadi lebih sederhana, tambahan ruang effecten baru, dan juga unit baru yang megah, yang ditempatkan di tengah-tengah.

Sedangkan sejak 1935 sampai sekarang perubahan dan renovasi tidak ada yang dilakukan secara besar-besaran sehingga mengubah bentuk terakhir (1935). Perubahan yang terjadi lebih karena harus menyesuaikan dengan kebutuhan praktis atau karena fungsi ruang yang berubah. Perubahan dilakukan dengan menutup koridor menjadi ruangan baru ataupun membagi ruangan lama dengan partisi dan diding baru.

Unsur dekoratif dari gaya ‘Beaux Arts’ terus bertahan hingga kini. Unsur-unsur tersebut dapat dilihat dari bentuk-bentuk ragam hias dan ornamen yang terdapat pada gedung, seperti misalnya jendela dormer, louver, balustrade, kolom-kolom dengan kepala dekoratif, pilaster, bukaan dinding arcade, ressaut, ataupun kaca patri.

Kaca Patri
Kaca-kaca patri di gedung ini dipesan dari studio Jan Schouten, Delft, Belanda—diperkirakan pada sekitar 1922, 1924, dan 1935, ketika gedung ini dibangun. Karena dirawat dengan hati-hati, sampai saat ini kondisi kaca-kaca patri ini masih baik. Kaca patri ini adalah kaca yang dilukis dan diberi warna dengan cara dibakar hingga 1.100°C agar mendapat kualitas warna yang terbaik. Setelah diwarnai, kaca tersebut dirangkai menjadi beragam motif dengan menggunakan patrian timah. Motif lukisan kaca patri di gedung ini kebanyakan mewakili berbagai aspek seputar perdagangan dan kehidupan di Hindia Belanda.

Kaca patri lobi
Kaca patri di lobi ini terdiri dari tiga bagian. Di baris paling atas, sebelah kiri, menunjukkan seorang dewi berlambang kota Batavia (sebagai tempat berdirinya De Javasche Bank); dan di sebelah kanan menunjukkan seorang dewi berlambang kota Surabaya. Kaca-kaca patri di baris tengah menggambarkan berbagai kegiatan seni, seperti menyanyi, fotografi, drama, mematung, pembuatan film dan keramik. Pada baris terbawah, digambarkan berbagai aktivitas masyarakat Hindia Belanda kala itu. Dua yang paling kiri menggambarkan kegiatan bertenak dan bertani; di tengah menunjukkan dua kapal—kapal bermesin uap dan kapal layar—yang melaut mengangkut kekayaan Nusantara; dan dua yang paling kanan menggambarkan kegiatan panen dan membatik.

Kaca patri Ruang Hijau
Kaca patri di ruang hijau ini menggambarkan komoditi utama pada saat itu, seperti hasil tambang (minyak bumi, timah), hasil perkebunan (tembakau, kopi, coklat), rempah-rempah (lada, pala), dan hasil bumi lainnya yang dianggap penting (garam).

Kaca patri tangga
Kaca patri yang berada di ruang tangga tiga menggambarkan Dewa Merkurius yang merupakan dewa pelindung perdagangan, di bawahnya tertera tulisan “De Javasche Bank Gericht Anno 1828” atau “De Javasche Bank, didirikan pada 1828”.

Di bawah kaca patri Merkurius terdapat tiga kaca patri kecil dengan lambang tiga kota penting dalam perdagangan di Pulau Jawa kala itu, yaitu lambang kota Semarang, Surabaya, dan Batavia.

Lokasi Gedung

Kantor pusat De Javasche Bank atau yang kemudian diteruskan oleh Bank Indonesia ini terletak di kawasan ‘Kota’. Kawasan ini adalah kawasan tertua di wilayah Jakarta. Nama yang disandangnya sejak pendudukan Belanda yang pertama kali di Jawa pada abad ke-17 adalah Batavia. Gedung ini terletak di jalur utama yang membelah kota lama dengan balai kotanya yang dibangun pada abad ke-18 di utara dan kota baru dengan alun-alun baru di sebelah selatan yang dibangun pada awal abad ke-20.

Sebagai wilayah yang pertama kali dibangun oleh Belanda, Kota juga merupakan pelabuhan utama yang memasok segala kebutuhan termasuk sebagai bandar perdagangan yang cukup penting, karena kapal-kapal dagang dari seluruh penjuru dunia berlabuh di Batavia untuk berdagang.
Manajemen dan Sejarah

Kayaknya kedua hal tersebut itu tidak ada sambungannya ya...???
Bagi gua itu ada, karena kedua2nya akan gua gabungkan dalam studi gua yang baru nanti.
Yah...mudah2an sih gua masih bisa gunain ilmu gua di S1 buat diaplikasikan dalam studi gua di S2 nanti, pokoknya gua kali ini harus sungguh2.....secara umur gua uda mau mendekati kepala tiga.

Manajemen sih kata orang itu ilmu yang gampang, tapi bagi gua segampang apapun itu, kalo kita ngga belajar, ya tetep aja tidak bisa dipergunakan....

Kalo sejarah, mungkin aneh di mata orang, karena belajarnya hal2 yang uda lewat alias jadul, tapi bukan itu inti sarinya belajar sejarah, yang terpenting adalah bagaimana kita mengenali pola2 peristiwa itu yang pastinya suatu saat akan terjadi lagi di masa kini, dan yang terpenting dari ilmu sejarah adalah modal dasar penelitian yang dahsyat udah gua dapatin....

So....kita liat nanti, apakah gua bisa mencapai hasil yang terbaik di studi ini.....
Semoga Tuhan memberikan anugerahnya buat gua menghadapi ini...

Amin....
Kuliah lagi...Kuliah lagi....

Sip....di awal 2009 uda dikasi ketetapan buat kuliah lagi.
Biarpun daftarnya di universitas kelas "2" di Indonesia, bagi gua itu ngga penting.
yang terpenting adalah gua dapat menimba ilmu dan belajar lagi dengan biaya yang terjangkau di kantong.
Toh ngga semua yang murah itu kualitasnya jelek kan...????
Mudah2an di awal 2011 uda bisa dapat semua yang gua inginin
Gelar S2, Istri yang cantik, dan pekerjaan yang tetap......
Amin....

Mudah2an Allah SWT memberikan jalan untuk hal yang gua lakuin.....
Pokoknya musti dimulai sejak tahun ini.....
Sip....

16 Januari 2009

Mesin Potong Seybold Precision
Mesin ini buatan Amerika Serikat yang dipergunakan pada saat pencetakan ORI di Kendalpayak, Malang pada tahun 1946. Fungsi dari mesin ini adalah untuk memotong kertas yang didalamnya telag tercetak ORI. Pada saat perpindahan pencetakan dari Malang ke Yogyakarta, mesin ini turut dibawa serta, dan kembali dipergunakan pada saat melakukan pencetakan ORI di Yogyakarta.
Mesin mempunyai tenaga penggerak motor listrik dengan kapasitas daya 1 KW. Ukuran kertas yang dapat dipotong oleh mesin ini, maksimal berukuran 500 x 900 mm.