04 Februari 2009

Pengedaran Uang di Indonesia Sebelum 1968



Pembuatan uang di Indonesia pada awalnya dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Darurat No.20/1951 tanggal 27 September 1951 (ditetapkan menjadi Undang-Undang No.27/1953 tanggal 18 Desember 1953) tentang mata uang dinyatakan bahwa uang dengan pecahan di bawah lima rupiah dicetak oleh Pemerintah.[1] Pada perkembanganya pemerintah menerbitkan beberapa seri uang kertas dan uang logam. Pada tahun 1951, Pemerintah mencetak uang kertas di Security Banknote Company. Setelah itu sejak tahun 1954-1964, pencetakan uang kertas Pemerintah di lakukan oleh PN Pertjetakan Kebajoran. Sementara itu untuk pencetakan uang logam dilakukan oleh PN Arta Yasa.[2] Untuk pecahan di atas lima rupiah pencetakan dilakukan oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan dalam pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No.11/1953 tentang Bank Indonesia. Pada periode 1953-1964, Bank Indonesia mencetak uang kertas dalam beberapa emisi. Pencetakan uang kertas oleh Bank Indonesia dilakukan di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, pencetakan dilakukan oleh PN Pertjetakan Kebajoran, sedangkan di luar negeri dilakukan oleh Johan Enschede&Zonen (Belanda) dan Thomas De La Rue & Co (Inggris).[3]

Meskipun diterbitkan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia, akan tetapi pengedaran uang tersebut menjadi tugas dari Bank Indonesia. Hal ini terkait pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.11/1953 yang menyatakan tugas Bank Indonesia untuk mengatur keseimbangan nilai rupiah dan menyelenggarakan pengedaran uang di Indonesia.[4] Uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah tidak ada ketentuan penjaminan. Namun demikian pengamanannya dilakukan dengan menetapkan jumlah-jumlah uang kertas pemerintah yang dapat dikeluarkan oleh pemerintah yang diatur dalam PP. Jumlah uang kertas pemerintah jumlahnya relative sangat kecil, hanya 5% dari seluruh jumlah uang yang beredar. Uang logam yang dikeluarkan oleh pemerintah nilainya dijamin oleh nilai bahan logam yang digunakannya.[5] Sementara itu dalam mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas, Bank Indonesia dibatasi oleh ketentuan yang terdapat dalam pasal 16 Undang-Undang No.11/1953 yang menyatakan bahwa:[6]
a. Jumlah semua uang kertas, saldo rekening Koran, dan tagihan-taghian lain yang dapat segera ditagih dari Bank Indonesia harus seperlimanya dijamin dengan emas, mata uang emas, atau cadangan yang terdiri atas alat-alat pembayaran luar negeri yang umumnya dapat ditukarkan.
b. Minimal seperlima dari nilai jaminan tersebut harus ada di Indonesia.
c. Dalam keadaan luar biasa, untuk rentang waktu paling lama tiga bulan, Bank Indonesia boleh menyimpang dari ketentuan seperlima tersebut.


Penjaminan uang dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan pemegang uang kertas, karena sesuatu hal misalnya karena tidak percaya lagi atas uang tersebut, minta uangnya ditukar dengan aset senilai yang tercantum dalam mata uang tersebut. Penentuan besarnya jaminan biasanya dimulai saat Bank Indonesia menghitung jumlah uang yang akan beredar dalam satu tahun untuk dijadikan dasar penetapan besarnya nilai jaminan. Akan tetapi apabila jumlah cadangan devisa yang digunakan untuk penjaminan tidak mencukupi, maka Direksi akan mengajukan perubahan prosentase jaminan kepada Dewan Moneter. Setelah itu, Dewan Moneter akan mengajukan kepada parlemen untuk persetujuan, dan apabila disetujui akan dikeluarkan undang-undang yang tentang ketentuan penjaminan. Berdasarkan undang-undang itulah, Bank Indonesia menyiapkan jaminan sebagaimana ditetapkan, yang seperlimanya harus ada di Indonesia.[7] Saat jaminan telah disiapkan, barulah Bank Indonesia mencetak dan mengedarkan uang.


Pada perkembangannya persentase jaminan emas mengalami penurunan menjadi lebih rendah dari 15% pada tanggal 30 Januari 1957, karena ketidakpercayaan terhadap uang kertas tidak selalu terjadi, dan jaminannya pun tidak selalu dalam bentuk emas, tetapi dalam bentuk yang lainnya. Pada akhirnya berdasarkan UU No.84 tahun 1958 tentang pengubahan pasal 16 dan 19 Undang-Undang Pokok Bank Indonesia No.11/1953, Bank Indonesia dibebaskan dari kewajiban menepati persentase jaminan emas atas uang yang diedarkan. Ketentuan tersebut diambil oleh pemerintah karena terus menurunnya cadangan devisa Indonesia, sementara peredaran uang terus mengalami peningkatan. Hal itu menyebabkan cadangan devisa Indonesia tidak dapat mengimbangi pertumbuhan uang yang beredar, sehingga penjaminan emas atau uang yang dikeluarkan tidak dapat dipertahankan lagi dan pada akhirnya dihapuskan. Sebagai gantinya, Bank Indonesia diwajibkan untuk menyediakan devisa untuk membiayai kebutuhan impor selama tiga bulan.[8]


Pada periode Ekonomi Terpimpin, Bank Indonesia membantu Pemerintah mengedarkan uang Rupiah Irian Barat (IB Rp) dan uang rupiah khusus kepulauan Riau (KR Rp). Hal itu dilakukan untuk mewujudkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, karena pada waktu itu di wilayah Irian Barat masih menggunakan mata uang Nederlands Niuew Guinea Gulden dan di Kepualuan Riau sebagian besar masyarakatnya menggunakan Malayan Dollar sebagai alat pembayarannya.[9] Untuk mengukuhkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden No.27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember untuk mengeluarkan uang Rupiah baru sebagai alat pembayaran yang berlaku bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Peraturan tersebut juga menyatakan bahwa Bank Indonesia diberikan wewenang untuk mengeluarkan semua jenis uang dalam segala pecahan, sehingga berdasarkan peraturan ini Pemerintah tidak lagi menerbitkan uang rupiah dalam pecahan apapun.[10]


Penetapan Presiden No.27/1965 merupakan peraturan yang menyatakan bahwa Bank Indonesia sebagai satu-satunya lembaga dalam mengeluarkan dan mengedarkan uang di Indonesia. Pecahan dibawah lima rupiah yang pertama kali dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank Indonesia adalah uang kertas seri Dwikora dengan tanda tahun 1964 yang diedarkan bersamaan dengan pemberlakukan penetapan presiden tersebut. Uang yang dikeluarkan tersebut berupa uang kertas dengan pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen, dan 50 sen. Uang tersebut ditandatangani oleh T. Jusuf Muda Dalam (Gubernur Bank Indonesia) dan R. Hertatijanto (Direktur Bank Indonesia). Semua uang itu dicetak oleh PN. Pertjetakan Kebajoran (PERKEBA).[11]


Pergantian Pemerintahan pada tahun 1966 menyebabkan dilakukannya penataan kembali kehidupan perekonomian di Indonesia yang saat itu berada di ambang kebangkrutan. Hiperinflasi yang mencapai angka 635% pada bulan Maret 1966 menyebabkan masyarakat menderita. Untuk itu Pemerintahan yang baru berusaha agar krisis ekonomi yang ada di Indonesia dapat segera di atasi. Berdasarkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan maka Pemerintah berusaha untuk melakukan restrukrisasi dan rehabilitasi perekonomian di Indonesia. Dalam pasal 55 ketetapan tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka pengamanan keuangan negara pada umumnya dan pengawasan serta penyehatan tata-perbankan pada khususnya, maka segera harus ditetapkan Undang-Undang Pokok Perbankan dan Undang-Undang bank sentral.[12] Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut, maka dikeluarkan Undang-Undang No.14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang disahkan dan diundangkan tanggal 30 Desember 1967. Setahun kemudian, disahkan pula undang-undang No.13/1968 tentang bank sentral pada tanggal 7 Desember 1968. Undang-undang tersebut berlaku mulai tanggal 31 Desember 1968. Selanjutnya sesuai dengan undang-undang tersebut, bank sentral tetap menggunakan nama Bank Indonesia.


Catatan Kaki:
[1] Undang-Undang Darurat No.20/1951 tanggal 27 September 1951 tentang Penghentian Berlakunya “Indische Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang, dan Undang-Undang No.27/1953 tanggal 18b Desember 1953 tentang Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang.
[2] Tim Penulis Sejarah Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode I (1945-1959): Bank Indonesia Pada Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Bank Indonesia. 2005. Hlm. 263-264.
[3] Ibid., hlm. 264-267.
[4] Undang-Undang No.11/1953 tanggal 19 Mei 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia.
[5] Cyber Museum.
[6] Undang-Undang No.11/1953.
[7] Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1958), Jakarta: LPPI, 1991. Hlm. 255-257.
[8] Ibid.
[9] Untuk masalah Rupiah Irian Barat diatur dalam Penetapan Presiden No.2/1963, sedangkan untuk Rupiah Kepulauan Riau diatur dalam Penetapan Presiden No.9 Tahun 1953.
[10] Penetapan Presiden No.27/1965.
[11] Tim Penulis Sejarah Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode II (1959-1966): Bank Indonesia Pada Masa Ekonomi Terpimpin, Jakarta: Bank Indonesia, 2005. Hlm. 203-205.
[12] Tap MPRS No.XXIII/MPRS/1966.

Tidak ada komentar: