15 Januari 2008


Hutang Indonesia Akibat Konferensi Meja Bundar


Ada berapakah sebenarnya hutang Indonesia yang harus dibayarkan oleh Pemerintah Indonesia kepada kerajaan Belanda. Hutang tersebut merupakan salah satu bagian dari isi Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada Agustus – November 1949. Draft hutang yang disampaikan oleh delegasi Belanda merupakan hutang Hindia Belanda yang harus dibayarkan oleh Pemerintah Indonesia. Belanda berasumsi bahwa hutang Hindia Belanda seharusnya dilunasi oleh pemerintahan yang akan mewarisinya, sehingga pemerintah Kerajaan Belanda tidak mau untuk menanggung beban hutang tersebut.
Banyak tulisan yang mengungkapkan tentang jumlah hutang tersebut. Akan tetapi tulisan-tulisan tersebut sepakat menyatakan bahwa delegasi Belanda mengajukan draft hutang Hindia Belanda yang harus dibayar oleh Pemerintah Indonesia sebesar 6,1 miliar gulden. Sebuah jumlah yang sangat besar, mengingat saat itu Belanda baru saja mendapatkan bantuan Marshall Plan dari Amerika Serikat sebesar USD. 1.127 miliar (kurs saat itu USD 1 = f. 3.80) untuk membangun negara tersebut Pasca Perang Dunia II. Draft hutang tersebut disusun secara terperinci tentang hutang luar negeri dan hutang dalam negeri Hindia Belanda. Hutang luar negeri Hindia Belanda saat itu mencapai 3 miliar gulden dan hutang dalam negerinya berjumlah 3,1 miliar gulden. Kerajaan Belanda hanya bersedia untuk membayar f. 500 juta saja, sehingga total hutang yang harus ditanggung oleh Pemerintah Indonesia sebesar 5,6 miliar gulden.
Jumlah tersebut tentu saja sangat memberatkan Pemerintah Indonesia, karena keadaan ekonomi Indonesia saat itu dalam keadaan yang terpuruk pasca perang revolusi kemerdekaan. Soemitro Djodjohadikusumo selaku wakil Indonesia di bidang ekonomi tentu saja menolak keras hal tersebut. Ia melakukan perhitungan bahwa seharusnya Belanda-lah yang membayar hutang kepada Indonesia karena telah melakukan kerusakan di Indonesia saat melakukan agresi militer I dan II. Perhitungan yang dilakukan oleh Soemitro kemudian menyatakan bahwa Belanda harus membayar kepada Indonesia sebesar f. 540 juta. Perundingan masalah hutang ini merupakan hal yang alot dalam Konferensi Meja Bundar yang baru berakhir pada di awal November 1949 (3 bulan perundingan).
Perbedaan pendapat tentang hutang tersebut baru terlihat saat jumlah yang harus dibayarkan oleh Indonesia atas hutang Hindia Belanda. Banyak sumber yang menyatakan bahwa sebenarnya hutang yang harus ditanggung oleh Pemerintah Indonesia setelah melalui berbagai kompromi adalah sebesar f. 4,5 milyar gulden. Ada pula yang menyatakan bahwa jumlah hutang yang harus dibayar Indonesia adalah 4,3 milyar gulden atau setara dengan USD. 1,13 miliar. Di satu sisi isi perjanjian KMB tentang masalah penyelesaian hutang-piutang (pasal 25 – 27) dijelaskan bahwa Indonesia harus membayar hutang Hindia Belanda sebesar f. 2 milyar. Perbedaan angka tersebut memang membingungkan, akan tetapi jumlah hutang sebenarnya yang harus dibayar oleh Pemerintah Indonesia dapat dilihat dalam laporan tahunan Bank Indonesia. Dari validitas sumber yang didapatkan bahwa sebenarnya hutang Hindia Belanda yang harus ditanggung oleh Pemerintah Indonesia berjumlah f. 2 milyar gulden. Penyebutan jumlah hutang Hindia Belanda yang harus ditanggung oleh diatas 4 milyar gulden mungkin dikarenakan oleh laporan tahunan Bank Indonesia tentang jumlah hutang luar negeri Indonesia. Padahal jumlah hutang luar negeri Pemerintah merupakan hutang yang dihasilkan oleh pemerintah secara keseluruhan, dan hutang Hindia Belanda yang harus ditanggung merupakan salah satu bagian dari hutang tersebut.
Apakah hutang ‘limpahan’ tersebut dibayar oleh pemerintah Indonesia? Hal itu bisa dilihat dari laporan tahunan Bank Indonesia, lembaga yang mengatur seluruh kegiatan yang berkaitan dengan moneter di Indonesia. Berdasarkan laporan tersebut dicatatkan bahwa hutang-hutang pemerintah Indonesia dibayar oleh pemerintan Indonesia dengan cara dicicil. Akan tetapi berapa jumlah hutang limpahan yang dibayar oleh Pemerintah Indonesia tidak dilaporkan secara terinci dan hanya tersimpan di dalam ruang arsip Bank Indonesia. Laporan yang ada hanyalah pembayaran hutang luar negeri Indonesia secara keseluruhan. Pembayaran hutang limpahan tersebut baru terhenti setelah adanya pembatalan hasil perjanjian KMB oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1956 akibat masalah Irian Barat yang nantinya akan diikuti dengan tindakan pengambil alihan dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia pada akhir decade 1950-an. Sisa hutang pada saat pembatalan tersebut hanya dapat diketahui dalam rupiah, yaitu sekitar Rp. 500 juta (data tentang kurs rupiah dengan gulden tidak ditemukan). Sesuatu hal yang sangat merugikan sebenarnya bagi Pemerintah Indonesia, karena hutang tersebut hampir dilunasi. Akan tetapi hal itu sudah terjadi dan sebenarnya kita bisa belajar bahwa tindakan yang dilakukan tanpa perencanaan yang matang dan hanya didasari atas rasa emosional semata-mata tidak membawa keuntungan. Yang terjadi hanyalah kerugian, dan hal tersebut masih saja terus diulangi oleh bangsa Indonesia sampai saat ini. Memang, kita tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu untuk dijadikan sebagai pelajaran di masa sekarang dan masa yang akan datang.

08 Januari 2008


Krisis Di Indonesia



Pendahuluan
Krisis nilai tukar yang terjadi sebagai akibat penularan dari krisis di Thailand telah melanda Indonesia dalam tahun 1997-1999, tidak saja di bidang ekonomi tetapi berkembang menjadi krisis multidimensi. Hal tersebut terjadi karena krisis moneter di Indonesia secara cepat menjalar menjadi krisis perbankan, krisis ekonomi, dan berlanjut ke krisis sosial-politik dan bidang-bidang lain.
Depresiasi Rupiah yang besar telah menyebabkan berbagai kesulitan. Para pengusaha mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri yang jatuh waktu dan untuk mengimpor bahan baku yang diperlukannya. Bank-bank mengalami kesulitan dari rentetan masalah yang dihadapi nasabah dalam membayar hutang-hutang mereka, ditambah lagi dengan adanya sebagian masyarakat melakukan spekulasi di tengah-tengah perkembangan yang semakin memprihatinkan. Krisis tersebut kemudian menyebabkan berkurangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek perekonomian Indonesia, sedangkan pada saat yang bersamaan prospek ekonomi di kawasan lain, khususnya Amerika, sangat menjanjikan. Modal asing yang selama ini turut membiayai pembangunan ekonomi Indonesia tidak masuk lagi, bahkan mengalir keluar secara bersamaan dan dan dalam jumlah yang besar. Akibatnya, gejolak nilai tukar telah menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang sangat parah, dan stagflasi mewarnai ekonomi Indonesia sehingga aktivitas ekonomi merosot tajam. Pada paruh pertama tahun 1998, misalnya, kegiatan ekonomi mengalami kontraksi sebesar 12% per tahun sebagai akibat banyaknya perusahaan mengurangi aktivitas atau bahkan menghentikan produksinya. Laju inflasi juga melambung tinggi, yakni mencapai 69,1% dalam periode Januari – Agustus 1998. tingginya laju inflasi menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat, khususnya golongan berpendapatan rendah. Dalam perkembangannya, kondisi ekonomi diperparah dengan rusaknya sistem distribusi bahan kebutuhan pokok yang berakibat pada timbulnya gejolak sosial-politik.
Krisis juga telah mengakibatkan timbulnya berbagai masalah yang dihadapi Bank Indonesia seperti dilema dalam mengatasi krisis perbankan yang menimbulkan masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Di sisi lain, krisis juga telah mempercepat proses perubahan status Bank Indonesia menjadi bank sentral yang independen.

Pemicu Terjadinya Krisis
Pemicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah efek dari krisis nilai tukar di Thailand pada awal Juli 1997 yang melanda pasar valuta asing di kawasan Asia dan mempengaruhi pasar valas di Indonesia yang beroperasi dalam perekonomian nasional yang mengidap berbagai kelemahan struktural. Proses penularan berkembang cepat menjadi krisis yang melanda semua aspek kehidupan masyarakat karena pasar keuangan domestik sudah terintegrasi ke dalam pasar keuangan global. Krisis di Indonesia menjadi sangat parah karena baik dari sumber asalnya maupun struktur ekonomi nasional memang menyebabkan terjadinya proses deteriorisasi secara sistematik sehingga menimbulkan dampak yang sangat besar. Gejolak ekstern pada pasar valas merupakan dampak penekanan nilai mata uang di kawasan, setelah terjadi perubahan sentimen pasar dari optimisme yang berlebihan. Sementara itu, ekonomi nasional diwarnai dengan struktur keuangan, terutama perbankan, yang lemah dan sektor riil yang juga lemah sebagaimana tercermin pada ekonomi biaya tinggi. Kedua unsur ini menyebabkan krisis yang terjadi menjadi sangat dahsyat sehingga dampaknya juga sangat luas. Krisis yang pada awalnya hanyalah krisis nilai tukar kemudian berkembang menjadi krisis perbankan, hingga menjalar menjadi krisis sosial dan politik yang berakibat sangat dahsyat bagi kehidupan bangsa Indonesia.

Krisis Nilai Tukar
Krisis nilai tukar merupakan penularan dari krisis serupa di Thailand. Mulai Juli 1997, rupiah mengalami depresiasi yang besar. Dalam waktu satu bulan, nilai rupiah di pasar valuta asing terus melemah, sehingga untuk menyelamatkan cadangan devisa negara, Bank Indonesia melepaskan system nilai tukar mengambang terkendali menjadi system mengambang bebas. Sejak diberlakukannya system itu, maka nilai tukar rupiah benar-benar terjun bebas ke level yang terus merosot. Puncaknya terjadi pada bulan Juni 1998, ketika nilai rupiah menjadi Rp. 16.500,- per dolar Amerika Serikat. Hal itu memperlihatkan bahwa dalam waktu satu tahun saja, rupiah dengan mudah terdepresiasi lebih dari 500% terhadap dolar Amerika Serikat.
Terjun bebasnya nilai rupiah disebabkan oleh berbagai peristiwa social-politik yang terjadi di Indonesia, terutama gelombang kerusuhan massa pada Mei 1998 yang telah menurunkan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Baru pada saat Pemerintah mengundang lembaga moneter internasional (IMF) untuk membantu penyelesaian krisis, maka nilai tukar rupiah mengalami penguatan secara bertahap. Sampai saat ini nilai tukar rupiah cenderung stabil di pasar valuta, yaitu berada di kisaran Rp. 9.000,- s/d Rp. 10.000,- per satu dolar Amerika Serikat.

Krisis Perbankan
Pada saat awal krisis melanda di bulan Juli 1997, perbankan merupakan jenis usaha yang terkena dampak paling parah. Kondisi krisis menyebabkan perbankan tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Krisis perbankan dimulai dengan timbulnya kesulitan likuiditas yang diakibatkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah yang berakibat pada kesulitan bank dalam memenuhi kewajibannya kepada luar negeri dan kesulitan nasabahnya dalam melunasi hutangnya kepada bank. Kondisi perbankan kemudian menjadi rawan setelah munculnya penarikan simpanan dan pemindahan dana dari bank yang lemah ke bank yang kuat secara besar-besaran akibat semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Apalagi setelah likuidasi 16 bank swasta nasional pada tanggal 1 November 1997 yang dilakukan tanpa persiapan yang memadai untuk menghadapi rush atau bank run. Akibatnya beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat ikut terkena dampak tersebut sehingga posisi mereka menjadi tidak sehat dan mengalami kesulitan likuiditas. Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah melakukan berbagai langkah penyelamatan antara lain mendirikan BPPN, penyempurnaan kelembagaan, dan pemberian status mandiri kepada Bank Indonesia. Selain itu untuk membantu permodalan dan membiayai operasional maka bank-bank tersebut diberikan Bantuan Likuiditas dari Bank Indonesia. Hal itu mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat yang sejak pertengahan tahun 1999 sudah mulai menyimpan kembali dana mereka di sector perbankan. Setelah itu untuk proses penyehatan perbankan, maka Pemerintah mulai melakukan program restrukturisasi dam rekapitalisasi perbankan agar perbankan mampu beroperasi seperti sebelum krisis.

Krisis Sosial dan Politik
Krisis moneter dan perbankan telah memberikan pengaruh negative yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, sehingga dampak social dan politiknya juga luar biasa. Hal itu disebabkan oleh struktur dan kelembagaan social serta politik di Indonesia juga mengidap kelemahan, sehingga proses penularan krisis terus berlangung dan melanda sendi-sendi kehidupan social dan politik , sehingga Indonesia akhirnya mengalami krisis multidimensi. Banyak perusahaan yang terpaksa gulung tikar dan pada akhirnya muncul pengangguran baru di Indonesia akibat pemutusan hubungan kerja dalam jumlah yang besar. Di sisi lain harga-harga barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi dan ini semakin membenani rakyat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Keadaan tersebut pada akhirnya meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia dan menimbulkan masalah-masalah social baru yang merugikan kehidupan social di Indonesia.
Krisis yang semakin dahsyat pada akhirnya memaksa mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan untuk menuntut perubahan di negeri ini. Demonstrasi mahasiswa yang awalnya dilakukan dengan damai ternyata malah dilawan dengan tindakan yang represif dari aparat keamanan. Puncak dari ketegangan politik pada saat itu ialah terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Kematian mahasiswa tersebut menimbulkan gelombang kerusuhan missal pada dua hari berikutnya di berbagai kota di Indonesia. Kerusuhan yang terjadi semakin menenggelamkan Indonesia dalam kehancuran dan ketidakpercayaan masyarakat internasional terhadap keamanan di Indonesia. Hal ini tentu saja menyulitkan Pemerintah untuk melakukan perbaikan terhadap krisis yang terjadi. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga semakin menurun, dan satu-per satu unsur yang mendukung pemerintahan mulai menarik dukungannya, sehingga pemerintahan mulai goyah dan tidak dapat dipertahankan lagi. Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun mengundurkan diri, dan dengan demikian Orde Baru berakhir dan mulailah Era Reformasi di Indonesia.

Penutup

Krisis yang terjadi di Indonesia perlahan-lahan mulai dapat diatasi. Nilai tukar Rupiah mengalami perkembangan yang stabil sampai dengan saat ini. Selain itu struktur perbankan telah diperkuat berkat diberikannya kemandirian kepada Bank Indonesia dalam menentukan berbagai kebijakan di bidang perbankan. Saat ini perbankan telah mampu bangkit kembali dan telah menjadi lembaga intermediasi keuangan yang efektif dan terpercaya. Keadaan perbankan saat ini terus diperbaiki, sehingga terjadinya krisis perbankan yang nyaris menghancurkan system perbankan Indonesia pada tahun 1997 tidak terulang kembali.
Akan tetapi meskipun krisis nilai tukar dan perbankan telah teratasi, krisis yang lebih luas yaitu krisis social di masyarakat belum sepenuhnya dapat teratasi. Masalah lapangan pekerjaan, sulitnya pemenuhan kebutuhan hidup, hingga munculnya bibit-bibit disintegrasi bangsa di daerah terus saja datang silih berganti. Ketidak berpihakan Pemerintah kepada masyakarat golongan menengah ke bawah dan praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang dilakukan oleh sebagian oknum pejabat di negeri ini mengakibatkan rakyat kecil semakin hidup dalam ketertinggalan. Entah sampai kapan keadaan sebagian besar masyarakat Indonesia terus hidup dalam kemiskinan, dan entah sampai kapan pula bangsa ini dapat hidup dalam suasana yang “gemah ripah loh jinawi” seperti cerita yang pernah disampaikan oleh nenek moyang kita di masa lalu.

07 Januari 2008

OEANG REPUBLIK INDONESIA


Latar Belakang Dikeluarkannya ORI

ORI adalah uang kertas pertama kali yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI. ORI dikeluarkan untuk menggantikan uang yang beredar saat itu di masyarakat, yaitu uang De Javasche Bank, uang invasi, dan uang pendudukan Jepang. Gagasan untuk mencetak ORI pertama kali di cetuskan pada saat diadakan pertemuan di kantor Wakil Presiden antara bulan September dan Oktober 1945. Pada pertemuan tersebut Moh. Hatta mengemukakan tentang perlunya mengeluarkan uang baru sebagai salah satu atribut negara merdeka dan berdaulat. Selanjutnya pada saat dilaksanakan siding BP KNIP pada tanggal 16 Oktober 1945 diputuskan untuk melakukan pencetakan uang baru oleh Pemerintah Indonesia.
Setelah keputusan untuk mencetak uang tersebut, maka pada tanggal 24 Oktober 1945, memerintahkan tim dari Serikat Buruh Percetakan G. Kloff untuk melakukan peninjauan tentang lokasi pencetakan uang. Hasil yang didapat adalah bahwa pencetakan uang akan dilakukan di dua tempat, yaitu di Percetakan G. Kloff dan Nederlands Indisch Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Kendalpayak, Malang.
Untuk meresmikan dan menerbitkan usaha mengeluarkan uang, maka dikeluarkan Surat Keputusan No.3/RO tanggal 7 November 1945 yang membentuk “Panitia penyelenggara pencetakan uang kertas Republik Indonesia” yang diketuai oleh T.R.B. Sabarudin (Direktur BRI). Kemudian dibentuk pula panitia pertimbangan cara-cara menerima, menyimpan, dan mengedarkan uang baru yang diketuai oleh Endang Koesnadi.
Pencetakan pertama ORI dilakukan di Percetakan Negara karena G. Kolff telah dikuasai oleh tentara NICA. Mula-mula uang yang dicetak adalah pecahan 100 rupiah, dengan klise yang dibuat di gedung Balai Pustaka dan percetakan De Unie. Akan tetapi pencetakan ORI mendapatkan banyak halangan, terutama dari tentara NICA. Menjelang bulan Desember 1945 semua pekerjaan yang berkaitan dengan pencetakan ORI terpaksa dihentikan karena keadaan Jakarta yang tidak memungkinkan lagi melakukan pencetakan ORI. Hal itu menyebabkan uang yang telah dicetak tetapi belum diberikan nomor seri dipindahkan ke Yogyakarta.
Pencetakan uang kemudian dilakukan pada percetakan NIMEF di Kendalpayak, Malang, Solo, dan Yogyakarta, dengan menggunakan bahan baku kertas dari pabrik kertas Padalarang dan pabrik kertas Leces (Probolinggo).

ORI Mulai Diedarkan

Sebelum ORI dapat dikeluarkan, pemerintah harus menarik semua uang Jepang dan uang Hindia Belanda agar tidak terjadi inflasi di masyarakat. Pemerintah memutuskan untuk menarik peredaran uang Jepang dan uang Hindia Belanda secara berangsur-angsur agar tidak menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat. Sebagai tindakan pertama, pada tanggal 22 Juni 1946 Pemerintah Republik Indonesia melarang orang membawa uang lebih dari f.1.000 dari daerah Karesidenan Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor, dan Priangan (pendudukan Belanda) ke daerah-daerah lain di Jawa dan Madura. Demikian juga membawa uang dari luar ke Pulau Jawa dan Madura melebihi f.5.000 tanpa izin Menteri Perdagangan dan Perindustrian.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.3 tanggal 5 Juli 1946 tentang Kewajiban Menyimpan Uang di Bank (pada tanggal 1 Oktober 1946, Perpu ini digantikan dengan UU No.18/1946) mulai tanggal 15 Juli 1946 di Jawa dan Madura seluruh uang Jepang dan uang Hindia Belanda harus disimpan pada bank-bank yang ditunjuk pemerintah, yaitu: Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai. Sementara uang Hindia Belanda dan uang De Javasche Bank seluruhnya harus disimpan dalam bank. Sebagai gantinya, setiap penduduk akan diberi kompensasi berupa pemberian ORI 1 Rupiah setiap jiwa. Uang Jepang yang disetorkan kepada bank-bank berjumlah f. 1.892 juta dan dalam kas-kas pemerintah terdapat sejumlah f. 264 juta
Hasil cetakan ORI dikirim ke seluruh Jawa dan Madura dalam gerbong-gerbong kereta api dengan pengawalan ketat. Berdasarkan Undang-Undang No.19/1946 tentang pengeluaran uang Republik Indonesia, maka ORI secara resmi akan diedarkan pada tanggal 26 Oktober 1945. Akan tetapi karena keinginan Pemerintah untuk mengedarkan ORI secara serentak pada waktu yang sama di seluruh Jawa dan Madura, maka ORI baru dapat diedarkan mulai tanggal 30 Oktober 1946.
Pengedaran ORI didahului dengan pidato Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 29 Oktober 1946. Pengedaran tersebut mengacu kepada Undang-Undang No.7/1946 tanggal 1 Oktober 1946 dan Undang-Undang No. 19/1946. Dalam kedua undang-undang tersebut dinyatakan bahwa ORI merupakan uang pemerintah. UU No.19/1946 berisi tentang pengaturan dasar nilai ORI, dasar tukar dan penukaran uang lama dengan uang baru, cara pembayaran utang lama yang belum lunas pada waktu mulai beredarnya ORI, penetapan saat mulai berlakunya uang. ORI pertama kali yang diedarkan mempunyai pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, ½ rupiah, 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah, dan 100 rupiah. Pada ORI pertama tercantum tanggal 17 Oktober 1945 yang dapat dikaitkan dengan sidang BP KNIP pada tanggal 16 Oktober 1945.
Jenis-Jenis ORI.
a. ORI I
ORI I telah mempunyai tanda pengaman yang ditandai dengan nomor seri dari uang tersebut. Pada pecahan kecil (1,5, dan 10 sen) tidak terdapat nomor seri. Nomor seri baru digunakan pada uang setengah rupiah ke atas dengan enam angka dan dua huruf. Nomor sandi yang pertama biasanya berkaitan huruf didepannya, dimana pada pecahan 100 rupiah angka sandinya adalah angka kedua setelah angka nol.
A – B – C --> 5
D – E – F --> 1
G – H – I --> 6
K – L – M --> 2
N – O – P --> 7
R – S – T --> 3
U – V – W --> 8
Z --> 4
Y --> 9
X --> 0
Bedasarkan nomor sandi tersebut, maka pemalsuan terhadap ORI pertama dapat diketahui, terutama ORI yang dipalsukan oleh tentara NICA. Selain itu terdapat ORI yang telah dibawa dari percetakan di Jakarta, yaitu pecahan setengah rupiah.
b. ORI II
ORI II bertanda tanggal 1 Djanuari 1947 dengan nama kota Yogyakarta. ORI II terdapat pecahan 5,10,25, dan 100 rupiah yang nomor sandinya sama dengan ORI yang pertama.
c. ORI III
ORI III bertanda tanggal 26 Djuli 1947 dengan nama kota Yogyakarta. ORI III dicetak di daerah Kanten, Ponorogo karena daerah Malang diduduki oleh tentara NICA. ORI III terdiri dari pecahan ½ dan 2½ rupiah dengan dua huruf tanpa nomor. Pecahan 25 dan 100 rupiah dengan seri tercetak masing-masing SDX dan SDA. Pecahan 50 dan 250 rupiah dengan ragam nomor seri seperti ORI II. Pecahan 100 rupiah dengan nomor enam angka dan seri empat huruf. Dari ORI III terlihat bahwa inflasi mulai terjadi di daerah Indonesia karena pecahan ½ dan 2½ rupiah tidak terdapat nomor seri (dianggap sebagai pecahan kecil). ORI III dicetak di tempat yang berbeda, karena terdapat perbedaan pada ejaan kota, yang mungkin disebabkan oleh perpindahan tempat pencentakan dan plat cetaknya. Pada tahun 1947 diedarkan pula uang federal pecahan 10 dan 25 sen. Uang tersebut dikeluarkan dalam rangka persiapan pembentukan Republik Indonesia Serikat. Uang ini tidak termasuk ORI karena diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tanggal Batavia, 1 December 1947.
d. ORI IV
ORI IV bertanda nama kota Yogyakarta dengan tanggal 23 Agustus 1948. ORI IV mempunyai pecahan yang ganjil seperti 40, 75, 100, dan 400 rupiah. Pecahan 40 rupiah dengan seri empat huruf tanpa nomor, 75 rupiah dengan lima atau enam nomor dan empat huruf, pecahan 100 dan 400 rupiah dengan nomor enam angka dan seri empat huruf. Penandatangan ORI IV adalah Wakil Presiden Moh. Hatta. Inflasi yang terjadi pada ORI semakin parah karena nilai 40 rupiah sudah tidak diberi nomor lagi. Pecahan yang bernilai tidak lazim ini berkaitan dengan kelangkaan terhadap pecahan-pecahan kecil yang terjadi di daerah. Hal ini terbuktikan dengan adanya penerbitan bon dan surat tanda terima uang yang diterbitkan di berbagai daerah di Indonesia akibat kelangkaan uang kecil tersebut. Bon merupakan alat tukar di suatu daerah yang dapat digunakan sebagai alat transaksi di suatu kota. Pemakaian bon biasanya dilakukan saat uang pecahan besar ditukarkan dengan bon sejumlah uang yang ditukarkan, dan apabila masih bersisa maka dikembalikan sesuai dengan nilai yang ada di bon tersebut. Bon yang diketemukan antara lain bon Magelang, 1 Agustus 1948, bon Kediri 5 Agustus 1948. setelah bon kemudian muncul surat tanda penerimaan uang untuk karisedanan Kediri pada tanggal 16 Oktober 1948, disusul daerah Karisedenan Kedu pada tanggal 25 Oktober 1948. Ibukota RI juga mengeluarkan surat tanda penerimaan uang tertanggal 10 November 1948. Nilai pecahan yang dikeluarkan pada umumnya terdiri atas pecahan ½. 2, 2½, 5, dan tertinggi 10 rupiah. ORI IV juga mengenal tanda pengaman yang tertera dalam sandi di dalam nomor serinya. Pecahan 40 rupiah menggunakan kode bahwa huruf ke-4 dan huruf ke-2 selalu berurutan, dan apabila angka depan huruf dari nomor seri, maka akan terdapat makna kata Ampat atau empat, begitu pula dengan pecahan 100 rupiah yang bermaknakan Seratus Tembakauan (gambar tembakau) dan 400 rupiah yang bermaknakan empat ratus tebuan (gambar kebun tebu). Hal yang sama terjadi pada mata uang darurat yang berlaku di daerah-daerah, seperti halnya uang Banten.
e. ORIBA (ORI Baru)
ORIBA (Uang Baru) dikeluarkan untuk diedarkan di seluruh wilayah Indonesia apabila pengkuan kedaulatan telah dilakukan. URIBA yang dicetak mempunyai pecahan 10 sen, ½ rupiah, dan 100 rupiah dan hanya sempat diedarkan di wilayah Kutaraja (Aceh). Hal itu dikarenakan dalam perjanjian KMB, DJB menjadi bank sirkulasi di Indonesia dan itu berarti mata uang yang berlaku adalah mata uang yang dikeluarkan oleh DJB, yaitu uang federal. Dengan demikian ORI harus ditukarkan dengan uang federal dengan kurs yang berbeda-beda. Dengan beredarnya uang DJB dan uang pemerintah, maka ORI secara resmi dinyatakan tidak berlaku mulai bulan Maret 1950. Jadi, ORI mempunyai usia yang tidak lama, hanya 3 tahun 5 bulan. Meskipun usianya tidak lama, akan tetapi ORI mempunyai peranan yang penting dalam menyatukan perekonomian Indonesia di awal kemerdekaan.





Pengaktifan Kembali Pasar Modal Indonesia (1977)


Kondisi pasar modal di Indonesia pasca berakhirnya Ekonomi Terpimpin sebenarnya masih berjalan. Akan tetapi karena jumlah transaksi perdagangan efek yang sangat sedikit dan nilainya dibawah Rp.1 juta selama setahun, maka aktivitas di pasar modal tidak terpantau. Satu-satunya lembaga yang memantau aktivitas di pasar modal adalah Bank Indonesia, karena Bank Indonesia dalam laporan tahunannya masih melaporkan tentang kondisi pasar modal di Indonesia. Selain itu Bank Indonesia masih mengeluarkan daftar kurs resmi efek-efek yang diperdagangkan di pasar modal.
Walaupun aktivitasnya masih berjalan, pasar modal saat itu tidak mampu menarik minat investor untuk melakukan kegiatan jual-beli di pasar modal. Alasan dari investor untuk tidak berhubungan dengan pasar modal adalah masalah keuntungan yang didapatkan tidak terlalu besar. Investor lebih memilih menyimpan uangnya dalam bentuk deposito berjangka, karena bunga yang ditawarkan lebih tinggi dibandingkan dengan efek-efek yang ada di pasar modal. Selain itu, keamanan dalam deposito berjangka lebih terjamin karena adanya perlindungan dari Bank Indonesia, sedangkan di pasar modal tidak ada lembaga yang menjamin keamanan dari dana investor. Oleh karena itu investor belum banyak yang berminat untuk menyimpan dananya di pasar modal.
Bank Indonesia yang saat itu bertugas untuk mengerahkan dana masyarakat agar mengurangi laju inflasi melihat bahwa pengerahan dana melalui perbankan dalam bentuk tabungan tidaklah cukup. Oleh karena itu Bank Indonesia harus mengaktifkan kembali pasar modal agar pengerahan dana masyarakat melalui pasar modal dan pembiayaan perusahaan dari masyarakat dapat berjalan kembali. Selain itu dampak dari diaktifkannya kembali pasar modal ialah kegiatan perusahaan-perusahaan dapat berjalan dengan baik karena ketersediaan likuiditas selain dari perbankan, dan itu memberikan peluang dalam membuka kesempatan kerja yang dapat mengurangi angka pengangguran.
Langkah pertama yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk mengaktifkan kembali pasar modal adalah membentuk sebuah tim yang diberi nama “Tim Persiapan Pasar Uang dan Modal”. Tim tersebut bertugas untuk melakukan inventarisir dan memberikan saran-saran kepada Gubernur Bank Sentral dalam membentuk pasar modal. Tim tersebut dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Direktur BNI Unit I No.4/16-KEP.Dir tanggal 26 Juli 1968. Pada akhir tahun 1968, tim tersebut sudah berhasil menyelesaikan tugasnya dalam melakukan inventarisir dan memberi saran-saran kepada Gubernur Bank Sentral. Inventarisir yang dilakukan meliputi bidang-bidang hukum, kelembagaan, perpajakan, peralatan, dan karyawan. Sedangkan saran-saran yang disampaikan adalah mengenai:
a. Pembentukan pasar perdana (primary market);
b. Pembentukan pasar modal yang terorganisir;
c. Mendorong dan mengembangkan pemakaian surat berharga/efek sebagai alat pembiayaan usaha;
d. Bank sentral mengembangkan promosi seperti pemberian diskonto;
e. Meninjau kembali kedudukan hukum perseroan terutama mengenai masalah saham “atas nama” dan hak suara;
f. Meningkatkan pendidikan dalam bidang pasar modal;
g. Pembentukan suatu badan yang akan mengawasi tata-tertib dalam usaha penarikan modal dan meneliti emisi yang akan dijual di pasar modal;
h. Pengeluaran surat-surat bank sentral yang mempunyai sifat surat perbendaharaan negara (treasury bills);
i. Mengajukan konsep peraturan perdagangan uang dan efek-efek;
j. Meninjau kembali nilai revaluasi obligasi dan atau syarat pinjaman lama yang masih berjalan atau membelinya kembali atau dikonversikan dengan pinjaman baru dengan syarat insentif yang lebih menarik dalam rangka memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap perdagangan efek.

Selesainya tugas Tim Persiapan Pasar Uang dan Pasar Modal membuat Bank Indonesia berkeinginan untuk segera mengaktifkan kembali pasar modal. Untuk itu, Bank Indonesia membentuk sebuah tim yang menggantikan tugas dari Tim Persiapan Pasar Uang dan Pasar Modal. Tim tersebut dibentuk pada tahun 1969, dan dinamakan Tim Pasar Uang dan Pasar Modal yang diketuai langsung oleh Gubernur Bank Indonesia Radius Prawiro, sehingga tim ini dikenal dengan nama “Tim Radius”. Tugas dari tim tersebut adalah:
a. Membantu Menteri Keuangan mempersiapkan langkah-langkah ke arah pelaksanaan pengembangan pasar uang dan modal;
b. Mengaktifkan kembali pasar modal yang dalam kenyataan sehari-hari dipimpin oleh Bank Indonesia, di bawah pengawasan Tim Pasar Uang dan Modal;
c. Menjadi penasehat Pemerintah dalam pembentukan pasar modal.
Tim pasar uang dan pasar modal bekerja selama tiga tahun. Setelah pekerjaannya dianggap selesai oleh Bank Indonesia, maka pada tahun 1972 mulai ada realisasi untuk mewujudkan kembali pasar modal yang berbeda dengan masa sebelumnya. Realisasi tersebut diwujudkan dengan membentuk suatu badan yang mampu menyelidiki syarat-syarat dan kelengkapan pasar modal. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No.Kep.25/MK/IV/1/72 tanggal 13 Januari 1972 dibentuklah Badan Pembina Pasar Uang dan Modal (Bapepum) dan diketuai langsung oleh Gubernur Bank Indonesia. Anggota dari Bapepum antara lain beberapa Direktur Jenderal dari Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Deputi Ketua Bappenas, Wakil Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan dua orang Direktur Bank Indonesia. Tugas dari Bapepum antara lain;
a. Melaksanakan pembinaan pasar uang dan modal tahap demi tahap menurut situasi serta kebutuhan;
b. Mempersiapkan pembentukan suatu lembaga pasar uang dan modal;
c. Melaksanakan pengawasan atas aktivitas pasar modal.
Pada perkembangannya, Bapepum mendapatkan pencapaian dalam melaksanakan tugasnya, antara lain;
a. Penyusunan konsep surat-surat keputusan tentang pengeluaran surat-surat berharga;
b. Mengajukan usul-usul kepada Menteri Keuangan tentang lembaga-lembaga keuangan dan tugasnya;
c. Menyelenggarakan penerangan dan kursus mengenai bursa;
d. Menyelenggarakan latihan (training) baik di dalam maupun di luar negeri;
e. Bersama dengan pengurus PPUE mengadakan usaha-usaha penyesuaian organisasi pasar modal sesuai dengan perkembangan pasar modal.
Sebagai hasil kerja dari Bapepum, maka pada tanggal 27 Desember 1976, berdasarkan Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1976 tentang Pasar Modal dibentuklah Badan Pembina Pasar Modal (Bappepam) dan Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) untuk menjalankan kegiatan di dalam pasar modal. Tujuan utama dibentuknya Badan Pembina Pasar Modal adalah:
a. Untuk memberikan pengarahan dan pertimbangan kebijaksanaan kepada Menteri Keuangan di bidang pasar modal.
b. Memberikan pertimbangan kebijaksanaan kepada Menteri Keuangan dalam melaksanakan wewenangnya terhadap PT. Danareksa.
Bappepam mempunyai tugas untuk memberikan pedoman kepada Bapepam mengenai arah perkembangan pasar modal yang diinginkan oleh pemerintah. Bappepam diketuai oleh Prof. Dr. Ali Wardhana (Menteri Keuangan) dan Dr. J.B. Sumarlin (Wakil Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) sebagai wakilnya, dengan anggotanya yang terdiri dari Rachmat Saleh, SE. (Gubernur Bank Indonesia), Mayjen. TNI M. Jusuf (Menteri Perindustrian), Mayjen. TNI Sudharmono, SH. (Menteri Sekretaris Negara), Drs. Radius Prawiro (Menteri Perdagangan), Letjen. TNI Ismail Saleh, SH. (Sekretaris Kabinet), dan Barli Halim, SE. MBA. (Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal).
Pengendalian dan pelaksanaan bursa saham diserahkan kepada Bapepam yang mempunyai tugas untuk menyelenggarakan pasar modal yang efektif dan efisien, dan mengikuti perkembangan perusahaan-perusahaan yang menjual saham-sahamnya melalui pasar modal. Bapepam tidak hanya bertindak sebagai badan yang mempersiapkan peraturan serta mengawasi kegiatan pasar modal, tetapi juga mengatur tata-cara penawaran dan perdagangan di pasar modal. Dalam melakukan perdagangan surat-surat berharga tersebut diperlukan adanya pedagang perantara. Izin sebagai pedagang perantara dikeluarkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pendapat dari Bapepam.
Bapepam merupakan lembaga yang berada langsung dibawah Departemen Keuangan dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. Bapepam diketuai oleh seorang ketua yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ketua Bapepam yang pertama adalah Josef A. Turangan yang menjabat dari tahun 1977-1981. Ketua tersebut dibantu oleh seorang sekretaris dan biro-biro yang terdiri dari biro hukum dan riset, biro pembinaan bursa dan perantara, biro pemeriksaan dan evaluasi, dan biro pendaftaran emisi dan akuntansi.
Pendirian Bapepam yang dilakukan Pemerintah membuat persiapan untuk mengaktifkan kembali pasar modal telah sampai pada tahap akhir. Peristiwa yang penting bagi pasar modal Indonesia akhirnya terjadi pada tanggal 10 Agustus 1977 ketika Presiden Soeharto meresmikan pengaktifan kembali pasar modal di Jakarta. Pada pidato peresmiannya, Presiden mengatakan: “...perusahaan-perusahaan diberikan kesempatan untuk menjual sahamnya kepada masyarakat, dan masyarakat diberi kesempatan untuk membeli saham-saham tersebut. Dengan cara ini, kita mulai melangkah maju dalam usaha kita untuk membangun ekonomi kekeluargaan seperti yang diisyaratkan di dalam isi pasal 33 UUD 1945.”
Di awal aktivitasnya, pasar modal Indonesia menempati gedung milik Bank Indonesia di Jalan Medan Merdeka Selatan No.17 Jakarta. Pasar modal menawarkan beberapa macam fasilitas perpajakan untuk merangsang masyarakat, baik pengusaha, pemodal maupun lembaga-lembaga perantara agar mau terjun dan aktif di pasar modal. Beberapa paket keringanan pajak yang ditawarkan oleh Pemerintah sebagai fasilitas untuk merangsang pertumbuhan pasar modal di Indonesia pada awal pengaktifannya kembali ialah:
a. Pemutihan modal bagi setiap dana masyarakat yang diinvestasikan pada efek-efek dari perusahaan yang telah go public sampai sejumlah maksimum Rp. 10 juta.
b. Pembebasan bea materai modal atas penempatan dan penyetoran modal yang berasal dari selisih hasil revaluasi aktiva tetap bagi perusahaan-perusahaan yang go public.
c. Pembebasan pajak perseroan, pajak pendapatan, serta pajak atas bunga, deviden, dan royalty atas capital gain dari harga saham akibat revaluasi.
d. Keringanan pajak perseroan sampai batas tertentu bagi perusahaan-perusahaan yang melakukan go public.
e. Pembebasan pajak penjualan sebesar 100% atas jasa perdagangan efek di pasar modal.
Pengaktifan kembali pasar modal pada tahun 1977, membuat pengerahan dana dari masyarakat tidak hanya dilakukan melalui perbankan saja. Hal itu semakin mempermudah Bank Indonesia untuk mengatur peredaran uang, dan mengendalikan laju inflasi di masyarakat. Selain itu pengaktifan kembali pasar modal juga mampu mendorong masyarakat melakukan investasi dalam surat-surat berharga guna menunjang pembangunan ekonomi yang saat itu sedang dijalankan oleh Pemerintah. Meskipun pada awalnya kontribusi pasar modal terhadap perekonomian Indonesia diragukan, akan tetapi pada perkembangannya pasar modal ternyata mampu mengerahkan dana dari masyarakat dan ikut ambil bagian dalam pendanaan pembangunan Indonesia di awal tahun 1980-an.

04 Januari 2008

SEJARAH SISTEM MATA UANG MASYARAKAT

Sepanjang sejarah, masyarakat telah membuat, mengatur dan mengedarkan mata uang mereka sendiri. Disamping menjamin agar kebutuhan tiap-tiap anggota masyarakat terpenuhi, mata uang masyarakat juga melindungi masyarakat dari ketidakstabilan perekonomian diluarnya. Pada masa lalu bentuk mata uang disesuaikan dengan beberapa barang yang ada pada masa tersebut. Demikian pula pada saat ini, sistem ekonomi modern yang kita lihat saat ini merupakan modernisasi mata uang masyarakat.
Baru-baru ini beberapa usaha sedang dilakukan dalam rangka membuat kembali sistem mata uang yang berbasis masyarakat, seperti yang terjadi di Thailand , Indonesia, Meksiko, El Savador , Argentina, Chile, serta Sinegal. Oleh karena sistem tersebut merupakan sistem baru bagi sebagian besar masyarakat sehingga banyak muncul pertanyaan mengenainya. Tulisan artikel ini bertujuan untuk menyajikan informasi singkat dan ringkas tentang sistem tersebut.
Sejarah membuktikan bahwa dalam rangka mensiasati krisis ekonomi yang selalu datang, masyarakat membuat mata uang sendiri untuk wilayahnya. Sistem mata uang masyarakat yang tertua dan masih beroperasi hingga saat ini adalah sistem moneter Guernsey yang terletak diantara Gugusan Pulau Guernsey dan Jersey – Inggris (wilayah yang terkenal dengan perusahaan susu sapinya).


Mata Uang Pulau Jersey, Inggris
Selama perang melawan Napoleon, Pemerintah Inggris pada dasarnya bangkrut , dimana 80 % dari keseluruhan penerimaan pajak digunakan untuk membayar hutang pada Bank yang telah menerbitkan mata uang. Walaupun memiliki sumber daya manusia maupun alam ataupun berbagai barang-barang kebutuhan pokok dimiliki, tapi sistem perekonomian tidak berjalan. Hal ini disebabkan tidak adanya uang yang beredar sebagai sebuah media pertukaran.
Sehingga dalam tahun 1816 mereka menerbitkan mata uangnya sendiri. Delapan belas bulan kemudian mereka membayar kembali hutang-hutang ke Bank, memperbaiki sarana dan prasarana umum, membangun gereja serta monumen-monumen. Kini terdapat $36 juta dolar mata uang masyarakat yang beredar di 60 000 orang (Richard Douthwaite, sorth circuit ).

Mata Uang Kota Bremen, Jerman, 1923
Pada akhir perang dunia pertama perekonomian Jerman hancur. Pemerintah pusat telah membuat kesalahan penting yaitu dengan mencetak berjuta-juta mata uang Marks untuk membayar negara-negara pemenang perang dunia maupun perbaikan ekonominya sendiri, hal tersebut malah menyebabkan peningkatan inflasi. Untuk itu beberapa kota di Jerman telah membuat mata uangnya sendiri.
Kemudian Amerika Serikat juga melakukan kesalahan besar yaitu dengan membuat Stock Market yang menyebabkan kehancuran ekonomi ditahun 1929. Ratusan masyarakat Amerika dan Kanada membuat mata uangnya sendiri dalam rangka pemulihan ekonomi Negara pada umumnya serta pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Analisa atas hasil penerapan sistem mata uang lokal terhadap upaya peningkatan perekonomian setempat didukung oleh sejumlah ahli ekonomi, diantaranya Irving Fisher yang menganjurkan untuk membuat mata uang lokal secara paralel. Ide tersebut berlanjut hingga kini, yang kemudian diungkapkan lewat sebuah buku oleh seorang ahli ekonomi bernama Lewis Solomon, berjudul "Rethinking our Centralized Money System : The Case for a System of Decentralized Local Currencies" kemudian pada saat perekonomian telah pulih dan seluruh kebutuhan masyarakat telah terpenuhi kembali, sistem tersebut tidak dipergunakan kembali.

Mata Uang Propinsi Alberta, Canada, 1936. (Selama Krismon)
Ketika depresiasi mulai menyebar ke Eropa sistem mata uang masyarakat tumbuh, dimulai dari Bavaria, Austria serta negara-negara sekitarnya. Sistem tersebut memiliki keunikan terutama penggunaan "negative interest" dimana biaya sirkulasi dimasukan didalamnya untuk melindungi dari pemalsuan.

Mata Uang Desa Worgl, Jerman, 1931. (Selama Krismon)
Herr Hebecker dari Schwanekirchen , Bavaria (Jumlah penduduk 500 Orang) memiliki tambang batu bara kecil yang telah bangkrut. Dari pada membayar para pekerjanya dengan mata uang Reichsmark, Dia memutuskan untuk membayar mereka dengan batu bara. Dia membuat suatu scrip yang disebutnya Wara, dimana pada salah satu sisi dari naskah tersebut terdapat kotak kecil tempat materai dilekatkan. Naskah ini hanya berlaku dan syah jika materai --mata uang bulanan-- telah dipasang. Karena itu agar naskah tetap berharga dibutuhkannya materai yang akan membubuhi naskah tersebut sehingga dapat berlaku kembali pada setiap akhir bulan. Harga Materai dua per sen dari harga yang tertera dari pada naskah tersebut disetujui untuk digunakan selanjutnya pada setiap bulannya. Pembebanan " Negative–Interest " disetujui sebagai " Storage Cost ". Makanan dan jasa dibayar dengan mengunakan Wara . Karena mata uang ini hanya berharga bagi para pemilik pertambangan, maka para pedagang setempat tidak mempunyai pilihan selain menerimanya, yang pada akhirnya mereka meyakinkan para suppliernya untuk menerimanya pula. Hal itu menjadikannya sangat sukses dimana desa itu menjadi desa yang bebas dari hutang , dan di tahun 1931, Gerakan perekonomian bebas ini telah menyebar keseluruh negara Jerman melibatkan lebih dari 2,000 Usahawan. Antara tahun 1930 – 1931, Wara diterbitkan dimana 2,5 Juta orang telah menjalankannya.

Sistem Mata Uang Masyarakat di tahun 1980an.

Mata Uang New Hampshire, Amerika Serikat, 1999.
Pada tahun 1980-an, sistem mata uang masyarakat mulai muncul kembali. Di tahun 1981, Komputer IBM XT diluncurkan kepada masyarakat umum. Michael Linton yang bekerja pada bidang komputer, pada tahun 1970-an membuat data base akutansi di kepulauan Vancouver-Canada. Di tahun 1982 mulai dikenal sistem perdagangan antar wilayah Local Exchange Trading System (LETS), dan menjadi dasar berdirinya Sistem mata uang dengan kredit bersama (Mutual Credit Community Currency System ). Sistem mata uang lokal merupakan sebagai respon alami terhadap krisis ekonomi yang terjadi, maka dikembangkanya LETS sebagai sistem yang sengaja dibangun untuk tetap mengkritik sistem perekonomian yang berlangsung.
LETS lebih dari pada sebagai suatu sistem alternatif, Linton melihat LETS sebagai suatu sitem ekonomi yang dapat berjalan secara pararel dengan sistem yang ada, sebagai perumpamaan sistem tersebut ibarat sebuah tuas yang digunakan untuk memindahkan rel kereta api, dimana merubah arah tujuan dari perekonomian yang ada. Memahami pengertian mekanisme pasar tersebut sangat baik dan efesien, dimana hal tersebut juga memperkenalkan sistem gotong-royong di dalam suatu pasar yang merupakan salah satu aktivitas perekonomian. Diperkirakan sistem mata uang LETS telah berjumlah 1600 LETS di dunia, ada lebih dari 1500 sistem mata uang lokal yang berorientasi pada sistem LETS, jika pun tidak menerapkan dengan sistem tersebut paling tidak prinsip-prinsip yang digunakan mengacu padanya.
Dalam rancangan LETS , Linton memisahkan aturan yang berbeda antara uang (sebagaimana yang kita kenal) sebagai suatu nilai yang tersimpan dan uang sebagai sebuah media pertukaran. Dia melihat uang sebagai sebuah sistem informasi untung pencatatan usaha manusia dan Dia pun tidak melihat perbedaan antara uang sebagai sarana pertukaran dengan uang sebagai media perhitungan (seperti inci dalam perhitungan panjang sepotong kayu). Sebagai sebuah perumpamaan yaitu pada seseorang yang sedang membangun sebuah rumah, dimana pada saat itu ia tidak dapat memperoleh kayu untuk membangun rumahnya karena tidak ada inchi (satuan ukuran panjang), walupun sumber daya manusia dan bahan-bahan pendukung membuat rumah sudah tersedia. Demikian pula dengan uang, mengapa kita tidak dapat berbuat sesuatu karena uang tidak cukup, walaupun sumber daya alam dan manusia tersedia. Uang, kemudian menjadi suatu informasi yang sederhana dan uang dibutuhkan tidak hanya mewakili suatu nilai .
Jika uang merupakan suatu informasi sederhana, maka kebutuhanya tidak akan pernah menjadi kurang. Itu bukan berarti bahwa persediaannya tidak terbatas , tentunya dibatasi oleh berbagai hal yang ada. Namun pun demikian, uang selalu ada jika dibutuhkan. Mengenai pertanggung jawaban dalam mempertahankan nilai uang diberikan kepada seseorang yang menerbitkannya. Jadi, mata uang LETS adalah sebagai "uang pribadi" .
Agar persediaan uang dan perekonomian tetap stabil, maka uang harus berada dalam lingkungan setempat. Karena mata uang dicetak dengan menggunakan nama samaran dengan demikian dapat beredar dimanapun. Linton merasa pendekatan yang lebih baik jika melindungi uang di masyarakat melalui suatu sistem keuangan dan mata uang melalui proses komputer. LETS sebagai sistem pencatatan transaksi dan penyimpanan data keuangan sangat sederhana, dimana LETS tidak mengeluarkan mata uang atau mengawasi peredarannya. Linton merancang sistem tersebut dengan bebas bunga. Dengan demikian seluruh anggata memiliki tanggung jawab terhadap sistem yang digunakannya.

Mata Uang Kota Toronto, Canada, 1999.
Realitas dilapangan mata uang LETS selalu memiliki persedian uang yang cukup bagi masyarakat anggotanya, dimana uang dicetak dan didistribusikan pada suatu wilayah oleh anggotanya dengan tidak menerapkan sistem bunga . Suatu kesempurnan dimana lazimnya uang di masyarakat selalu mengalami kekurangan .

Sistem Mata Uang Masyarakat di Sebagian Dunia Ketiga

Mata Uang Alternatif di Argentina, 2000.
Beberapa proyek mata uang masyarakat hingga kini sedang berlangsung di negara-negara seperti Meksiko, El Savador , Peru , Chile, Argentina, Brazil, Senegal , Thailand, Indonesia dan di beberapa negara lain di belahan dunia (negara-negara ketiga) . Banyak masyarakat menghidupkan kembali sistem perekonomian tradisionalnya , sistem yang memelihara gotong royong dan kekeluargaan didalam lingkungannya.
Secara umum kita dapat mengatakan tentang Sistem Mata uang masyarakat sebagai berikut :
Mata uang diterbitkan dengan aman dan cepat. Untuk sebagian besar sistem mata uang masyarakat, mata uang disebarkan kepada seluruh pihak-pihak yang berkepentingan, seperti pada bank–bank maupun koperasi kredit. Dimana penarikan uang dicatat pada lembaran buku besar. Karena jumlah keseluruhan pada perhitungan neraca selalu sama ( Kredit – Debet = 0 ) atau ( Kredit + Uang tunai – debet = 0 ) perhitungannya sangat sederhana dan cepat . Pemerintah tidak menerbitkan mata uang , lebih baik jika para anggota masyakat yang menerbitkan mata uang mereka sendiri, sehingga sistem hanya mencatat kegiatannya. Di beberapa sistem, mata uang hanya diterbitkan sebelum ( in case of printed currency systems ) atau pada saat dibuat.( in case of ledger – based system with invisible currency ). Hanya sedikit sistem yang menengahkan istilah Sistem "local Currency", Penyebaran issu hanya terbatas pada kalangan anggota yang menerapkannya saja. Sistem tersebut khususnya hampir terbatas untuk negara Amerika Utara.

Mata Uang Kota Meksiko, 1999.
Mata uang beredar terbatas hanya didalam suatu wilayah tertentu. Begitu juga untuk melayani masyarakat , peredaran mata uang hanya didalam suatu wilayah geographi yang ditentukan oleh para anggota pemegang saham. Hal yang kurang disukai dari sistem ini adalah karena mata uang tidak dapat diterima diluar wilayah dimana sistem itu diterapkan, hal ini mengingat mata uang hanya dapat dibelanjakan didalam wilayah dimana uang tersebut diterima. Tidak seperti hal-nya mata uang nasional yang dapat beredar keluar wilayah, mata uang masyarakat hanya beredar didalam wilayahnya, yang juga berkonsekuensi terhadap peningkatan nilai uang nasional didalam masyarakat.

Mata Uang Kota Dakar, Senegal, Afrika, 1998.
Mata uang masyarakat bukan bertujuan untuk menegasikan mata uang nasional. Mata uang masyarakat memiliki nilai yang sama dengan mata uang nasional di suatu lokasi. Dimana pada saat implementasi penggunaannya mata uang masyarakat di jalankan bersamaan dengan mata uang nasional, atau disebut juga mata uang paralel. Kehadiran mata uang nasional bertujuan juga untuk mempertahankan stabilitas nilai barang, dimana nilai barang akan akan tetap dengan kehadiran mata uang masyarakat, selain itu juga diharapkan mempermudah masyarakat dalam melakukan transaksi, karena tidak memiliki permasalahan atas kekurangan jumlah atal tukar. Penggunaan mata uang masyarakat hanya dikhususkan untuk berlaku di wilayah dimana mata uang tersebut beredar, sedangkan bedanya dengan mata uang nasional, penggunananya dapt dipakai dimanapun kita berada sesuai dengan kebutuhan yang ingin kita miliki (beli). Penerapan paralel dari mata uang nasional dan mata uang nasionala ditujukan pada produk-produk yang dihasilkan di wilayah setempat. Sedangkan pemutusan nilai dari mata uang masyarakat itu sendiri diserahkan kepada kesepakatan bersama masyarakat yaitu antara konsumen dan produsen. Untuk mata uang nasional, dapat digunakan untuk pembelian barang-barang yang diproduksi dari luar, sehingga untuk barang-barang produksi luar dengan penggunaan mata uang nasional akan lebih mudah terjangkau, dilain sisi juga masyarakat dapat menggunakan saving mata uang nasional untuk keperluan lainnya seperti membayar hutang.

Mata Uang Desa Kud Chum, Yasothon, Thailand, 2000.
Sistem mata uang masyarakat scara resmi telah beredar di lebih dari 35 negara-negara di dunia. Beberapa Sistem mata uang yang sedang beroperasi di negara-negara yang tergabung dalam NAFTA, G7, maupun EEC, sebaik penerapan yang dilakukan di negara-negara seperti Jepang, Australia, New Zealand, Senegal, Thailand, Peru , Equador, Colombia, Uruguay, Chile, Argentina dan Brazil. Di bebarapa tempat penerapan sistem mata uang masyarakat tersebut diatas juga didukung oleh pemerintah setempat.

Mata Uang Alternatif Jepang, 1998 (Selama Krismon).
Sebagai contoh , di tahun 1998, Pemerintah negara Jepang menerbitkan 750,000,000 US Dollars untuk menanggulangi defisit sementara mata uang-nya, terkait dengan upaya pemulihan ekonominya pemerintah menganjurkan untuk tetap melakukan aktivitas transaksi. Pemerintah daerah didorong untuk mendisain maupun memproduksi diwilayah masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya diwilayahnya. Meskipun rancangan dari sistem ini berbeda dari type sistem mata uang masyarakat yang telah kita bicarakan sebelumnya . Hal itu juga menunjukan bahkan negara terkaya di duniapun sekalipun suatu saat membutuhkan tumpuan mata uang pararel.
Contoh lain, di negara Australia para penerima bantuan sosial diijinkan untuk menambah penghasikan dalam mata uang masyarakat dengan tidak mengurangi keuntungan yang mereka peroleh, mendorong masyarakat berupa bantuan sosial dalam rangka peningkatan kapasitas kerja mereka. Pemerintah Tlaxcala di Meksiko secara aktif mepromosikan Sistem mata uang masyarakat di negaranya. Pemerintah kota Curitiba-Brazil dan Buenos Aires- Argentina juga mendukung penggunaan mata uang masyarakat untuk menghadapi masalah kejahatan, masalah penganguran, masalah perbaikan lingkungan dan daur ulang . Tidak satupun dari sistem ini dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas keuangan nasional.
Pada kenyataanya , Banyaknya politikus menyetujui banyaknya keuntungan dari sistem mata uang masyarakat yang ditawarkan untuk masyarakat dan perekonomian nasional. Ahli ekonomi dari Amerika bernama Lewis solomon dalam bukunya berjudul " Rethinking Our Centralized Money Sistem " menganjurkan agar jaringan sistem mata uang masyarakat didirikan diseluruh negara bagian Amerika Serikat. Dengan jelas, jika negara – negara kaya di dunia menyetujui untuk mendirikan sistem tersebut tentunya diikuti pula dengan pemerintah negara disekitarnya .
Sistem mata uang masyarakat melindungi perekonomian nasional dari penerapan sistem pasar bebas. Beberapa proteksi yang dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia telah tidak ada. Sedikitnya, mungkin hanya negara Jepang yang masih mampu mempertahankan proteksi perdagangan bagi rakyatnya, dengan cara melindungi pasar mereka dari perusakan dan eksploitasi ekonomi dari luar. Namun apakah ada pertentangan atas keuntungan yang terjadi dari jaringan perdagangan berbasis masyarakat. Sistem ini tidak memiliki perbedaan dengan Sistem tanpa bunga dari per-Bank-an Islam, atau Program pinjaman kecil masyarakat, karena sistem tersebut tidak melarang pertukaran dengan para pedagang asing. Sama halnya dengan mata uang masyarakat. Namun pengunaan dari mata uang masyarakat , memberikan keuntungan yaitu sebagai pelapis yang melindungi dari badai krisis ekonomi yang menembus seluruh negara. Dengan sistem mata uang masyarakat, akan mendorong masyarakat untuk tetap bertahan dalam krisis maupun ketidakstabilan perekonomian nasional seperti yang dialami negara-negara seperti Meksiko (1995), Asia (1997) , Brazil (1998) dan seterusnya.

Menelusuri Pembinaan dan Pengembangan Wiraswasta Nasional


Pendahuluan
salah satu unsur yang dapat menjamin kelangsungan hasil maupun proses pembangunan adalah partisipasi daru seluruh lapisan masyarakat dalam kegiatan pembangunan itu sendiri. Di dalam kehidupan demokrasi ekonomi dewasa ini kita mengenal tiga bentuk pelaksana kegiatan usaha dalam masyarakat, yaitu pemerintah, swasta, dan koperasi. Tiga bentuk usaha tersebut mempunyai hak hidup dan kewajiban kepada masyarakat yang tidak berbeda satu dengan yang lain dan jelas partsipasinya dalam gerak dan arah pembangunan mutlak diperlukan.
Tanpa mengurangi arti serta sumbangan sektor kegiatan usaha pemerintah maupun arti serta pernanan yang dimintakan dari sektor koperasi, dalam tulisan ini pengkajian akan dititik beratkan pada peranan sektor swasta, atau dengan istilah yang dewasa ini sering terdengar: partsipasi wiraswasta nasional dalam pembangunan. Dalam sektor wiraswasta nasional ini pun kita batasi ruang lingkupnya pada apa yang biasanya tercakup dalam sebutan golongan ekonomi lemah, khususnya pribumi, yang potensi partisipasinya dalam derap pembangunan dewasa ini perlu digali dan digalakkan agar tercermin pemerataan kesempatan berusaha yang lebih wajar.
Pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional seperti tersebut di atas merupakan suatu masalah yang luas dan pelik. Apalgi kalau kita berbicara mengenai pembinaan kewiraswastaan pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi, yang justru merupakan kelompok terbesar dalam masyarakat namun secara struktural menduduki tempat yang terendah dalam strata sosial ekonomi Indonesia. peliknya pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional itu bukan saja karena menyangkut persoalan ekonomi semata-mata, namun hal tersebut tidak terlepas daripada masalah-masalah sosial-politik yang kadang-kadang menonjol. Apalagi tidak bida dihindari bahwa usaha pengembangan dan pembinaan ini membuat pertanyaan mengenai golongan pribumi dan non-pribumi.
Meskipun fakta tersebut ada di dalam masyarakat dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari usaha-usaha pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional, akan tetapi pada masa yang lampau hal ini tidak mudah untuk dibicarakan secara terbuka bahkan sementara pihak menganggapnya tabu. Oleh karena itu di dalam masalah pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional perlu kiranya kita mendudukkan persoalannya secara wajar dengan membuang jauh-jauh prasangka buruk dari semua pihak serta menyingkirkan sikap rasialis.
Kedewasaan dari masyarakat dalam menanggapi hal ini merupakan salah satu syarat untuk menghilangkan ketegangan maupun keresahan sosial ekonomi dan politik. Jadi perlu kiranya disadari bahwa usaha pembinaan dan pengembangan ini bukan hanya merupakan pula kewajiban dari masyarakat dan para pengusaha baik para pengusaha pribumi, non-pribumi, maupun asing. Kesadaran para pengusaha, terutama golongan non-pribumi dan asing dalam pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi ini sangat penting oleh karena dalam jangka panjang pembinaan tersebut akan menguntungkan bagi kedua belah pihak, setidak-tidaknya akan mengurangi ketegangan rasial yang sering timbul oleh karena adanya perasaan tidak adanya kesempatan berusaha yang sama di kalangan pribumi dan non-pribumi.
Salah satu aspek dari pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi yang tidak kalah pentingnya dari yang tersebut di atas ialah adanya pengaruh yang timbal-balik terhadap pembangunan sosial ekonomi itu sendiri terutama pada pola kegiatan ekonomi di Indonesia. Seperti telah disebutkan di muka kegiatan usaha dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta baik itu nasional maupun asing, dan koperasi. Dalam beberapa hal usaha pengembangan dan pembinaan wiraswasta nasional, terutama yang kecil dan menengah, akan mempengaruhi kegiatan ekonomi dalam pola demokrasi ekonomi. Di satu pihak diharapkan bahwa adanya pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional, terutama pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi, akan meningkatkan partisipasi mereka dalam pembangunan sehingga jarak ekonomi antar golongan dalam masyarakat akan relatif menyempit.
Partisipasi yang seimbang ini hanya dapat tercapai kalau sudah ada perimbangan kedudukan ekonomi antara berbagai golongan dalam masyarakat. Diharapkan pula bahwa pembinaan dan pengembangan ini akan memberikan kesempatan kerja yang lebih banyak dan tersebar luas sehingga relatif akan menunjang proses perataan pendapatan masyarakat. Selain daripada itu pembinaan dan pengambangan wiraswasta nasional akan membawa ke arah pembauran dan akulturasi yang wajar dari golongan non-pribumi. Proses pembauran dalam dunia usaha antara golongan pribumi dan non-pribumi akan kurang berhasil apabila didasarkan atas “paksaan”. Pembauran dalam bidang usaha biasanya akan lebih berhasil dengan meningkatkan derajat golongan ekonomi lemah pribumi sehingga dapat mempunyai bargaining position yang seimbang dan proporsional dalam perekonomian Indonesia. Diharapkan pula akan adanya perubahan struktur nilai sosial para pengusaha sebagai suatu profesi. Hal ini dikaitkan dengan harapan bahwa “kebudayaan berusaha” yang di kalangan pengusaha masih dianggap rendah dapat ditumbuhkan. Dalam hal ini perlu kiranya kita sadari bahwa kebudayaan berusaha yang mungkin tercipta oleh adanya usaha-usaha pembinaan kewiraswastaan akan menimbulkan nilai-nilai baru yang mungkin tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dewasa ini. Hendaknya masyarakat pun sadar akan akibatnya dan dapat menerima adanya struktur nilai baru para pengusaha.
Perubahan-perubahan yang diharapkan terjadi, dalam rangka pembinaan pengusaha ekonomi lemah pribumi, baik itu yang menyangkut hal-hal yang bersifat ekonomis maupun sosial dalam pola ekonomi campuran dewasa ini, perlu dibarengi oleh adanya pola kebijaksanaan yang jelas mengenai bidang-bidang usaha mana yang diberikan kepada pengusaha swasta nasional, terutama yang kecil dan menengah, dan kegiatan ekonomi mana yang boleh dijalankan oleh usaha asing. Hal ini tidak lain dimaksudkan agar terjadi keserasian dalam kesempatan berusaha di Indonesia.
Perlu kiranya kita sadari bahwa usaha pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional merupakan kegiatan terus-menerus dan berjangka panjang. Apalagi kalau program ini menyangkut para pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi yang rata-rata mempunyai angka moralitas usaha yang cukup tinggi, bahkan di negara berkembang pun angka moralitas usaha kecil cukup tinggi. Demikian pula kita jangan berkhayal bahwa dalam jangka pendek program tersebut dapat menciptakan wiraswasta nasional yang kecil menjadi pengusaha yang besar, oleh karena pada dasarnya tidak semua pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi, bahkan mungkin untuk sebagian besar, mampu dan mempunyai motivasi untuk berkembang menjadi besar. Namun yang perlu untuk diingat bahwa peranan dan fungsi para pengusaha kecil dan menengah ini pun ada dan bahkan penting dalam kegiatan ekonomi, sehingga adanya kesempatan untuk berusaha serta kepastian akan hak hidup mereka pun sudah merupakan sumbangan besar dalam mendorong kegiatan usaha kecil dan menengah. Dengan kata lain, meskipun tujuan akhir dari kegiatan pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional adalah menciptakan golongan pengusaha yang tangguh dan cukup mampu bersaing dalam pasaran internasional, namun jangan dilupakan bahwa dalam struktur kegiatan usaha kita tetap mengenal usaha swasta besar, menengah, dan kecil, di mana baik yang menengah maupun yang kecil mempunyai andil pula dalam roda perekonomian.

Menengok Sarana dan Usaha Pembinaan dan Pengembangan

Sejak Indonesia bertekad untuk kembali pada UUD 1945 dan Pancasila tahun 1966, maka pola ekonomi yang dianut adalah sistem demokrasi ekonomi yang meninggalkan sistem ekonomi terpimpin dari periode sebelumnya. Dalam sistem demokrasi ekonomi dihindarkan ciri-ciri dari persaingan bebas tanpa batas, etatisme dan monopoli yang merugikan masyarakat; sedangkan pemerintah berkewajiban memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia usaha; sebaliknya dunia usaha perlu memberikan tanggapan terhadap pengarahan dan bimbingan serta penciptaan iklim tersebut dengan kegiatan-kegiatan yang nyata.
Dalam rangka penjabaran pola demokrasi ekonomi inilah berbagai usaha dilakukan demi tercapainya pemerataan kesempatan berusaha yang diharapkan pula sekaligus tercapainya partisipasi sektor swasta dalam pembangunan. Kalau kita tengok ke belakang sejarah pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional, maka pada dasarnya program tersebut telah bermula pada tahun limapuluhan. Kurun waktu yang demikian lamanya dibandingkan dengan hasil yang ingin dicapai sering menimbulkan pertanyaan akan manfaat program pembinaan dan pengembangan ini. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi kadang-kadang menimbulkan kejenuhan bagi para pelaksana program bahkan tidak jarang terjadi dapat menimbulkan apatisme di kalangan pengusaha sendiri. Di lain pihak orang sering melupakan bahwa orang sering melupakan bahwa program sekali jadi yang hasilnya dapat dinikmati dalam jangka pendek. Maka perlu kiranya masyarakat digugah kembali akan pentingnya program tersebut terutama dalam rangka menciptakan kesempatan berusaha bagi golongan ekonomi lemah. Oleh karena itulah hal ini kemudian dipertegas kembali dengan adanya tekad dan kemauan politik dari pemerintah orde baru yang antara lain tercermin pada TAP MPR-RI No.IV/MPR/73 dan tersurat kembali pada TAP MPR-RI No.IV/MPR/1978.
Berbagai sarana telah tercipta dan untuk mudahnya dapat dikelompokkan dalam:
Pertama, sarana fasilitas. Sarana fasilitas sudah tidak asing lagi bagi dunia usaha swasta nasional di Indonesia, sekurang-kurangnya semenjak tahun 1957 pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan yang bersifat diskriminatif berdasarkan kewarganegaraan dan yang bermaksud untuk memberikan kedudukan yang terlindung bagi wiraswasta nasional terhadap pengusaha asing. Sebagian dari tujuan kebijaksanaan ini bermaksud untuk menyediakan lapangan usaha bagi pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi. Beberapa contoh dapat disebutkan, antara lain adalah Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1959 yang menyediakan segala aktivitas usaha di dalam semua daerah luar kotamadya secara eksklusif bagi pengusaha nasioanl; Undang-undang No.6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam negeri yang memberikan batas waktu tertentu bagi pengusaha asing pemilik modal di dalam negeri untuk menjalankan usaha di Indonesia; Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.314/Kp/XII/70 yang menyediakan keagenan tunggal, distribusi barang-barang impor, perdagangan impor, ekspor, dan distribusi serta usaha jasa pengusaha/perusahaan nasional, serta menetepkan pula bahwa perwakilan perusahaan asing hanya dapat didirikan di satu tempat di Indonesia dan tidak boleh mempunyai cabang-cabang. Hal tersebut kemudian disusul dengan kebijaksanaan pengalihan kegiatan distribusi perusahaan asing mulai 1 Januari 1978 yang untuk tahap pertama meliputi 19 perusahaan asing.
Kedua, sarana permodalan. Berbagai tindakan telah diambil pemerintah untuk memperkuat permodalan para pengusaha nasional. Salah insentif yang peling besar dari Undang-Undang No.6 Tahun 1968 adalah bahwa undang-undang tersebut memberikan pemutiahan atas modal dalam negeri yang ditanam di rehabilitasi, pembaharuan, perluasan, dan pembangunan baru di bidang-bidang tertentu dan dengan demikian memberikan kesempatan bagi wiraswasta nasional yang telah memiliki modal tersebut dari sumber-sumber yang tidak dipertanyakan lagi untuk menggunakannya. Sejak Agustus 1971, pemerintah juga memberikan fasilitas pemutihan atas modal baru yang ditanam di dalam bank-bank yang telah menjalankan merger.
Di samping itu, sejak April 1969 pemerintah menyediakan pinjaman jangka menengah dan panjang dengan tingkat bunga yang rendah untuk keperluan investasi/kredit investasi di dalam bidang-bidang pertanian, perbankan, industri, produksi barang ekspor, pengangkutan, pariwisata, pertambangan serta prasarana. Di dalam lingkungan Dirjen Koperasi pada tahun 1970 telah didirikan Lembaga Jaminan Kredit Koperasi; lembaga ini bertugas untuk menambah jaminan koperasi-koperasi yang meminta kredit. Dengan dua cara yang berlainan, kedua badan tersebut termaksud untuk memperoleh kredit dari bank. Salah satu usaha yang dewasa ini diperkembangkan dan diperluas adalah KIK dan KMKP yang diperuntukkan khusus bagi golongan ekonomi lemah pribumi.
Sejalan dengan kebijaksanaan ini, PT. Askrindo telah ditetapkan pula untuk bertugas sebagai lembaga pemberi jaminan secara otomatis atas penutupan KIK/KMKP ini. Di lain pihak wadah-wadah yang berbentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dan Koperasi Unit Desa (KUD) disertai pula Kredit Candak Kulak (KCK) yang ditujukan bagi masyarakat dan kota kecamatan melalui pasar. Sedangkan bagi wiraswasta yang tergolong menengah PT. Bahana merupakan wahana penyertaan modal maupun manajemen dalam rangka pengembangan usaha. Namun perlu kiranya kita sadari bahwa meskipun sarana permodalan itu penting, namun bukanlah satu-satunya penunjang dalam pembinaan wiraswasta nasional.
Ketiga, sarana perlindungan. Di samping adanya peraturan-peraturan yang mengkhusukan beberapa lapangan usaha bagi pengusaha nasional, pemerintah juga telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan untuk memberikan suatu kepastian usaha bagi perusahaan-perusahaan tertentu. Contoh-contoh adalah penunjukkan perusahaan-perusahaan tertentu sebagai pemegang merk, sebagai eksportir tunggal, sebagai biro perjalanan yang diizinkan dan sebagainya, perusahaan penerbangan yang diizinkan dan sebagainya. Sarana ini sering dijadikan “perjuangan” organisasi pengusaha. Terlepas dari baik dan buruknya sarana pelindungan ini, namun nampaknya anggapan bahwa adanya proteksi dapat meningkatkan usaha masih sangat kuat di kalangan organisasi/asosiasi pengusaha maupun para wiraswasta itu sendiri.
Keempat, sarana tempat usaha. Searah dengan langkah pembangunan maka permasalah baru timbul sebagai akibat salah satu akibat dari adanya program peremajaan pasar atau lokasi pertokoan yang biasanya terkait dalam rangka penataan kembali perencanaan kota. Invstasi pada pusat-pusat perbelanjaan, terutama pada waktu yang lampau dilaksanakan dengan perhitungan komersial. Pola ini menyebabkan wiraswasta golongan ekonomi lemah biasanya kemudian tersingkir baik oleh karena tidak adanya kemampuan untuk menebus kios maupun karena lokasi kios pada tempat usaha yang baru tersebut kurang menguntungkan dibandingkan pada waktu yang lampau. Memang tidak dapat disangkal bahwa dengan pola pembiayaan peremajaan pasar seperti tersebut di atas adanya pendatang baru dengan modal yang lebih kuat tidak dapat dicegah. Keadaan yang demikian tidak mustahil mempertajam jurang pemisah antara golongan ekonomi kuat dan lemah, ditambah lagi oleh kenyataan bahwa perbedaan ini secara fisik dapat terlihat sehingga nudah menimbulkan perasaan rasialisme.
Sadar akan kemungkinan adanya gejolak sosial, maka pemerintah melancarkan program Inpres Pasar yang kemudian disusul akhir-akhir ini dengan pola pembiayaan pendirian/peremajaan pusat perbelanjaan menggunakan kredit perbankan melalui pemerintah daerah. Dengan pola pembiayaan yang baru ini diharapkan pada wiraswasta golongan ekonomi lemah dapat menggunakan kesempatan berusaha pada pasar-pasar yang telah diremajakan.
Kiranya dalam hal ini, perlu diingat bahwa pengkhususan penggunaan pusat pertokoan hanya kepada golongan ekonomi lemah adalah kurang bijaksana. Aloksi yang wajar dan proporsional antara golongan ekonomi kuat dan wiraswasta nasional yang tergolong lemah dalam suatu pasar akan banyak mendorong terciptanya pembauran usaha antara kedua kelompok tersebut. Bahkan yang diharapkan dari terciptanya perpaduan tempat usaha ini adalah dimungkinkannya pengalihan keterampilan usaha dari yang kuat kepada yang lemah. Memang tidak dapat disangkal akan perlunya kebijaksanaan pemberian priorits lokasi kios yang relatif strategis bagi golongan ekonomi lemah.
Kelima, sarana pendidikan, latihan, penyuluhan, dan konsultasi. Pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional menjadi lebih kompleks oleh karena dalam usaha menumbuhkan kebudayaan berusaha yang wajar dan sehat terpaut soal sikap para pengusaha. Oleh karena itu salah satu sasaran pembinaan golongan ekonomi lemah adalah perubahan sikap.
Sudah banyak tulisan-tulisan yang membahas soal sikap atau mental pengusaha, dan secara umum sering dikatakan bahwa para pengusaha belum mempunyai jiwa enterpreneurship. Apakah hal ini termasuk kebudayaan Indonesoa atau tidak masih memerlukan penelitian dan pengkajian yang mendalam. Namun secara umum beberapa sikap pengusaha yang menyangkut kegiatan usaha dapat diidentisir, seperti: sikap terhadap hidup. Sikap ini erat hubungannya dengan pandangan terhadap lingkungan, sikap pasrah kepada alam dan nasib.
Sikap asal jadi, dimana produksi akan sesuatu barang atau jasa tidak dilaksanakan secara kritis dan teliti. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh masa lampau di mana pembeli itu mencari barang atau jasadan bukannya sebaliknya seperti apa yang berlaku di dewasa ini.
Sikap terhadap waktu. Pada umumnya jangkauan sikap terhadap waktu ini relatif pendek. Mungkin oleh karena pengalaman serta keadaan masa lalu membuat orang lebih memikirkan waktu sekarang dari masa datang yang mungkin gambarannya belum jelas. Sikap terhadap waktu ini mempengaruhi pula sikap terhadap uang atau modal. Sehingga keinginan untuk menabung atau investasi sering dikalahkan dengan pengeluaran yang lebih bersifat konsumtif. Sifat yang terakhir tersebut diperkuat dengan adanya sikap terhadap status dalam msayarakat. Pola penghargaan terhadap anggota masyrakat sering diukur dari pola konsumsi anggota masyarakat tersebut dan dari prestasi. Atas dalih tersebut di atas maka peranan pendidikan dan latihan bagi wiraswasta nasional tidak terlepas kaitannya dengan usaha pembinaan dan pengembangan golongan ekonomi lemah. Pentingnya pendidikan dan latihan keterampilan di bidang usaha, naik yang berupa pendidikan formal maupun non-formal, tercermin pula dari berbagai program nasional yang dewasa ini dilaksanakan. Dalam hal ini dapatlah disebutkan proyek Pembinaan Golongan Ekonomi Lemah Departemen Perdagangan dan Koperasi yang menekankan pada latihan keterampilan usaha dan konsultasi perusahaan. Kemudian kita kenal pula proyek bimbingan dan pengembangan industri kecil dari Departemen Perindustrian yang meliputi program pendidikan dan latihan, bimbingan teknik dan manajemen serta program promosi dan informasi. Di samping itu terdapat pula berbagai macam program pendidikan dan latihan yang dilaksanakan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia di pusat maupun di daerah serta lembaga pendidikan lainnya.
Mengingat bahwa sarana pendidikan, latihan, penyuluhan dan konsultasi memerlukan pendekatan serba muka serta keterampilan yang multi disipliner, maka sudah seyogyanya bahwa pengkut sertaan lembaga pemdidikan tinggi dalam program ini sangat diperlukan. Keterbatasan tenaga pelaksana yang terampil pada departemen teknis yang ditugaskan untuk menyelenggarakan program ini dapat diimbangi dengan tenaga pendidik dan penyuluh dari dunia universitas. Pendayagunaan potensi universitas akan mempunyai pengaruh timbal-balik dalam arti bahwa disamping program ini dapat dilaksanakan dalam ruang lingkup yang lebih luas juga lembaga pendidikan tinggi akan dapat lebih menghayati problema sosial politik dan ekonomi golongan ekonomi lemah untuk dapat diteliti dan dikaji lebih mendalam guna terciptanya gagasan-gagasan baru.
Kelima kelompok sarana pembinaan dan pengembangan merupakan serangkaian kebijaksanaan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sarana lain yang sering tidak disadari, bahkan mungkin dianggap merupakan penunjang bagi perkembangan dunia usaha, adalah mengenai hubungan perburuhan. Meskipun pada akhir-akhir ini pemerintah berusaha untuk menata kembali hubungan kerja yang wajar antara para buruh dan pengusaha, namun pelaksanaan dari ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah masij jauh dari yang diharapkan. Hal ini tidak lain oleh karena terbatasnya kesempatan kerja dibandingkan dengan jumlah angka kerja yang setiap tahun bertambah. Oleh karena itu pada dasawarsa ini dapatlah dikatakan bahwa secara relatif para pengusaha menduduki posisi yang lebih baik dibandingkan dengan buruh dalam hubungan kerja; suatu sarana yang umum dijumpai di negara yang sedang berkembang meskipun hal ini tidak berarti adanya produktivitas buruh yang cukup memadai.
Kalau secara sadar dan obyektif kita menilai dan mengkaji sarana pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional tersebut di atas, serta kita bandingkan dengan keadaan yang sekarang diresahkan, timbul pertanyaan mengapa program tersebut masih dirasakan kurang berhasil. Hal ini tidak lain oleh karena tolak ukur obyektif akan keberhasilan dalam usaha tersebut belum ada, apalagi kalau kita menginginkan ukuran yang dapat diandalkan validitasnya. Ukuran-ukuran yang ada biasanya tercetus secara relatif dari gejolak sosial-politik dan ekonomi dalam masyarakat yang sekaligus dapat merupakan indikator yang perlu kita perhatikan dengan seksama.

Mencari Titik Temu antara Aspirasi Wiraswasta dan Iklim Usaha
Dalam menelusuri kembali sejarah usaha pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional, beberapa hal dapat kita kaji kembali untuk mencari titik-titik kesamaan antara harapan golongan ekonomi lemah di satu pihak dan tugas pemerintah untuk membimbing, mengarahkan dan menciptakan iklim usaha dalam alam demokrasi ekonomi guna mendorong perkembangan wiraswasta nasional.
Dari penelitian dan pengalaman konsultasi pada dasarnya para pengusaha golongan ekonomi lemah masih menganggap faktor lingkungan usaha sebagai variabel utama di dalam keberhasilan berusaha dewasa ini.
Hal-hal yang dirasakan belum tercermin dalam iklim usaha pada waktu ini antara lain adalah, persaingan tidak sehat yang tercermin dalam kesempatan usaha yang belum merata; terkait dengan hal ini adalah masalah perizinan, retribusi dan pungutan lainnya serta hubungan dengan sektor perbankan yang belum memenuhi harapan. Penetapan pajak masih tetap dirasakan sebagai beban di samping itu peraturan pemerintah yang berubah-ubah menyebabkan ketidak pastian berusaha. Kesemuanya itu sering dijadikan tuntutan para wiraswasta nasional.
Di lain pihak secara obyektif dapatlah kita katakan bahwa hambatan yang dirasakan oleh golongan ekonomi lemah ini pun dihadapi olej golongan ekonomi kuat. Persoalan pokok yang kitanya perlu kita kaji adalah bagaimana cara pengelolaan batasan-batasan iklim usaha yang demikian adanya itu untuk kemajuan usaha golongan ekonomi lemah. Memang di sinilah mungkin letak perbedaan yang esensial mengenai seni berusaha golongan ekonomi kuat yang dengan batasan iklim usaha yang ada bisa lebih maju dari rekannya wiraswasta nasional.
Penekanan yang berlebihan dalam asas perjuangan golongan ekonomi lemah akan hal-hal tersebut di atas kuranglah pada tempatnya apabila tidak diimbangi dengan usaha membenahi diri dalam arti memperbaiki keadaan dalam perusahaan mereka itu sendiri. Problema dalam perusahaan wiraswasta nasional umumnya berkisar soal keuangan, yang tentunya terkait pada kredit investasi maupun kredit modal kerja. Manajemen dan pembagian tugas yang belum dapat diandalkan, terutama pada perusahaan yang berdasarkan keluarga. Sering dijumpai bahwa tidak adanya pemisahan harta kekayaan perusahaan dan pribadi yang tercermin pula pada lemahnya administrasi keuangan dan pembukuan. Tidak adanya kesadaran mengenai kalkulasi biaya dan informasi pasar menambah sukarnya untuk berkembang lebih lanjut. Kiranya para pengusaha golongan golongan ekonomi lemah perlu menyadari akan pentingnya membenahi diri dalam bidang-bidang tersebut.
Dari uraian di atas, jelas bahwa orientasi golongan ekonomi lemah masih lebih mementingkan adanya pelayanan “istimewa”, yang kiranya agak sukar bagi pemerintah untuk memberikan kebijaksanaan menyeluruh yang berpangkal tolak pada status golongan ekonomi kuat dan lemah tanpa menimbulkan resiko gejolak rasialisme. Dalam hal ini adalah lebih wajar bahwa penyelesaian dapat dilaksanakan melalui suatu perundang-undangan atau peraturan yang mengatur ruang lingkup dan jenis kegiatan dalam roda ekonomi bagi golongan ekonomi lemah, sedang dan kuat. Adanya semacam tingkatan kegiatan maupun usaha jenis usaha yang diperuntukkan bagi usaha kecil, menengah, dan besar dalam struktur perekonomian akan lebih menjamin keserasian usaha. Hal ini pun akan mendorong pula pola sub-kontrak pekerjaan dari yang besar kepada yang menengah dan kecil, sehingga di satu pihak kita dapat menghindari adanya pemupukan “kegiatan produksi dan perdagangan terpadu” pada satu kelompok, sedangkan di pihak lain pola ini dapat pula memberikan peluang kerja dan pengalihan keterampilan bagi para pengusaha golongan ekonomi lemah.
Membicarakan iklim usaha dalam mencari titik temu antara aspirasi wiraswasta nasional dengan lingkungannya tidaklah lengkap bila tidak membicarakan soal aparatur negara. Sadar akan kelemahan aparaturnya pemerintah pada dasarnya telah bertekad untuk menatanya kembali sehingga dapat lebih peka terhadap masalah pembangunan. Namun jangan dilupakan bahwa dengan gerak pembangunan dan perubahan sosial ekonomi yang relatif demikian cepatnya ini aparatur pemerintah sering tidak bisa mengimbanginya, hal ini tercermin antara lain dari terbatasnya daya absorbsi aparatur negara itu sendiri. Sehingga sering kita jumpai kurangnya kesadaran dari aparatur negara sendiri terhadap pentingnya pembinaan dan pengembangan golongan ekonomi lemah. Kritik semcam ini sering pula dilemparkan kepada sektor perbankan, terutama dalam rangka program KIK dan KMKP. Bahkan ada sementara pandangan yang mengatakan bahwa bank-bank pelaksana kurang mempunyai orientasi pembangunan. Kiranya kita jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan tanpa melihat permasalahannya dengan lebih mendalam. Selama hasil kerja pimpinan bank pelaksana diukur dengan kriteria komersial pula. Sedangkan kita ketahui untuk memenuhi kriteria komersial dalam mendapat kredit inilah justru para pengusaha golongan ekonomi lemah itu mengalami kesukaran. Di lain pihak sering kita jumpai pula bahwa daya absorbsi golongan ekonomi lemah tidak cukup untuk memanfaatkan peluang usaha yang terbuka. Sehingga tidak jarang terjadi bahwa daya absorbsi golongan ekonomi lemah tidak cukup untuk memanfaatkan peluang usaha yang terbuka. Sehingga tidak jarang terjadi bahwa kesempatan tersebut kembali dimanfaatkan oleh golongan ekonomi kuat. Dilema-dilema semcam itulah kiranya dapat dipecahkan secara tuntas baik antar aparatur negar amaupun di kalangan para pengusaha golongan ekonomi lemah itu sendiri.
Salah satu titik temu yang sering didambakan dan dihimbau oleh masyarakat adalah adanya pembauran usaha antara golongan ekonomi kuat dan lemah. Perlu kita sadari bahwa pembauran dalam dunia usaha akan memerlukan waktu yang relatif panjang karena masih diperlukannya penjajagan oleh masing-masing pihak. Usaha-usaha persuasi akan lebih langgeng dan berhasil dibandingkan dengan adanya paksaan oleh karena itu kesadaran dari kedua belah pihak sangat diperlukan. Dalam hal ini berbagai usaha telah dirintis baik melalui organisasi Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa di pusat dan di daerah maupun melalui Yayasan Karya Bhakti Pengusaha Nasional Swasta Indonesia. suatu organisasi yang beranggotakan para pengusaha yang relatif kuat dengan tujuan untuk menolong pengusaha yang lemah. Menarik pula usaha beberapa tokoh pengusaha non-pribumi untuk mengadakan liberalisasi dari kebijaksanaan personalia. Hal ini diartikan sebagai usaha untuk lebih banyak menerima tenaga-tenaga pribumi bukan saja pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi. Di samping itu ada pula penyertaan kalangan pribumi ke dalam usaha non-pribumi dalam bentuk patungan berasaskan hak yang sama. Keberhasilan dalam pembauran ini masih jauh, namum setidak-tidaknya langkah telah diayun ke arah saling pengertian serta tenggang rasa.