24 Maret 2009

Manajemen Pengedaran Uang oleh Bank Indonesia Tahun 1980


Bank Indonesia sebagai lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkan yang rupiah sebagai alat pembayaran di Indonesia harus dapat menjamin tersedianya uang kartal sesuai dengan kebutuhan. Ketersediaan uang tersebut meliputi aspek kecukupan jumlah atau nilai uang, komposisi pecahan uang yang sesuai, waktu dan tempat yang tepat, serta kondisi uang yang baik dan layak edar. Untuk itulah diperlukan sebuah manajemen yang baik dalam pengedaran uang yang meliputi kegiatan penerbitan uang baru, pengadaan uang, penyebaran uang, serta pencabutan dan penarikan kembali uang dari peredaran. Bank Indonesia mulai melakukan manajemen pengedaran uang pada tanggal 1 Desember 1980, berdasarkan Surat Keputusan No.13/52/Kep/Dir/UPU tentan ketentuan-ketentuan pokok pelaksanaan pengedaran uang yang berlaku mulai tanggal 31 Desember 1980. Selain itu, masalah pengadaan bahan dan pencetakan uang, Bank Indonesia bekerja sama dengan Perum Peruri yang dituangkan dalam Perjanjian Pokok Hubungan Kerja tanggal 23 Maret 1981.


a. Penerbitan Uang Baru[1]


Penerbitan uang baru oleh Bank Indonesia pada umumnya dilakukan dalam rangka mempermudah masyarakat dalam melaksanakan transaksi. Uang baru yang diterbitkan merupakan pecahan yang belum pernah ada atau pecahan yang sama untuk menggantikan emisi/penerbitan sebelumnya. Prinisip yang diperhatikan dalam menerbitkan uang baru antara lain:
1. Uang harus mudah dan nyaman digunakan serta harus tahan lama agar mempunyai usia edar yang cukup lama.
2. Uang harus mudah dikenali masyarakat termasuk yang bermasalah pada penglihatan.
3. Unsur pengaman pada uang harus memadai sehingga tidak mudah dipalsukan.
4. Biaya pembuatan uang harus dijaga agar biaya pembuatan uang (nilai intrinsik) lebih kecil dari nilai nominalnya.

Atas dasar prinsip tersebut, maka Bank Indonesia melakukan persiapan dalam pembuatan uang, berupa:
1. Tema penerbitan uang.
Tema yang dipilih dalam penerbitan uang, misalnya tema seri pahlawan, seri hewan, ataupun seri kebudayaan.
2. Nilai nominal uang.
Bank Indonesia terlebih dahulu menentukan nilai nominal uang yang diterbitkan, sesuai dengan kebutuhan di dalam masyarakat.
3. Jenis bahan yang digunakan.
Bahan yang digunakan ditentukan oleh Bank Indonesia, yaitu berbahan kertas untuk uang kertas, dan alumunium serta cupronickel (campuran antara 75% tembaga dan 25% nikel) untuk uang logam.
4. Ukuran uang.
Ukuran yang ditentukan antara lain panjang dan lebar untuk uang kertas atau plastic, serta diameter, ketebalan, dan berat untuk uang logam.
5. Desain uang.
Desain yang ditentukan adalah gambar bagian depan dan gambar bagian belakang yang akan dipakai dalam uang.
6. Warna dominan pada uang.
7. Tulisan yang dicantumkan pada uang.
8. Penetapan unsur pengaman.
Diterapkan pada spesifikasi bahan uang dan teknik cetak uang.
9. Penetapan tanggal pengedaran uang.
Tanda mulai berlakunya uang sebagai alat pembayaran yang sah.

Dalam penerbitan uang baru, Bank Indonesia bekerja sama dengan Perum Peruri. Perum Peruri melakukan pengadaan bahan dan pencetakan uang sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Sebelum diedarkan, Bank Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tentang penetapan uang baru yang diterbitkan sebagai alat pembayaran yang sah untuk wilayah Republik Indonesia sejak tanggal yang terdapat dalam Surat Keputusan tersebut. Selain itu Bank Indonesia melakukan kampanye atau sosialisasi agar masyarakat mengetahui dan mengenali uang baru yang akan diedarkan. Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara dan sarana, seperti siaran pers, penyuluhan, brosur, poster, media cetak, dan media elektronik.

b. Pengadaan Uang Rupiah[2]


Setelah menerbitkan uang baru, Bank Indonesia melakukan kegiatan pengadaan uang Rupiah. Bank Indonesia menyusun rencana pengadaan uang untuk memenuhi kebutuhan uang kartal dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan tersebut meliputi penyusunan rencana cetak uang, pengadaan bahan uang, dan pencetakan uang. Rencana cetak uang meliputi unsur-unsur jumlah kebutuhan uang yang diedarkan berdasarkan proyeksi kebutuhan riil masyarakat akan uang kartal dengan memperhitungkan jumlah uang untuk menggantikan uang yang dimusnahkan serta jumlah uang untuk persediaan kas yang aman.


Penyusunan rencana cetak uang mengacu kepada pola kegiatan kas di seluruh satuan kerja kas yang ada pada kantor kas dan kantor Bank Indonesia yang meliputi pola aliran uang keluar, aliran uang masuk, serta pemusnahan uang dari segi nilai maupun komposisi pecahan uang. Berdasarkan penyusunan rencana cetak uang selama satu tahun, kemudian Bank Indonesia merencanakan pengadaan bahan uang. Perhitungan bahan uang meliputi banyaknya bahan uang yang diperlukan untuk mencetak uang dan bahan uang yang diperlukan sebagai toleransi untuk tingkat kesalahan dalam pencetakan.


Bank Indonesia menempatkan pesanan bahan uang kepada Perum Peruri yang akan membeli bahan uang tersebut melalui proses lelang/tender. Penawaran harga dari peserta tender kemudian diajukan Peruri kepada Bank Indonesia untuk dimintakan keputusan. Setelah Bank Indonesia menyetujui, maka dilaksanakan pembelian oleh Peruri yang nantinya bahan uang tersebut akan diserahkan kepada Bank Indonesia untuk disimpan. Bahan-bahan yang disimpan kemudian diserahkan kepada Perum Peruri/percetakan lain apabila Bank Indonesia ingin melakukan pencetakan uang. Pesanan pencetakan uang disampaikan kepada Perum Peruri/percetakan dilakukan dengan penyerahan bahan yang disertai dengan jenis uang, pecahan uang, jumlah tiap pecahan, spesifikasi uang, jadwal penyerahan, kemasan uang, biaya, pengamanan, dan penyelesaian apabila terjadi masalah.


Di perusahaan percetakan dilakukan engraving, yaitu finalisasi gambar utama dengan sistem cukil yang memerlukan keahlian khusus dan waktu yang cukup panjang. Hasil dari proses ini adalah master cetak, yang kemudian akan diajukan dalam bentuk proof cetak, dalam bentuk satuan dan bentuk lembaran satuan kepada Gubernur Bank Indonesia untuk mendapatkan persetujuan. Apabila disetujui, maka proof cetak ini akan digunakan dalam produksi massal. Pencetakan dilakukan dalam beberapa tahap, dengan tahapan; cetak offset à cetak intaglio à pencetakan nomor seri. Seluruh hasil cetak diserahkan kepada Bank Indonesia sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Hasil cetak yang sempurna akan disimpan untuk keperluan pengedaran, sedangkan hasil cetak yang tidak sempurna akan dimusnahkan melalui prosedur yang berlaku.

c. Penyebaran Uang Rupiah[3]


Uang baru yang telah dicetak secara sempurna oleh Bank Indonesia akan disebar melalui kegiatan penyebaran uang rupiah, yang meliputi pengelolaan khasanah uang, pengiriman uang, pelayanan kas, dan pemusnahan uang. Sebelum melakukan penyebaran uang, Bank Indonesia menyimpan uang dan barang berharga lainnya dalam Khasanah Besar dan Khasanah kas harian. Khasanah besar menyimpan persediaan uang kartal dalam peti, hasil cetak uang yang belum diumumkan peredarannya, titipan pengiriman uang (remise) dari Kantor bank Indonesia, dan emas serta perak milik Bank Indonesia. Khasanah kas harian digunakan untuk menyimpan persediaan uang kartal untuk kebutuhan pembayaran dan penukaran sehari-hari, dan persediaan uang asing serta barang-barang berharga lainnya yang berkaitan dengan operasional perbankan.


Dari khasanah, kemudian dilakukan pengiriman uang yang dikenal dengan istilah remise. Kegiatan remise dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang disusun dengan memperhatikan pola kebutuhan uang kartal masing-masing satuan kerja kas. Pengiriman remise dilakukan dengan alat pengangkutan darat, kapal laut, dan pesawat udara. Pelayanan kas oleh Bank Indonesia kepada bank maupun non bank meliputi pelayanan pembayaran uang, penerimaan uang, dan penggantian uang. Pelayanan kas harus selalu diupayakan pelaksanaannya secara akurat, cepat , dan aman dari segi administratif maupun pengelolaan fisik uangnya. Untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut, diperlukan perencanaan serta pengawasan yang baik atas kegiatan kas dengan mengacu pada aturan-aturan baku sebagai pedoman yang meliputi standar prosedur, tugas, wewenang, dan tanggung jawab.


Pelayanan penukaran uang kepada masyarakat merupakan salah satu bentuk kebijakan penyebaran uang rupiah yang dilakukan Bank Indonesia. Kegiatan tersebut biasanya berupa penukaran uang pecahan besar ke pecahan kecil atau sebaliknya, penukaran uang yang telah lusuh atau cacat, dan penukaran uang yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran dengan uang yang masih berlaku. Bank Indonesia juga melakukan pelayanan kas di luar Kantor Bank Indonesia pada saat jam kerja maupun diluar jam kerja. Kegiatan kas mobil pertama kali dilakukan di Jakarta oleh Bagian Kas Kantor Pusat Bank Indonesia berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.2/51 RUPA-RUPA tanggal 11 September 1969 perihal kegiatan kas mobil. Setelah sukses di Jakarta, kegiatan kas mobil kemudian juga dilakukan di kota Medan, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Dalam rangka clean money policy, Bank Indonesia menjaga agar uang yang beredar layak edar. Terhadap uang yang masuk dilakukan sortasi untuk memilah uang itu layak atau tidak untuk diedarkan. Uang yang tidak layak edar akan diberi tanda tidak berharga dan segera dilakukan pemusnahan dengan dibakar atapun dilebur.

d. Pencabutan dan penarikan kembali uang dari peredaran[4]


Manajemen pengedaran uang yang terakhir adalah kegiatan pencabutan dan penarikan kembali uang dari peredaran. Bank Indonesia melakukan kegiatan tersebut dikarenakan beberapa sebab, antara lain:
1. Uang telah beredar cukup lama, antara lima sampai tujuh tahun.
2. Emisi uang tersebut banyak dipalsukan, sehingga diperlukan emisi baru dengan pengaman yang lebih banyak dan baik.
3. Perkembangan situasi politik dan kebutuhan di dalam masyarakat.
4. Penyederhanaan komposisi pecahan dalam peredaran.
5. Persediaan bahan uang.


Pencabutan dan penarikan kembali dari peredaran dilakukan Bank Indonesia apabila uang baru penggantinya sudah cukup banyak beredar di masyarakat. Pencabutan diumumkan secara resmi dalam berita negara RI dan diketahui oleh masyarakat. Kepada masyarakat diberikan kesempatan untuk menukarkan dan mendapatkan penggantian dengan nilai yang sama dalam jangka waktu tertentu dan tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia. Setelah 30 hari sejak jangka akhir batas penukaran, Bank Indionesia akan member tanda tidak berharga (PTTB) untuk uang yang dicabut dan ditarik dari peredaran dengan cara memberikan lubang berbentuk segi enam berjajar di tengah uang yang dilakukan menggunakan mesin pons. Setelah PTTB, maka uang tersebut akan dimusnahkan sesuai prosedur yang telah ditetapkan.



[1] Diatur dalam Pasal 2 sampai Pasal 4 SK. Direksi Bank Indonesia tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pelaksanaan Pengedaran Uang.
[2] Diatur dalam Pasal 5 sampai Pasal 8 SK. Direksi Bank Indonesia tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pelaksanaan Pengedaran Uang.
[3] Diatur dalam Pasal 9 sampai Pasal 14 SK. Direksi Bank Indonesia tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pelaksanaan Pengedaran Uang.
[4] Diatur dalam Pasal 15 sampai Pasal 18 SK. Direksi Bank Indonesia tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pelaksanaan Pengedaran Uang.
Penetapan Bank Indonesia Sebagai Lembaga Satu-satunya yang Mencetak dan Mengedarkan Uang di Indonesia



Di dalam pasal 26 hingga pasal 28 UU No.13/1968 dinyatakan bahwa Bank Indonesia menjadi satu-satunya lembaga yang mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang di Indonesia.[1] Alasan penunjukkan Bank Indonesia sebagai lembaga tunggal dalam pengaturan peredaran uang, karena Pemerintah memandang bahwa dari sudut ekonomi tidak ada perbedaaan fungsional antara uang yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, atas dasar kepentingan keseragaman dan efisiensi, pengeluaran uang kertas dan uang logam diserahkan kepada Bank Indonesia selaku lembaga keuangan negara.[2]

Berdasarkan Undang-Undang No.13/1968, Pemerintah tidak lagi membebankan kepada Bank Indonesia untuk menyediakan jaminan emas dalam menerbitkan dan mengedarkan uang, ataupun membiayai impor melalui cadangan devisa. Masalah penerbitan dan pengedaran uang diatur dalam pasal 26 ayat (3) Undang-Undang No.13/1968 yang menyatakan bahwa sebelum tahun anggaran, Pemerintah terlebih dahulu menentukan jumlah maksimum uang yang akan beredar dalam satu tahun dan mencantumkannya dalam nota keuangan untuk dijadikan pedoman oleh Bank Indonesia dalam menerbitkan dan mengedarkan uang. Penetapan jumlah maksimum uang kartal tersebut merupakan landasan yang cukup untuk pegangan yang efektif guna pengendalian jumlah uang yang beredar, dengan demikian laju inflasi yang dapat menyebabkan keterpurukan ekonomi dapat dihindari.[3]


Di awal tahun 1970-an, kesatuan moneter di Indonesia belum seluruhnya tercapai. Hal itu karena di Propinsi Irian Barat masih menggunakan Rupiah Irian Barat (IB Rp) sebagai alat pembayaran. Demi mewujudkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, maka Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No.8 Tahun 1971 tanggal 18 Februari 1971, yang menyatakan bahwa rupiah umum diberlakukan sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Irian Barat disamping IB Rp yang akan ditarik dari peredaran secara bertahap. Penyatuan wilayah moneter di Indonesia mulai terlaksana dengan ditariknya uang kertas dan uang logam IB Rp dari peredaran pada tanggal 31 Mei 1971. Penarikan tersebut diikuti dengan diedarkannya uang rupiah yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Kepada masyarakat diberikan kesempatan penukaran dengan nilai tukar IB Rp dengan rupiah adalah IB Rp 1 = Rp. 18,90 sesuai dengan Keputusan Presiden No. 31 Tahun 1970.[4]


[1] Undang-Undang No.13/1968.
[2] Penjelasan Pasal 26 Undang-Undang No.13/1968.
[3] Undang-Undang No.13/1968
[4] Keputusan Presiden No.8/1971 dan Keputusan Presiden No.31/1970.