19 Februari 2009

MISTIK KEJAWEN : ANTARA ILMU dan NGELMU

Ilmu adalah bukti olah otak manusia yang mungkin didasarkan pembuktian ilmiah. Ilmu bersumber pada kebenaran ilmiah. Setiap manusia yang sadar dan wajar dapat memiliki sebuah ilmu. Ilmu ini akan membantu keperluan hidup manusia dalam segala hal. Biasanya, ilmu selalu dituntut dengan logika tertentu yang membuat komunikasi antar manusia semakin jelas dan transparan.
Ciri suatu ilmu, antara lain harus rasional, fenomenal, sistematis, teratur, dan analitis. Pendek kata, ilmu dapat diuji kebenarannya lewat dasar-dasar pembuktian tertentu. Ilmu, memiliki paradigma dan rumus-rumus yang jelas. Pendek kata, ilmu akan berprinsip pada obyektivitas. Misalkan, ilmu bahasa, ilmu bumi, ilmu tauhid, dan lain-lain.
Berbeda dengan ilmu, dalam khasanah budaya Jawa dikenal istilah ngelmu. Istilah ini sulit dikatakan sejajar ataupun tidak sejajar dengan ilmu. Ngelmu merupakan konsep pemikiran Jawa deles (asli). Di dalamnya terdapat hal-hal yang rasional dan mungkin juga irrasional. Ngelmu tidak harus diterima melalui akal. Sebagian besar ngelmu diturunkan atau diterimakan melalui rasa.
Dalam konteks masyarakat Jawa, ilmu dipandang sebagai knowledge, sedangkan ngelmu sebagai gnosis, yaitu bentuk spiritual yang tidak saja mengandalkan intelektual tetapi intuitif. Jika ilmu didasari akal, ngelmu mendasarkan pada seluruh organ tubuh. Namun demikian, tidak berarti bahwa ngelmu itu tanpa akal dan tidak ada yang rasional. Ngelmu pun ada yang melukiskan nalar yang jelas dan transparan. Memang telah disadari oleh Masyarakat Jawa bahwa ngelmu mengandung sesuatu arti ajaran rahasia untuk pegangan hidup.
Ngelmu biasanya dicapai melalu laku batin atau rohani. Jalan rohani ini, dalam tasawuf sering disebut tarekat. Tarekat dalam budaya spiritual Jawa dikenal sebagai bagian dari laku mistik kejawen. Paradigma ngelmu dalam mistik kejawen sering dirumuskan dalam pengetahuan jarwadhosok, yaitu ngelmu diartikan angel olehe ketemu. Mangkunegara IV dalam menurut Serat Wedhatama, menggambarkan "Ngelmu iku kelakone kanthi laku". Maksudnya, perwujudan atau untuk mendapatkan suatu ngelmu harus dijalankan laku (upaya batin). Upaya tersebut dilakukan melalui penghayatan rasa yang sifatnya suprarasional dan atau intuitif. Dalam hal-hal tertentu, ngelmu justru diperoleh melalui indra keenam manusia. Atas dasar ini, maka ciri-ciri dari ngelmu antara lain:
(1) bukan merupakan aktivitas otak, melainkan rohani yang berusaha ke arah sangkan paraning dumadi; (2) untuk nggayuh kasampurnaning dumadi; (3) menuju kelepasan, yaitu celak coloking Hyang Widi, momor pamoring Sawujud; (4) berbentuk ungkapan-ungkapan sepotong yang berisi lambang. kiasan untuh.
Ciri-ciri tersebut, menunjukkan bahwa ngelmu dalam mistik kejawen memang sangat wingit (sakral) dan penuh liku-liku batin. Kendati demikian, tidak berarti ngelmu semacam ini sulit atau tidak bisa dipelajari. Biasanya manusia Jawa yang telah menekuni ngelmu ini disebut telah nyecep (menghayati) ngelmu kasepuhan (ngelmu tua atau kesempurnaan hidup). Manusia tersebut, ada juga yang menyebut telah buntas (selesai) mendalami ngelmu karang (ngelmu untuk ngudi kesempurnaan). Ngelmu karang biasanya penuh misteri batin dan rahasia gaib. Ngelmu ini implementasinya mempergunakan instrumen supranatural, seperti halnya semedi, dzikir, membaca mantram, ngracut raga, telepati, gendam, olah kanuragan, ngraga sukma, dan lain-lain. Melalui penghayatan mendalam terhadap laku-laku ini, kemungkinan manusia akan menapatkan "temuan" tentang kesaktian, sadar diri (awas-eling), dan ngerti sadurunge winarah (tahu apa yang akan terjadi).
Dengan kata lain bahwa ngelmu memang lebih sakral dibandingkan ilmu. Ngelmu memang khas Jawa. Itulah sebabnya, saya setuju ciri ngelmu yang dikemukakan Soesilo, yaitu: (1) diketahui dengan laku batin, penghayatan rohaniah, (2) ngelmu kelakone kanthi laku, setelah dijalankan, (3) berdasarkan penghayatan, perasaan yang dilakukan sendiri, didapat melalui tapa brata (mengurangi kesenangan duniawi), (4) dijalankan dengan heneng (konsentrasi), hening (pikiran bening), dan heling (ingat Tuhan).
Ngelmu demikian amat diperlukan dalam praktek mistik kejawen. Karena, mistik Kejawen bukan dilandasi oleh teologi, tetapi oleh paham theosofi. dalam paham ini, ngelmu merupakan sebuah ngelmu batin, mistik, atau ngelmu Jawa dan hakikat kejawaan. Dengan kata lain, ngelmu dalam budaya spiritual Jawa adalah pengetahuan (kawruh) batin atau sering disebut nglemu kasampurnaning dumadi. Atau sering juga dinamakan ngelmu sejati, ngelmu kasunyatan. Dalam serat Wedharan Wirid, ngelmu serupa sering dinamakan juga kawruh tentang panembah jati (menyembah Tuhan). Yakni berisi kawruh sejati, mulai dari sarengat, tarekat, hakekat, sampai makrifat.
Ngelmu dalam mistik kejawen adalah ngelmu kasampurnaan atau ngelmu kasunyatan. Yakni, ngelmu yang lebih nyata, sunya (suci). Ada juga yang menyebut ngelmu kasidan jati, yang berasal dari kata sidan (sempurna) dan jati (kesejatian). Ngelmu ini harus dijalankan melalui catur lampah (empat jalan), yaitu:
1. pangesthi atau pamelenging tekad. Yakni, berdasarkan kemantapan budi berupaya mencari jalan terang dalam kegelapan. Mistikawan lalu menerapkan ngelmu kanthong bolong. Maksudnya, mau menolong manusia lain tanpa memikirkan waktuk, asalkan isi kantong ada akan tumbuh niat
2. angelar pemandeng, maksudnya dengan jalan laku dyatmika (halus budi) melalui konsentrasi batin.
3. ambuka netra, artinya memperhatikan manusia lain dengan hati nurani yang jernih.
4. ngukub kabeh, artinya menjadi satu (manunggal) dengan dzat suci (Tuhan) secara utuh.
Untuk mengamalkan ngelmu, seperti halnya ditegaskan dalam Serat Cipto Waskhito karya Pakubuwono IV, harus melaksanakan empat hal: (1) mantep, mantap dengan penuh keyakinan untuk melakukan mistik kejawen, (2) temen, artinya melakukan mistik kejawen dengan tekun, (3) gelem nglakoni, mau mengamalkan apa yang diperoleh melalui laku tersebut, (4) aja gumunan, janganlah mudah terpukau atau heran terhadap keajaiban yang diperoleh melalui ngelmu. Hal ini berarti bahwa ngelmu sejati harus diperoleh olah rasa, yakni dengan menjalankan kewajiban hidup luhur. Akhirnya, mistikawan akan paham terhadap hakikat hidup, sehingga hidupnya tidak ngaya (memaksakan diri) atau nggrangsang (bernafsu meraih yang bukan semestinya).
Melalui ngelmu, orang Jawa akan melakukan penghayatan akan Tuhan dalam suatu hubungan langsung dengan-Nya. Karena mistik kejawen amat luas dan dalam, penghayat mistik akan memanfaatkan ngelmu untuk menjumpai Tuhan melalui pendalaman dan penjernihan batin. Intinya ngelmu kejawen akan membuka jalan penganutnya ke arah kenyataan sejati. Yakni kesejatian tentang ada, yang diselami melalui rasa, kehidupan, dan melebur di dalamnya. Ngelmu mistik akan mampu memahami semacam ilham yang tersingkap melalui realitas. Ngelmu tersebut merupakan pisau penghayatan ke hal yang sulit terdeskripsikan.

17 Februari 2009

Bingung dan Linglung.............
Bingung di kantor mesti ngerjain apa, semua orang sudah mulai curiga dan memainkan taktik sendiri untuk membuat mereka aman. Duh....sial, kenapa ini mesti terjadi, ngga jelas apa yang harus dikerjakan tahun ini, ngga ada penjelasan ke arah mana pekerjaan akan dilaksanakan. Pusing dan bingung, itulah kata-kata yang ada dibenak saat ini. Semuanya serba abu-abu, lebih baik tahun lalu, biar kerjaan banyak yang penting jelas, dan gua sanggup menyelesaikan tepat waktu. Apa karena bisikan-bisikan 'setan' ke pimpinan, yang mengesankan bahwa kerjaan yang ada itu banyak di bertumpuk di satu orang, sehingga banyak orang yang mulai tidak menyukai. Ah....itu cuma prasangka jelek aja!!!
Okelah, harusnya ada kejelasan pekerjaan tahun ini, mau kemana dan dibawa kemana proyek ini, jangan diombang-ambing gini dong. Sebenarnya asyik sih, jadi banyak waktu buat nyantai, tapi ini kan sama aja dengan mengingkari janji diri, bahwa bekerja dengan baik harus dilakukan dengan semaksimal mungkin. Bingung dan linglung, sekarang mau ngapain dan mau ngerjain apa, tapi ya sudahlah, semua itu mungkin jalan takdir yang harus gua hadapin.
Siap-siap, bila tahun depan sudah tidak bisa seperti ini, bekerja di tempat lain dan harus beradaptasi lagi dengan tempat yang baru. Feeling mengatakan bahwa ini tidak akan lama lagi akan datang, dan harus siap untuk pergi, dan mengucapkan selamat tinggal kepada Museum Bank Indonesia!!!!!

04 Februari 2009

Pengedaran Uang di Indonesia Sebelum 1968



Pembuatan uang di Indonesia pada awalnya dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Darurat No.20/1951 tanggal 27 September 1951 (ditetapkan menjadi Undang-Undang No.27/1953 tanggal 18 Desember 1953) tentang mata uang dinyatakan bahwa uang dengan pecahan di bawah lima rupiah dicetak oleh Pemerintah.[1] Pada perkembanganya pemerintah menerbitkan beberapa seri uang kertas dan uang logam. Pada tahun 1951, Pemerintah mencetak uang kertas di Security Banknote Company. Setelah itu sejak tahun 1954-1964, pencetakan uang kertas Pemerintah di lakukan oleh PN Pertjetakan Kebajoran. Sementara itu untuk pencetakan uang logam dilakukan oleh PN Arta Yasa.[2] Untuk pecahan di atas lima rupiah pencetakan dilakukan oleh Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan dalam pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No.11/1953 tentang Bank Indonesia. Pada periode 1953-1964, Bank Indonesia mencetak uang kertas dalam beberapa emisi. Pencetakan uang kertas oleh Bank Indonesia dilakukan di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, pencetakan dilakukan oleh PN Pertjetakan Kebajoran, sedangkan di luar negeri dilakukan oleh Johan Enschede&Zonen (Belanda) dan Thomas De La Rue & Co (Inggris).[3]

Meskipun diterbitkan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia, akan tetapi pengedaran uang tersebut menjadi tugas dari Bank Indonesia. Hal ini terkait pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.11/1953 yang menyatakan tugas Bank Indonesia untuk mengatur keseimbangan nilai rupiah dan menyelenggarakan pengedaran uang di Indonesia.[4] Uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah tidak ada ketentuan penjaminan. Namun demikian pengamanannya dilakukan dengan menetapkan jumlah-jumlah uang kertas pemerintah yang dapat dikeluarkan oleh pemerintah yang diatur dalam PP. Jumlah uang kertas pemerintah jumlahnya relative sangat kecil, hanya 5% dari seluruh jumlah uang yang beredar. Uang logam yang dikeluarkan oleh pemerintah nilainya dijamin oleh nilai bahan logam yang digunakannya.[5] Sementara itu dalam mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas, Bank Indonesia dibatasi oleh ketentuan yang terdapat dalam pasal 16 Undang-Undang No.11/1953 yang menyatakan bahwa:[6]
a. Jumlah semua uang kertas, saldo rekening Koran, dan tagihan-taghian lain yang dapat segera ditagih dari Bank Indonesia harus seperlimanya dijamin dengan emas, mata uang emas, atau cadangan yang terdiri atas alat-alat pembayaran luar negeri yang umumnya dapat ditukarkan.
b. Minimal seperlima dari nilai jaminan tersebut harus ada di Indonesia.
c. Dalam keadaan luar biasa, untuk rentang waktu paling lama tiga bulan, Bank Indonesia boleh menyimpang dari ketentuan seperlima tersebut.


Penjaminan uang dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan pemegang uang kertas, karena sesuatu hal misalnya karena tidak percaya lagi atas uang tersebut, minta uangnya ditukar dengan aset senilai yang tercantum dalam mata uang tersebut. Penentuan besarnya jaminan biasanya dimulai saat Bank Indonesia menghitung jumlah uang yang akan beredar dalam satu tahun untuk dijadikan dasar penetapan besarnya nilai jaminan. Akan tetapi apabila jumlah cadangan devisa yang digunakan untuk penjaminan tidak mencukupi, maka Direksi akan mengajukan perubahan prosentase jaminan kepada Dewan Moneter. Setelah itu, Dewan Moneter akan mengajukan kepada parlemen untuk persetujuan, dan apabila disetujui akan dikeluarkan undang-undang yang tentang ketentuan penjaminan. Berdasarkan undang-undang itulah, Bank Indonesia menyiapkan jaminan sebagaimana ditetapkan, yang seperlimanya harus ada di Indonesia.[7] Saat jaminan telah disiapkan, barulah Bank Indonesia mencetak dan mengedarkan uang.


Pada perkembangannya persentase jaminan emas mengalami penurunan menjadi lebih rendah dari 15% pada tanggal 30 Januari 1957, karena ketidakpercayaan terhadap uang kertas tidak selalu terjadi, dan jaminannya pun tidak selalu dalam bentuk emas, tetapi dalam bentuk yang lainnya. Pada akhirnya berdasarkan UU No.84 tahun 1958 tentang pengubahan pasal 16 dan 19 Undang-Undang Pokok Bank Indonesia No.11/1953, Bank Indonesia dibebaskan dari kewajiban menepati persentase jaminan emas atas uang yang diedarkan. Ketentuan tersebut diambil oleh pemerintah karena terus menurunnya cadangan devisa Indonesia, sementara peredaran uang terus mengalami peningkatan. Hal itu menyebabkan cadangan devisa Indonesia tidak dapat mengimbangi pertumbuhan uang yang beredar, sehingga penjaminan emas atau uang yang dikeluarkan tidak dapat dipertahankan lagi dan pada akhirnya dihapuskan. Sebagai gantinya, Bank Indonesia diwajibkan untuk menyediakan devisa untuk membiayai kebutuhan impor selama tiga bulan.[8]


Pada periode Ekonomi Terpimpin, Bank Indonesia membantu Pemerintah mengedarkan uang Rupiah Irian Barat (IB Rp) dan uang rupiah khusus kepulauan Riau (KR Rp). Hal itu dilakukan untuk mewujudkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, karena pada waktu itu di wilayah Irian Barat masih menggunakan mata uang Nederlands Niuew Guinea Gulden dan di Kepualuan Riau sebagian besar masyarakatnya menggunakan Malayan Dollar sebagai alat pembayarannya.[9] Untuk mengukuhkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden No.27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember untuk mengeluarkan uang Rupiah baru sebagai alat pembayaran yang berlaku bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Peraturan tersebut juga menyatakan bahwa Bank Indonesia diberikan wewenang untuk mengeluarkan semua jenis uang dalam segala pecahan, sehingga berdasarkan peraturan ini Pemerintah tidak lagi menerbitkan uang rupiah dalam pecahan apapun.[10]


Penetapan Presiden No.27/1965 merupakan peraturan yang menyatakan bahwa Bank Indonesia sebagai satu-satunya lembaga dalam mengeluarkan dan mengedarkan uang di Indonesia. Pecahan dibawah lima rupiah yang pertama kali dikeluarkan dan diedarkan oleh Bank Indonesia adalah uang kertas seri Dwikora dengan tanda tahun 1964 yang diedarkan bersamaan dengan pemberlakukan penetapan presiden tersebut. Uang yang dikeluarkan tersebut berupa uang kertas dengan pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen, dan 50 sen. Uang tersebut ditandatangani oleh T. Jusuf Muda Dalam (Gubernur Bank Indonesia) dan R. Hertatijanto (Direktur Bank Indonesia). Semua uang itu dicetak oleh PN. Pertjetakan Kebajoran (PERKEBA).[11]


Pergantian Pemerintahan pada tahun 1966 menyebabkan dilakukannya penataan kembali kehidupan perekonomian di Indonesia yang saat itu berada di ambang kebangkrutan. Hiperinflasi yang mencapai angka 635% pada bulan Maret 1966 menyebabkan masyarakat menderita. Untuk itu Pemerintahan yang baru berusaha agar krisis ekonomi yang ada di Indonesia dapat segera di atasi. Berdasarkan Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan maka Pemerintah berusaha untuk melakukan restrukrisasi dan rehabilitasi perekonomian di Indonesia. Dalam pasal 55 ketetapan tersebut dinyatakan bahwa dalam rangka pengamanan keuangan negara pada umumnya dan pengawasan serta penyehatan tata-perbankan pada khususnya, maka segera harus ditetapkan Undang-Undang Pokok Perbankan dan Undang-Undang bank sentral.[12] Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut, maka dikeluarkan Undang-Undang No.14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang disahkan dan diundangkan tanggal 30 Desember 1967. Setahun kemudian, disahkan pula undang-undang No.13/1968 tentang bank sentral pada tanggal 7 Desember 1968. Undang-undang tersebut berlaku mulai tanggal 31 Desember 1968. Selanjutnya sesuai dengan undang-undang tersebut, bank sentral tetap menggunakan nama Bank Indonesia.


Catatan Kaki:
[1] Undang-Undang Darurat No.20/1951 tanggal 27 September 1951 tentang Penghentian Berlakunya “Indische Muntwet 1912” dan Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang, dan Undang-Undang No.27/1953 tanggal 18b Desember 1953 tentang Penetapan Peraturan Baru Tentang Mata Uang.
[2] Tim Penulis Sejarah Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode I (1945-1959): Bank Indonesia Pada Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta: Bank Indonesia. 2005. Hlm. 263-264.
[3] Ibid., hlm. 264-267.
[4] Undang-Undang No.11/1953 tanggal 19 Mei 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia.
[5] Cyber Museum.
[6] Undang-Undang No.11/1953.
[7] Oey Beng To, Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1958), Jakarta: LPPI, 1991. Hlm. 255-257.
[8] Ibid.
[9] Untuk masalah Rupiah Irian Barat diatur dalam Penetapan Presiden No.2/1963, sedangkan untuk Rupiah Kepulauan Riau diatur dalam Penetapan Presiden No.9 Tahun 1953.
[10] Penetapan Presiden No.27/1965.
[11] Tim Penulis Sejarah Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode II (1959-1966): Bank Indonesia Pada Masa Ekonomi Terpimpin, Jakarta: Bank Indonesia, 2005. Hlm. 203-205.
[12] Tap MPRS No.XXIII/MPRS/1966.
SUKU BUNGA PRIORITAS DALAM ERA DEREGULASI
(Riyanto, Suara Karya 23 November 1988)
Dewasa ini dikenal dua kelompok suku bunga yang masing-masing terbentuk atau ditetapkan dengan latar belakang dan alasan yang berbeda. Agak berbeda dengan keadaan sebelum deregulasi Juni 1983, yang penetapan suku bunga dilakukan sedemikian rupa, sehingga sebagian besar kegiatan ekonomi yang masih dipandang perlu didukung dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak mendapat bantuan fasilitas kredit bank yang diatur dan ditunjang oleh bank sentral.

Pengaturan suku bunga dan bahkan besarnya jumlah kredit ditetapkan oleh Bank Sentral berdasarkan urutan prioritas yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah. Karenanya dapat dimengerti mengapa selama periode tersebut perbankan nasional terlebih-lebih bank pemerintah kurang leluasa untuk menetapkan sendiri tingkat bunga yang dikehendaki. Pengaturan secara sentral ini berkaitan pula dengan banyaknya bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank pelaksana yang menyalurkannya kepada sektor, golongan, maupun kegiatan ekonomi yang dikategorikan prioritas.

Perbankan mengemban misi untuk menunjang proyek-proyek pembangunan yang ditetapkan Pemerintah. Kelompok ataupun kegiatan yang berpredikat prioritas ini dipandang masih memerlukan uluran tangan, dukungan maupun fasilitas di bidang kemudahan usaha perpajakan, perlindungan terhadap kompetisis serta bantuan kredit bank dengan fasilitas lunak sehingga dapat meningkatkan kemampuan mereka. Salah satu sasaran yang ingin dicapai dengan kebijakan Trilogi Pembangunan ialah pemerataan yang dilaksanakan melalui mekanisme penetapan sektor prioritas tersebut.

Karenanya bisa dipahami mengapa sebelum adanya kebijakan 1 Juni 1983 terdapat demikian banyak sektor prioritas yang mendapat dukungan bank sentral dengan berbagai fasilitas lunak baik suku bunga maupun jumlah kredit yang diberikan. Penggolongan kegiatan/sektor ekonomi yang dianggap prioritas dan mendapat perlakuan khusus dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Pinjaman investasi baik berskala besar untuk berbagai proyek/sektor industri perhubungan, pariwisata, pertanian, perkebunan, pencetakan, sawah dan lain sebagainya maupun yang berskala kecil seperti kredit mini, midi, maupun kredit-kredit kepada koperasi anggotanya.
Kredit khsusu untuk usaha-usahawan kecil dalam bentuk KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) dengan pinjaman maksimal tidak lebih dari Rp. 15 juta dengan harapan usahawan-usahawan ini mampu berkembang maju.
Pinjaman modal kerja baik berskala kecil maupun besar untuk berbagai sektor prioritas seperti:
- Pengadaan dan penyaluran pangan (beras, padi, jagung, garam rakyat0 oleh BUUD dan KUD
- Program Bimas dan Inmas pertanian rakyat, peternakan, dan perikanan rakyat.
- Fasilitas kredit ekspor dan produksi ekspor.
- Peternakan, perikanan, pengumpulan dan penyaluran hasil pertanian yang dilakukan oleh BUUD/KUD dan koperasi.
- Fasilitas kredit untuk sektor industri dan jasa-jasa seperti gula, minyak goreng, tekstil, kertas, semen, angkutan umum, konstruksi serta impor dan lain sebagainya.
Kredit priorotas lainnya seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) dan kredit untuk mendirikan asrama mahasiswa.

Dengan berbagai kemudahan seperti digambarkan di atas maka pemerintah melalui kebijakan di bidang perbankan akan berusaha mendorong sektor-sektor yang diprioritaskan untuk maju dan berkembang ke arah yang lebih baik. Mekanisme melalui sektor perbankan dimaksudkan agar golongan kelompok maupun sektor-sektor yang dikategorikan prioritas tersebut tidak menganggap bahwa bantuan tersebut sebagai sesuatu yang tidak perlu dibayar kembali. Di lain pihak dimaksudkan pula agar ada unsur mendidik dan sikap tanggung jawab yang lebih nyata dari para penerima kredit.

Pemberian fasilitas tersebut nampaknya masih terus dilakukan sebagai bagian dari kebijakan dan strategi pemerintah untuk mencapai sasaran penerimaan maupun pertumbuhan. Itu sebabnya mengapa didalam GBHN 1988 bab IX huruf C bidang ekonomi terdapat petunjuk-petunjuk penting yang perlu diperhatikan oleh perbankan antara lain sebagai berikut:
Kebijakan perdagangan yang mendorong dan membantu koperasi serta pengusaha golongan ekonomi lemah perlu dilanjutka dan disempurnakan antara lain dengan memberukan kemudahan dalam mengembangkan usaha termasuk penyediaan kredit dan permodalan.
Kemampuan koperasi untuk berperan lebih besar di berbagai sektor seperti pertanian, perindustrian, konstruksi, perdagangan, keuangan dan sebagainya perlu ditingkatkan. Untuk itu perlu didorong dan dikembangkan kerja sama antara koperasi dengan usaha negara dan swasta.
Pengusaha golongan ekonomi lemah termasuk pengusaha informal dan tradisional perlu terus dibina untuk meningkatkan kemampuan usaha dan pemasaran dalam rangka mengembangkan kewiraswastaan dan sebagainya. Sejalan dengan itu perlu disediakan secara memadai berbagai kemudahan dan bantuan seperti kredit dan permodalan, tempat usaha, dan sebagainya.

Selain di bidang ekonomi, pada bidang sosial budaya telah digariskan pula hal-hal yang berkaitan dengan perumahan dan pemukiman yang antara lain berbunyi: ”lembaga pembiayaan yang melayani pembangunan perumahan perlu ditingkatkan dan dikembangkan peranannya sehingga dapat mendorong terhimpunnya modal yang memungkinkan pembangunan rumah milik dan rumah sewa dalam jumlah yang besar. Sejalan dengan itu perlu diciptakan iklim yang menarik bagi pembangunan perumahan baik oleh masyarakat maupun oleh perorangan antara lain dengan penyediaan kredit yang memadai, pengaturan persewaan dan hipotek perumahan.”

Dengan pedoman tersebut di atas jelas bahwa terdapat sektor-sektor prioritas yang memerlukan dukungan pembiayaan perbankan dengan harapan agar kemampuan golongan atau sektor yang memperoleh manfaat tersebut dapat ditingkatkan. Karenanya seperti telah disinggung di atas, bank sentral sebagai lembaga yang bertanggung jawab di bidang pembiyaan perbankan telah menetapkan kemudahan tidak saja menyangkut alokasi dana kredit, tetapi juga tingkat bunga yang dibebankan.

Kebijakan Suku Bunga
Sebagaimana dimaklumi kebijakan suku bunga pada periode sebelum 1 Juni 1983 lebih banyak diatur dan diarahkan untuk menunjang proyek-proyek prioritas seperti digambarkan di atas, sehingga tingkat bunga yang berlaku relatif sangat rendah.

Secara umum suku bunga kredit investasi berkisar antara 10.5% - 13.5% per tahun dan modal kerja antara 12% - 21% per tahun dan bahkan kredit ekspor hanya 9% per tahun sedangkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) antara 5% - 9% per tahun, serta Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) dan kredit asrama mahasiswa masing-masing hanya 6% dan 5% per tahun.

Sedangkan suku bunga yang berlaku di perbankan swasta nasional berada pada tingkat antara 18% - 32% per tahun. Dengan adanya kebijakan 1 Juni 1983, maka tingkat bunga yang berlaku di bank-bank pemerintah untuk sektor nonprioritas menjadi sekitar 16.5% - 23.5% dan 18% - 24% setahun masing-masing untuk kredit investasi dan modal kerja, sementara di BUSN tercatat antara 21% - 30% per tahun atau ada yang lebih.

Kenaikan suku bunga tersebut merupakan konsekuensi logis dari kebijakan deregulasi sehingga berdampak kurang menguntungkan bagi dunia usaha nasional. Upaya-upaya telah dilakukan untuk mempengaruhi tingkat bunga tersebut dengan antara lain menetapkan kebijakan penyediaan fasilitas diskonto, mengeluarkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) maupun Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Dengan instrumen moneter tersebut, maka diharapkan tingkat agar suku bunga khususnya bunga deposito berjangka dapat diturunkan. Sebagai contoh dengan adanya kebijakan penurunan suku bunga fasilitas diskonto dari 17.5% menjadi 16.5% dari suku bunga SBI (satu bulan) dari 15% menjadi 14.5% per tahun. Pada Mei 1984 telah menyebabkan turunnya suku bunga deposito berjangka antara 0.25% sampai 1%.

Demikian selanjutnya dengan penurunan suku bunga fasilitas diskonto dan SBI yang tercatat September 1984 dari 26% dan 18% per tahun menjadi 18.5% dan 15% pada bulan Agustus 1985 serta kemudian dengan menurunnya suku bunga deposito pada bank-bank pemerintah telah menurun dari 15% - 21% per tahun pada tahun 1984 menjadi 13% – 15% per tahun pada Agustus 1985 dan 14% - 24% per tahun pada BUSN menjadi 12.5% - 19% selama periode yang sama.

Terlepas dari upaya untuk menurunkan tingkat bunga dengan berbagai kebijakan seperti digambarkan di atas maka kondisi obyektif yang berlaku nampaknya belum memungkinkan untuk menekan tingkat bunga yang benar-benar realistis serta mampu dipikul oleh golongan atau sektor yang diprioritaskan pemerintah.

Faktor pengaruh tingkat bunga luar negeri, keterbukaan perekonomian Indonesia, pandangan yang kurang positif terhadap nilai rupiah serta kurang efisiennya pengelolaan bank didalam negeri telah menyebabkan tingginya biaya-biaya intermdiasi (intermediation call) yang kesemuanya berakibat sulitnya pembentukan tingkat bunga yang relatif rendah.

Suku bunga yang berlaku umum bagi penerima kredit baik prioritas maupun nonprioritas belum mungkin diberlakukan dewasa ini. Kekuatan dan kemampuan sektor-sektor yang diprioritaskan, terutama golongan ekonomi lemah dan koperasi belum sama dengan golongan-golongan/sektor-sektor lain yang termasuk kategori non prioritas. Kekuatan dan kemampuan mereka belum dapat disejajarkan, sehingga gagasan untuk memberi kemudahan seperti yang digariskan di dalam GBHN masih tetap perlu ditunjang.

Itu sebabnya walaupun kebijakan deregulasi sektor perbankan telah dua kali diadakan, yang terakhir dikeluarkan pada tanggal 27 oktober 1988, namun nampaknya kebijakan suku bunga prioritas masih tetap dilanjutkan. Dengan perkembangan yang telah dicapai selama serta adanya kemampuan yang lebih besar dari golongan masyarakat tertentu, maka dukungan suku bunga prioritas telah mengalami penyesuaian-penyesuaian.

Golongan yang semula memperoleh KIK ataupun KMKP yang dibebani bunga 10.5% - 12% telah ditingkatkan menjadi 12% - 15%. Demikian pula fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) mengalami peningkatan pula dari 5% – 9% per tahun menjadi lebih tinggi lagi, yang kesemuanya memberi arti bahwa kemampuan golongan masyarakat tersebut dianggap telah mulai meningkat, sehingga secara berangsur-angsur dukungan berupa subsidi bunga perlu dikurangi.

Pakto 27 nampaknya tidak ada perubahan yang berarti di bidang kebijakan suku bunga prioritas dan apa yang sudah digariskan di dalam paket 1 Juni 1983 masih tetap dilanjutkan. Hanya kemungkinan suku bunga kredit ekspor yang dinilai ada unsur subsidi sehingga dinilai menimbulkan persaingan tidak sehat di pasaran internasional (terutama di dalam rangka pelaksanaan GATT), maka terpaksa akan diadakan penyesuian di masa-masa yang akan datang.

Pakto 27 lebih banyak diarahkan kepada upaya-upaya untuk mempenharuhi tingkat bunga yang berlaku umum di pasaran dengan lebih mengefektifkan pemanfaatan instrumen pasar uang melalui fasilitas diskonto.

Dengan mempergunakan mekanisme tidak langsung diharapkan suku bunga umum yang berlaku di pasaran baik suku bunga simpanan maupun pinjaman dapat dipengaruhi dan pada gilirannya dapat memperkecil perbedaan antara suku bunga prioritas dengan suku bunga yang berlaku di pasaran. Kondisi yang demikian dapat diartikan pula memperkecil jumlah subsidi bunga yang dipermasalahkan dewasa ini.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa walaupun langkah deregulasi demi deregulasi terus dilakukan, namun sepanjang pemerintah masih mempunyai sasaran dan misi untuk menunjang golongan-golongan masyarakat lemah, koperasi maupun sektor-sektor yang diprioritaskan maka penetapan suku bunga prioritas masih terus dilakukan sebagai salah satu kebijakan moneter perbankan nasional.

03 Februari 2009

Alhamdulillah....

sekarang gua uda mulai kuliah nih....ngambil Magister Manajemen. Ternyata untuk belajar lagi itu susah ya..bikin kepala nyut-nyutan lagi...Tau begini gua harusnya kuliah lagi setelah lulus kuliah, tapi ada daya, dananya ora ono....

Sekarang gua harus bertekad menyelesaikan semua ini dalam waktu 1,5 tahun, ngga peduli apapun yang terjadi, pokoknya 1,5 tahun..meskipun kini dana simpanan gua terkuras tandas, bayangkan aja...dua bulan ini gua tidak saving sama sekali, malah defisit terus-menerus, aduh....yah pokoknya bulan depan uda mulai nabung lagi ya...secara cicilan hutang sudah mulai mengalir kembali....