06 Mei 2008

KENAPA DUIT BISA BERSINONIM DENGAN UANG?


Duit bagi masyarakat Indonesia merupakan padanan kata untuk istilah uang, tetapi tahukah anda dari mana masyarakat Indonesia memperoleh kosakata satu ini?
Kalau dilacak, istilah ini tampaknya bersumber dari yang kata Doit, yakni sebutan bagi uang receh kuno Eropa dari abad XIV. Doit pada awalnya dibuat dari bahan perak dengan nilai tukar=1/8 Stuiver. Kalau 1 Gulden pada abad XIV senilai 20 Stuiver, maka 1 Gulden senilai dengan 160 Doit. Doit menjadi satuan mata uang terkecil di negeri Belanda seperti halnya Penny di Inggris. Selanjutnya sejak tahun 1573 Doit dibuat dari bahan tembaga.


Doit masuk ke Kepulauan Nusantara sejak 1726. Semula Doit yang beredar di Nusantara kala itu ditempa dan harus didatangkan dari negeri Belanda, tetapi mengingat pengiriman dengan kapal yang sering mengalami hambatan karena berbagai hal, sedangkan kebutuhan akan uang kecil ini, khususnya untuk penggajian pegawai terus meningkat, maka pemerintah Belanda mengizinkan VOC untuk menempanya sendiri di Batavia dan Surabaya. Doit yang dibuat di Nusantara masa itu terdiri dari dua jenis, yaitu yang pertama terbuat dari bahan tembaga dengan ciri-ciri berbentuk bundar, berwarna coklat tanah, bertuliskan JAVA dan angka tahun pembuatan karena itu jenis ini acap disebut Javase Doit. Mata uang Doit jenis kedua terbuat dari bahan timah berkadar 100%, bentuknya bundar, memiliki berat 6,18 gram, pada sisi muka bagian atas ada inisial LN dan lambang VOC, sedangkan sisi belakangnya terdapat tulisan Arab Melayu berbunyi Duyit dan juga tahun pembuatannya. Doit jenis ini memang lebih sering disebut sebagai Duyit. Jenis ini mudah dipalsukan, juga sering menghilang dari peredaran karena timahnya dilebur orang ketika harga timah naik. Mata uang kecil bernama Doit dan Duyit ini lama-lama karena pelafalan lidah pribumi, maka populer di masyarakat Nusantara sebagai Duit.


Pada tahun 1854 pemerintah Hindia Belanda melakukan pembaharuan sistem mata uangnya, yang mana 1 Gulden sama dengan 100 Duit atau juga 100 Cents. Mengapa istilah Duit bisa menjadi padanan kata bagi istilah Uang tampaknya karena Duit adalah satuan terkecil, yang bisa dipastikan sangat diakrabi oleh kebanyakan penduduk Bumiputera Nusantara pada masa itu. Kesejahteraan penduduk Bumiputera pada masa kolonial sampai awal abad XX memang rendah sekali dibanding penduduk golongan Eropa, China dan Timur Asing lainnya. Ketika pada 1888 pendapatan per kapita per tahun orang Eropa mencapai 2100 Gulden dan orang Timur Asing berpendapatan 250 gulden, pendapatan per kapita per tahun penduduk Bumiputera hanyalah 63 Gulden atau 5,25 Gulden per bulannya. Mungkin karena begitu rendahnya pendapatan mereka kala itu, yang berarti lebih sering menerima Duit dibanding Gulden, maka istilah Duit pun menjadi sinonim bagi Uang akhirnya istilah ini pun menjadi akrab bagi anak cucunya yang kini telah menjadi warga negara Indonesia. (Tikcil)

ASAL KATA RUPIAH


Pernah menyempatkan diri mengamati lembaran atau kepingan Rupiah dalam kantong atau dompet anda? Pernah mencoba bertanya mengapa Indonesia memberi nama mata uangnya dengan sebutan Rupiah, dan bukan Dollar, Poundsterling, Yen atau Riyal?
Rupiah itu sendiri kalau ditelusur-telusur secara asal kata tampaknya berhubungan dengan sebuah kata dalam bahasa Sansekerta, rupya, yang artinya ‘perak tempa’. Karena itu, mungkin saja istilah Rupiah telah lama dipakai di kepulauan ini untuk menyebut jenis uang yang berbahan baku dari perak. Boleh dibilang, karena sama-sama bermuasal dari kata rupya, maka secara etimologis Rupiah berkerabat dekat dengan Rupee-nya orang India dan Pakistan.
VOC menjelang akhir abad XVIII menerbitkan sebuah mata uang bernama Gouden Javase Rupij. Mata uang yang ditempa dan diedarkan untuk pertama kalinya pada tahun 1783 ini kemudian lebih populer disebut sebagai Rupiah Jawa. Hal tersebut tampaknya berkaitan dengan masalah pelafalan Gouden Javase Rupij bagi lidah orang Jawa. Rupiah kuno ini ditempa VOC di Batavia dengan bahan baku dari emas, memiliki berat 16 gram dan berkadar emas 0,792. Bentuk fisik mata uang ini bundar, berwarna kuning emas dengan kepingannya bergambarkan lambang VOC dan tahun terbit di bagian bawahnya.
Pada tahun 1811 hingga 1816, Inggris menduduki sejumlah bagian Kepulauan Nusantara. Sebagai penguasa, mereka juga mengedarkan mata uang untuk menggantikan mata uang milik Belanda. Koin-koin yang dicetak dan diedarkan Inggris itu beberapa diantaranya bergambar bunga teratai di satu sisi dan di sisi lainnya bergambar ayam jago. Mata uang itu dikenal dengan sebutan Rupee Jawa.
Ketika Belanda kembali berkuasa di Nusantara dan kembali mengedarkan mata uang Gulden, Rupiah tidaklah menjadi hilang. Rupiah justru menjadi istilah populer di kalangan pribumi untuk menyebut pecahan-pecahan kecil yang beredar diantara mereka. Bahkan lama kelamaan secara de facto Rupiah menjadi sinonim bagi nama mata uang resmi Gulden.
Rupiah selanjutnya menjadi nama resmi mata uang yang berlaku di wilayah Nusantara ketika Jepang menduduki Kepulauan ini antara 1942-1945. Dalam rangka mendapatkan simpati dari rakyat Indonesia, maka Jepang mengganti penyebutan mata uang dari semula Gulden menjadi Roepiah. Begitu populernya istilah Rupiah sampai-sampai ketika NICA (Nederlands Indies Civil Administratie) mencoba mengedarkan uangnya paska Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, maka mereka terpaksa harus memakai dua penyebutan dalam satu mata uang, yaitu Gulden dan Rupiah.
Republik Indonesia sendiri memakai penyebutan Rupiah sebagai nama mata uangnya sejak 30 Oktober 1946, yakni ketika mengeluarkan Oeang Repubik Indonesia (ORI). Nilai tukar 1 Rupiah ORI adalah setara 50 Rupiah Jepang di Jawa dan senilai 100 Rupiah Jepang di Sumatera. Rupiah ORI pertama ini sebenarnya telah dicetak sejak 17 Oktober 1945 yang terdiri atas pecahan Rp 5,-; Rp 10,-; Rp 25,- dan Rp 100,-. Semua pecahan tersebut menggunakan gambar Presiden Soekarno

INDONESIA


Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa
Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa
Arab menyebut tanah air kita Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "Jawa" oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari
Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah "Hindia". Semenanjung Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang". Sedangkan tanah air memperoleh nama "Kepulauan Hindia" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau "Hindia Timur" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan
Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker (
1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.
Pada tahun
1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata "India". Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam
bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis "Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa" (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata
Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudra", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari
Sabang sampai Merauke.
Pada tahun
1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun
1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
"... the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (
Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah "Indian Archipelago" terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
"Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago".
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang
etnologi dan geografi.
Pada tahun
1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof
Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiƫr (orang Indonesia).
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun
1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,:
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di tanah air Dr.
Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus
1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama "Indonesia" diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Tetapi Belanda menolak mosi ini.
Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal
8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia Belanda". Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirlah Republik Indonesia.

PERANTAUAN MASYARAKAT MINANG DAN KAITANNYA DENGAN MASALAH KEWIRASWASTAAN


Beberapa Catatan
Dari semula sudah bisa diterka bahwa siapa pun akan cenderung untuk mengambil kesimpulan bahwa orang Minang suka merantau, dan karenanya memiliki sifat-sifat kewiraswastaan yang menonjol jika dibandingkan dengan suku-suku lainnya di Indonesia. Orang malah sering mengumpamakan mereka sebagai yahudinya Indonesia, atau lebih lebih populer lagi sebagai “Minang Kiau”, karena semangat dagangnya yang mengingatkan orang pada Cina perantauan dan karena kehadirannya di mana-mana. Kesimpulan ini walaupun ada benarnya, tapi memerlukan beberapa catatan yang mungkin akhirnya akan mempertanyakan sampai di mana kebenaran dan kesimpulan itu sendiri.
Dari segi jumlah saja, misalnya, jelas bahwa orang Jawa jauh lebih banyak ditemukan di luar Jawa daripada orang Minang di luar Sumatera Barat. Malah orang Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar nun di balik dunia sana, di Suriname, Curacao, juga di New Caledonia, Malaysia, dan Singapura. Orang Jawa dari segi jumlah adalah yang terbesar yang ditemukan di luar daerah budayanya (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Memang benar, karena besarnya jumlah keseluruhan orang Jawa itu sendiri, persentase migrasinya jadinya kecil jika dibandingkan dengan suku-suku lainnya yang persentase migrasinya tinggi tapi jumlahnya kecil.
Dari persentase itu sendiri, sensus 1930, yang secara terperinci memperhitungkan penyebaran penduduk menurut latarbelakang etnismya, membuktikan bahwa bukanlah orang Minang yang mempunyai tingkat migrasi tertinggi di Indonesia ini, tapi adalah orang......Bawean! terbukti bahwa lebih dari sepertiga (tepatnya: 35,9%) orang Bawean yang berasal dari sebuah pulau kecil di utara Surabaya pergi merantau dengan kemauan sendiri terutama ke Singapura dan Johor. Sebagian besar dari mereka ditemukan di sana sebagai supir dan pemelihara kuda pacu di samping juga pembantu rumah tangga, tukang kebun, dan sebagainya. Malah yang menarik dengan suku “Boyan” ini – begitu mereka dipanggil di sana – mereka membawa sistem commune mereka dengan tinggal berkelompok dalam dan sekitar “pondok” mereka.
Nomor dua adalah halak hita. Jadi orang Batak pun masih di tahun 1930 sudah ditemukan banyak di luar daerah budaya mereka, terutama di Sumatera Timur di daerah-daerah perkebunan dan di daerah pedesaaan Pasaman, Sumatera Barat. Persentase migrasi mereka: 14.3%. Kemudian nomor 3 adalah suku Banjar, dengan 14,2%. Orang Banjar banyak ditemukan di pantai timur Sumatera, terutama di daerah Riau dan Jambi, dan di pantai barat Semenanjung, terutama di Johor dan Selangor.
Nomor 4 baru orang Minang, dengan 11%, dan hanya terdahulu sekepala dari orang Bugis dengan 10,5% yang menempati tempat ke-lima. Orang Bugis yang terkenal dengan perahu Bugisnya telah sejak lama menjadikan perariran Selat Malaka sebagai tanah kedua mereka. Mereka ditemukan dalam jumlah besar di desa-desa pantai di pesisir timur Sumatera, terutama di daerah Riau dan Jambi, dan juga, seperti suku Banjar, di Johor, dan Selangor di Malaysia.
Lalu, masih dalam kelompok suku bangsa yang memiliki intensitas migrasi tinggi, termasuk suku Manado atau Minahasa (9,5%), Bengkulu (8,5%) dan Mandar (7%). Sedang suku-suku lainnya yang jumlahnya relatif lebih banyak termasuk kelompok sukubangsa yang memiliki intensitas migrasi rendah, artinya rata-rata di bawah 5%. Ke dalamnya termasuklah suku-suku Aceh, Melayu Pesisir, Palembang, Lampung, Sunda, Jawa, Makassar, Bali, Sasak, dan sebagainya.
Walaupun sensus sesudah kemerdekaan ini tidak lagi menanyakan mengenai latar belakang etnis dari penduduk, tapi dari data mengenai tempat kelahiran dan proyeksi penyebaran penduduk secara etnis dengan basis angka sensus 1930, dapat diperkirakan bahwa gambaran penyebaran penduduk menurut latar belakang etnis belum menemui perubahan yang berarti. Artinya bahwa tidak ada suku-suku yang semula berintensitas migrasi tinggi, dan sebaliknya. Namun dari antara suku-suku yang berintensitas migrasi tinggi terlihat lonjakan-lonjakan yang cukup berarti dari migrasi mereka, terutama seperti yang ditemui dengan suku-suku Batak, Minangkabau, Manado, dan Ambon. Soalnya karena migrasi mereka sekaligus berarti ke luar dari daerah budaya mereka, terutama ke kota-kota besar di Jawa dan kota-kota lainnya di luar Jawa. Sedang dengan suku-suku lainnya walaupun urbanisasi terjadi tapi merantau dalam arti migrasi “ke luar dari daerah budaya etnis bersangkutan” tidak atau sedikit terjadi.
Tingkat perantauan orang Minangkabau sejak kemerdekaan ini, terutama sejak 1950-an ke mari, memang nampak meningkat sekali. Malah diperkirakan adalah yang tertinggi dibandingkan dengan suku-suku lainnya. dari studi yang pernah dilakukan, diperkirakan bahwa tahun 1961 ada sekitar 32% dari orang Minang yang berada di luar daerah budaya mereka (Sumatera Barat), sedang tahun 1971 meningkat menjadi 44%. Ini artinya bahwa hampir separuh dari orang Minang ditemukan di luar Sumatera Barat tahun 1970-an ini.

Sebab-Sebab yang Mendorong Orang Minang Merantau
Ada banyak faktor yang diperkirakan telah turut mendorong orang Minang merantau. Ada yang fisikal, ada yang sosio-kultural. Yang fisikal seperti faktor ekologi, geografi, dan demografi, sedang yang sosio-kultural: desakan ekonomi, dorongan pendidikan, daya tarik kota-kota besar, gangguan keamanan dan pelembagaan sosial dari merantau itu sendiri.
Dengan ekologi kita maksudkan adalah kemampuan dayadukung dari alamnya. Dalam masyarakat agraris pedesaan yang bersifat mencukupkan kebutuhan sendiri seperti yang rata-rata masih dianut oleh masyarakat Minangkabau di daerahnya, di sana berlaku hukum keseimbangan (equilibrium). Artinya, orang akan cenderung untuk merantau jika dayadukung dari alamnya terhadap penduduk yang makin bertambah telah menurun dan melampaui garis keseimbangan itu. Seolah-olah hendak dikatakan, “biarlah yang telah kurang ini tidak diusaki lagi, biarlah saya yang membuang diri ke rantau.” Di daerah-daerah yang relatif padat, seperti di lingkaran tengah: di dataran tinggi Agam, Tanah Datar, Solok bagian Utara, dan di daerah-daerah yang relatif jarang penduduknya dan daya dukung alam masih luas terbuka, seperti di lingkaran luar, tingkat migrasinya rendah.
Kita mengharapkan tentunya bahwa hukum keseimbangan antara kemampuan daya dukung alam dengan kepadatan penduduk ini akan juga berlaku di mana-mana. Tapi nyatanya tidak. Tekanan ekologi ini sebenarnya lebih berat dirasakan di Jawa dan Bali, tapi tingkat migrasinya justru rendah. Bukti bahwa ada faktor atau faktor-faktor lain yang merem terjadinya migrasi bagi suku Sunda, Jawa, dan Bali.
Dengan geografi kita maksudkan jarak jangkau ke pusat-pusat kegiatan politik dan ekonomi (dan juga sosial budaya), dengan asumsi bahwa masyarakat-masyarakat yang jauh jaraknya dari pusat-pusat kegiatan itu akan tinggi tingkat migrasinya, sedang sebaliknya, masyarakat-masyarakat yang dekat jaraknya ke pusat-pusat kegiatan akan rendah tingkat migrasinya. Pusat-pusat kegiatan politik, ekonomi dan sosial-budaya tersebut dalam konteks nusantara kita sejak dahulu sampai sekarang kebetulan bersentra di Laut Jawa dan Selat Malaka, dengan poros: Jakarta-Singapura.
Dengan memakaikan parameter ini kita lalu akan melihat bahwa bukan saja suku Minang yang memang jauh letak daerahnya dari pusat-pusat kegiatan politik dan ekonomi itu, yang karenanya lalu memiliki tingkat migrasi yang tinggi, tapi juga suku-suku Batak, Banjar, Bugis, Menado, dan Ambon, yang memiliki tekanan geografis serupa. Sedang sebaliknya suku-suku Sunda, Jawa, Melayu, dan sebagainya, yang memang dekat jaraknya ke pusat-pusat kegiatan politik dan ekonomi, rendah tingkat migrasinya.
Logikanya agak mudah diikuti. Orang Sunda, Jawa, Melayu, dan sebagainya itu rendah tingkat migrasinya karena mereka tidak merasa perlu lagi bermigrasi. Sebab untuk apa bermigrasi jika semua kegiatan yang dicari itu ada di hadapan rumah sendiri. Ini kiranya antara lain yang menjawab keengganan orang Jawa untuk bertransmigrasi ke luar Jawa, dan ini pula yang menjawab kenapa banyak orang-orang dari luar Jawa yang justru berpusu-pusu datang ke Jawa. Orang-orang Minang, Batak, Menado, Ambon, dan lain-lainnya itu, terpaksa pergi merantau karena memang selama ini kegiatan-kegiatan yang dicari itu tidak ada di kampung sendiri, dan adanya di rantau orang, terutama di Jawa. Andaikata situasinya dibalik, yaitu pusat-pusat kegiatan itu ada di pantai barat Sumatera, agaknya bukan orang Minang dan Batak yang akan merantau ke Jawa, tapi justru orang Jawalah yang akan merantau ke Sumatera. Sambil lalu hal ini juga memberi petunjuk kepada kita betapa konsep penyebaran pusat-pusat kegiatan (growth centers) dapat dijadikan sebagai alat yang ampuh bagi kebijaksanaan penyebaran penduduk dalam masa pembangunan sekarang.
Dengan faktor demografi adalah tekanan kepadatan penduduk itu sendiri, dalam arti, daerah-daerah yang padat penduduknya tinggi tingkat migrasinya, sedang daerah-daerah yang jarang penduduknya rendah tingkat migrasinya. Sedang dengan tekanan ekonomi; daerah-daerah yang tinggi tekanan ekonominya tinggi pula tingkat migrasinya, dan begitu sebaliknya.
Postulat-postulat yang kelihatannya logis dan sederhana ini bisa menjadi tidak logis dan tidak sederhana jika faktor geografi sifatnya menguntungkan. Jadi betapapun akutnya tekanan ekologi, demografi, dan ekonomi, seperti yang dialami oleh masyarakat Sunda dan Jawa, jika tekanan geografinya rendah, maka tingkat migrasi akan rendah. Jelas terlihat bahwa dalam hal daya tarik bermigrasi, faktor geografi sifatnya bisa lebih menentukan dari yang lain-lainnya.
Dengan pendidikan dan daya tarik kota-kota besar sifanya adalah sejalan. Pusat-pusat pendidikan selamanya adalah di kota. Masyarakat-masyarakat yang tinggi minatnya terhadap pendidikan selamanya adalah di kota. Masyarakat-masyarakat yang tinggi minatnya terhadap pendidikan, seperti halnya pada suku Minang, Batak, dan Menado, tinggi pulalah keinginannya hendak merantau ke kota-kota, terutama kota-kota besar. Alapagi bagi golongan terpelajar memang ruang kegiatan mereka di kota-kota itulah. Sebagai yang disinggung di muka, kebetulan bagi masyarakat-masyarakat ini pindah ke kota untuk bersekolah, mencari penghidupan, dan sebagainya, tidak hanya berarti berpindah ke kota-kota dalam daerah budayanya sendiri, tapi keluat, terutama ke Jawa.
Dengan gangguan keamanan, sifatanya biasanya tidak terus-menerus terjadi (non-recurent). Tapi sekali terjadi, seperti halnya dengan peristiwa pergolakan daerah (PRRI dan Permesta) di akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, efeknya bisa besar sekali terhadp migrasi ribuan bahkan puluhan ribu dari Sumatera Barat saja pergi mencari tempat selamat selama tahun-tahun tersebut ke kota-kota di luar Sumatera Barat, terutama ke Jawa. Katanya, “jika takut pada bedil, lari ke pangkalnya”. Dorongan-dorongan dari faktor-faktor tadi yang kebetulan secara bersama-sama berperan secara intens sekali sejak 1950-an kemari, kiranya telah menjawab kenapa tingkat migrasi bagi suku Minang sejak kemerdekaan ini begitu naik melonjak, walaupun seperti terlihat, tingkat migrasinya hanya yang keempat di waktu sebelum perang.
Faktor yang tidak kurang pentingnya yang telah mendorong masyarakat Minang untuk merantau adalah faktor pelembagaan sosial dari merantau itu sendiri. Hal ini yang tidak ditemui pada suku-suku lainnya, dan hal ini pula yang sedikit banyak juga menumbuhkan sifat-sifat kewiraswastaan dari suku perantau ini.

Merantau Sebagai Proses Pendewasaaan
Laki-laki Minang, karena sistem kekerabatan nya yang matrilineal, memiliki dua rumah. Satu rumah ibu, dan satu rumah istri. Di rumah ibu dia menjadi mamak dan di rumah istri menjadi orang samando. Yang ada pada kedua-dua rumah itu adalah tugas semata. Di rumah ibunya dia hanya boleh “menambah”, tidak boleh “mengurangi”. Begitu juga di rumah istrinya. Di rumah ibunya dia berfungsi melindungi harta kaum, sedang di rumah istrinya di samping kewajiban mengembangkan keturunan (prokreasi) juga memelihara dan memberi nafkah anak istri. Untuk tugas-tugas berat ini laki-laki Minang seolah-olah telah dipersiapkan sejak dari kecil untuk mengembang kedua pihak keluarga ini. Waktu kecil tidur sekamar dengan ibu. Besar sedikit tidur sekamar dengan ibu. Besar sedikit tidur di luar di ruang tengah bersama dengan anak-anak lainnya. Sampai umurnya untuk mengaji ke suaru mulai belajar tidur di surau. Dan kalau sudah akil tidak boleh tidur di rumah lagi. Malu jika di rumah, sedang para samando tidur berssama dengan kakak, ibu, bibi, dan sebagainya, di kamar masing-masing. Di rumah tidak ada bilik yang disediakan untuk anak laki-laki, karena kamar-kamaar hanya dibuatkan untuk anak-anak perempuan, penerima suaminya di kemudian hari.
Tidur di surau juga berarti matang dengan pengajaran. Anak-anak muda didorong untuk kuat beribadat, giat bermasyarakat, tekun belajar dan menuntut ilmu, pandai mencari, belajar ilmu silat serta terampil dalam mengurus diri sendiri. Memasak, mencuci, menjahit, serba sedikit harus bisa. Anak muda yang lamban, lembek, keperempuan-perempuanam, lekat di rumah, manja, cengeng, pengadu, tidak disukai. Mereka dijadikan bahan ejekan. Sebaliknya anak muda yang tangkas, gesit, tidak senang diam, ringan tangan, suka membantu, pandai bermasyarakat, hormat, hemat, sopan-santun, manis tutur bahasa, jujur, siak (alim), disenangi dam dijadikan bahan pujian.
Selagi di rumah, anak-anak muda didorong untuk rajin ke sawah, ke ladang, belajar menggalas, berusaha apa saja yang mendatangkan hasil, belajar hidup frugal, dan banyak berjalan. Sekali-kali disuruh atau diajak melihat mamak, kakak, atau siapa saja, di rantau, supaya terbuka pikiran dan berjalan akal dengan melihat negeri orang. Di rumah, di lepau, dan di manapun, dia tentu akan mendengarkan kisah-kisah kehebatan di rantau. Kisah petualangan, suka-duka di rantau, hal-hal yang aneh, yang ganjil, yang tidak sama, dan yang menarik di rantau.
Jalan ke rantau karenanya dibukakan. Anak-anak muda yang telah cukup akal dan telah pula matang dengan pengajaran, malah didorong untuk merantau, karena di rumah katanya berguna belum. Makanya tersebutlah pantun:
Karatau madang di hulu
Berbuah berbunga belum
Merantau bujang dahulu
Di rumah berguna belum
Taruhan di rumah sementara itu dinaikkan. Anak-anak muda yang lekat di kampung dan tidak pernah merantau murah harganya. Orang enggan meminang karena pikirannya dianggap suntuk, akalnya tidak jalan, keberanian kurang, dan dikatakan sebagai “belum lepas dari bedungan”. Sebaliknya anak-anak muda yang berani menginjakkan kaki ke rantau dan mengadu nasib di rantau adalah bukti kelaki-lakian, bukti bahwa dia mampu berdiri di kaki sendiri dan berani jadi orang.
Merantau oleh karena itu adalah rite de passage. Merantau dijadikan taruhan untuk bisa dianggap jadi orang dan untuk mendapatkan tempat yang lebih baik di rumah ibu dan di rumah istri nanti. Sukses di rantau oleh karena itu menjadi penting sekali untuk merebut taruhan ini.
Karena merantau adalah gerbang inisiasi yang harus dilalui untuk jadi orang, dan dilakukan waktu berumur muda, rata-rata mereka pergi merantau dengan modal dengkul. Bekal yang dibawa cukup hanya untuk “pelepas sesak”, atau sekedar cukup untuk memulai dari bawah. Modal yang paling berharga hanyalah berupa nasehat-nasehat dan pesan ibu, di samping didikan yang diterima di surau sebelumnya. Antaranya, berupa pantun:
Kalau jadi nak ke lepau
Hiu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau jadi nak merantau
Ibu cari dunsanak dari
Induk semang cari dahulu

Merantau oleh karena itu lebih dilihat sebagai proses pendewasaan. Yang dihadang adalah kehidupan yang lebih baik di kampung. Segala kesusahan dan sakit-senang di rantau ditanggungkan justru untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik di kampung: to make the former home a better place to return, dengan meminjam istilah Mabogunje. Dari uraian tadi terlihat bahwa merantau bagi orang Minang tidaklah sama dengan migrasi, sekurangnya dalam konteks sosial-budayanya. Merantau adalah satu kebutuhan yang dikaitkan dengan kebutuhan sosialnya. Oleh karena itu rantau, sebagai diungkapkan oleh Taufik Abdullah, haruslah dilihat sebagai eksistensi, dan malah sebagai bagian yang integral, dari “alam”. Alam orang Minangkabau kalau dibalun sebalun kuku, kalau dikembang selebar alam. Dalam pengertian yang relavistis ini alamnya bertingkat-tingkat, dari lingkaran kecil di kampung ke lingkungan besar di rantau, sampai kepada alam di luarnya. Kaitannya dilihat sebagai saling isi-mengisi, butuh-membutuhkan.
Rantau diperlukan justru untuk memperkuat yang di dalam, baik dalam arti ekonomi, sebagai lapangan usaha untuk mencari rezeki, maupun dalam arti ekonomi, sebagai dalam arti rohaniah, mengisi ilmu dan kepandaian. Sedang sebaliknya yang di dalam pun akan memberi kekuatan ke luar. Biasanya berupa hikmah hidup karena berguru kepada alam. Adat (yang bersandar kepada filsafat alam), Islam dan pengaruh modernisme barat yang masuk ke Minangkabau oleh karena itu bisa saling topang-menopang, kuat menguatkan, berjalin berkelindan. Dan bagai air, santan dan tengguli. Hikmah inilah yang biasa dibawakan oleh anak Minang ke dunia luar dalam pergaulan di rantau. Dia merasa terpanggil untuk membawakan pesan ini. Mencari orang Minang di rantau, oleh karena itu, kalau bukan di pasar, lalu di surau (mesjid), di pengajian, di tempat-tempat pertemuan dan di organisasi-organisasi. Naluri sosial-kemasyarakatannya telah terlatih sejak dari waktu kecil di buang di surau dahulu.



Kaitan Merantau dengan Kewiraswastaan
Kaitan yang erat antara kampung dan rantau dalam konteks merantau ini kiranya dapat dilihat sebagai mendasari sifat-sifat kewiraswastaan yang dimiliki oleh orang Minang di rantau. Polanya lebih terlihat sebagai pola lingkaran yang ujung dan pangkalnya selalu bermula dan berakhir di kampung.
Orang Minang, katakanlah, termasuk yang gesit dan giat berusaha di rantau. Mana yang kurang pendidikan formalnya – karenanya pintu jadi pegawai tertutup baginya – tak segan-segan kalau harus bermula dari bawah betul, kalau perlu berjemur di panas di siang hari di sepanjang kaki-lima, atau berembun berdingin-dingin di malam hari, menghadapi jualan yang kalau dihitung modalnya bisa sangat kecil sekali. Dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, bahkan kadang-kadang dari tahun ke tahun, dia harus berhemat berdikit-dikit agar pokoknya bertambah, jualannya naik. Untuk itu dia tidak segan-segan menghabiskaan sebagian besar dari waktu bangunnya untuk bekerja berniaga. Dia bersedia tinggal menumpang, makan nasi remas atau rantang, dan hidup sangat sederhana sekali. Keuletan mereka dalam memulai dari bawah ini tanpa harus merasa malu samalah dengan Hoa Kiau. Tapi begitu galas menanjak, perbedaan antara Hoa Kiau dan “Minang Kiau” terlihat sekali. Hoa Kiau akan terus berusaha dengan tekun untuk mempergemuk modal dan memperbesar dagangannya. Stamina dan semangat juangnya tetap tinggi, tak pernah mengendor. Hoa Kiau biasanya hanya mengenal libur 1 atau 2 hari dalam setahun, yaitu waktu tahun barunya. Bekerja 7 hari seminggu dan 15-18 jam sehari. Belum lagi orang Islam dibangunkan oleh adzan subuh, Hoa Kiau sudah sibuk di dapur menyiapkan segala sesuatunya. Mereka baru akan berhenti kalau sudah akan tidur pula nanti.
Orang Minang sebaliknya mulai memikir kesenangan. Dan yang pertama sekali dipikirkannya adalah bagaimana membantu kampung. Janji kepada Ibu, adik, saudara, teringat. Yang di kampungpun, mendengar anak atau abang mulai mendapat, mulai bertanya-tanya kalau ada berlebih yang akan di makan. Sementara itu orang di rumah mulai memasang kuda-kuda hendak mencarikan jodohnya. Karena biasanya pihak yang perempuan yang lebih aktif, nilai seorang perjaka di rantau sering diukur dari banyaknya dia berkirim pulang. Makin banyak dan makin sering, makin harum namanya, dan makin laris. Tanda bahwa dia sukses di rantau. Tapi kiriman juga berfungsi sebagai pancingan.
Biasanya dengan perkawinan pokok termakan, karena untuk itu rata-rata harus pulang kampung. Dunianya adalah memperlagakan yang dihasilkan di rantau. Kembali ke rantau sering berarti harus memulai dari bawah kembali. Sebelum kawin yang dipikirkan hanya ibu, adik-adik dan kemenakan-kemenakan. Sesudah kawin: istri dan anak-anak. Pergulatan di rantau dari tahun ke tahun sesudah itu tetaplah mengikuti lingkaran yang tak berujung-pangkal tadi, yang istilahnya seperti menghasta kain sarung. Soalnya karena obligasi sosial bagi laki-laki Minang terlalu besar. Kalau yang semula hanya ibu, adik-adik dan kemenakan-kemenakan, sekarang juga anak dan istri. Malah sekali-sekali juga kampung. Kegiatan apa saja yang dilakukan di kampung mesti dilewatkan ke rantau, karena sumber dana justru adalah di rantau. Aib dan juga malu kepada diri jika tidak ikut membantu kampung. Di rantau sendiri galibnya juga ada organisasi sekampung, baik berupa arisan, pengajian, atau kongsi kematian, yang semuanya juga berarti kewajiban. Bagaimana dunia mikro di kampung, begitu pula replikanya di rantau. Mengisi adat di rantau malah sering bisa berlebihan dari di kampung sendiri; terlihat misalnya dengan pesta-pesta perkawinan yang mereka adakan yang sering lebih berdunia dari di kampung. Akibat dari kewajiban sosial yang berat dan berlebihan ini pemupukan modal susah terjadi. Observasi berikut dari Siegel mengenai perantau Minang di Aceh adalah ilustrasi yang tepat dalam menggambarkan situasi tersebut:
They (the Achenese) ridicule the Minangkabau for sending money back to their villages when they would use it for trade. “The Minangkabau said one trader,” are out model (old fashioned). They send money home instead of keeping it for business.
Observasi dari penulis sendiri di berbagai rantau juga memperkuat kenyataan ini. Dari catatan lapangan penulis:”seorang pedagang kaki-lima asal Minang di Arab Street, Singapura, menghadapi jualannya berupa songkok (kopiah beludru), yang kalau dijumlahkan semuanya harganya beberapa puluhan dolar saja. Waktu ditanya apakah pernah pulang, dijawab, sering, bahkan terakhir membawa istri muda dari kampung, karena istri sebelumnya telah duluan meninggal. Ditanya apakah sering berkirim pulang, dijawab, sering. Pulang kemarin ini sempat menyelesaikan rumah baru untuk anak perempuannya di kampung, dan pulang sebelumnya membelikan sebidang sawah untuk saudara perempuannya. Tapi dia sendiri di rantau dalam umur yang telah menginjak tua masih tetap di kaki-lima dan menghadapi galas yang serupa yang bahkan menurut pengakuannya sendiri menurun dengan menurunnya umur dan kekuatannya.
Mengisi kewajiban sosial ini bukan tidak mempunyai logika tersendiri, terutama bagi wiraswastawan yang mengerti betul bahwa hari tuanyaakan banyak tergantung dari kehidupannya di kampung nanti. Berbeda dengan pegawai negeri yang mengandalkan pada uang pensiun di hari tua, dan karena profesinya lebih memungkinkan dia untuk tetap tinggal di kota rantau, para pedagang harus memikirkan hari tuanya justru di waktu dagang sedang naik, sebab dia tahu pasti, kalau hari sudah berambang petang, tenaga sudah menurun, dagangpun juga akan menurun. Di waktu sedang naik itulah dia memikirkan membantu sanak keluarganya atau membikin rumah baru anak-istrinya untuk nanti bisa bersenang-senang. Sebab kalau ini tidak dilakukannya, di hari tuanya kehidupannya akan lebih dingin karena di masa jayanya dia tidak sempat melakukan social investment.
Di desa-desa di Sumatera Barat yang kebanyakan para perantaunya adalah para pedagang, jelas terlihat hasil rantau ini yang antara lain berupa rumah-rumah baru yang tidak jarang lebih berupa rumah gedung seperti di kota. Sedang di desa-desa yang kebanyakan para perantaunya adalah para pegawai – seperti desa kota Gedang misalnya – tidak terlihat rumah-rumah baru hasil keringat rantau, karena mereka rata-rata memilih untuk menetap tinggal di kota perantauannya dan menghabiskan hari tuanyadi rantau. Mereka yang sudah terlanjur “intelek” ini memang tidak betah dan tidak mungkin hidup di desa dengan alam desa.
Jadi sebagaimana merantau berfungsi sosial, kewiraswastaannyapun berfungsi sosial. Malah pertimbangan sosialnya sering mengalahkan pertimbangan ekonominya. Hanya orang-orang Minang yang kuat hatinya hendak menyalahi kewajiban sosial inilah yang bisa berkembang di rantau, dalam arti pandai dia menjaga bahwa pengisian kewajiban sosial tidak sampai menghambat kepada pemupukan modal, dan pandai pula dia menahan diri bahwa pulang kampung tidak sesering yang dia inginkan. Ini yang sekarang telah mulai kita lihat dengan pedagang-pedagang yang telah agak baik kedudukannya, yang telah pindah dari selama ini berjualan di kaki-lima, sekarang telah bertoko atau mengambil petak sendiri. Tapi jumlahnya diperkirakan masih sedikit. Dan mereka sendiri harus terus berjuang untuk menghadapi tugas-tugas sosial ini yang kadang-kadang makin berhasil seseorang malah makin besar pula beban sosialnya. Kalau yang selama ini hanya anak-kemenakan kandungnya yang merengek kepadanya, sekarang anak-kemenakan sepesukuan atau orang sekampungnyapun telah mengakui dia sebagai mamak atau saudara mereka pula.
Perbedaan pokok dari kewirasawastaan Minangkabau, jika dibandingkan dengan Hoa Kiau, oleh karena itu, adalah pada orientasinya. Jika pada Hoa Kiau orientasinya adalah pada tujuan ekonomi ekonomi semata, pada orang Minang orientasinya pada tujuan ekonomi yang bermotifkan pemenuhan kewajiban-kewajiban sosial. Hal ini juga berkaitan dengan corak perantauan dari kedua suku bangsa itu: jika pada Hoa Kiau merantaunya adalah merantau habis tanpa melihat ke belakang lagi, pada orang Minang merantaunya bersifat sementara dan selalu berorientasi ke belakang (sehingga terkenal, orang Minang yang tidak lagi memikir kampung dan tidak pula berniat hendak pulang-pulang lagi dikatakan sebagai “merantau Cina”). Karena perbedaan orientasi ini, Hoa Kiau selalu berusaha mensukseskan usahanya dimana dia berada, yang jika perlu di hari tuanya dilanjutkan oleh anak-cucunya, orang Minang tetap terombang-ambing antara dua dunia: dunia rantau dimana dia berusaha mencari rejeki, dan dunia kampung dimana dia mengisi adat dan memenuhi kewajiban sosialnya. Sebagaimana dia diombang-ambingkan oleh dua dunia: dunia rantau dan dunia kampung. Masalah jadinya, bukan hanya sekedar beban sosial, tapi lebih-lebih lagi beban psikologis, memikirkan semua-semua itu, sehingga bagi yang tak sanggup melaksanakannya, atau dia bersikap masa bodoh saja, atau memakan dirinya sendiri yang sering timbul berupa penyakit schizophrenik yang secara psikosomatik malah telah diberi nama dengan “padangitis”.
Karena perhatiannya yang selalu terbagi-bagi itu, orang Minang selalu hidup dalam keresahan, yang dalam dunia kewiraswastaan tercermin pada sifat tidak mau bertahan pada macam-macam. Belum lagi yang satu duduk betul, yang lain telah hendak dikacak pula. Sifat spekulasinya oleh karena itu bisa tinggi sekali. Apalagi karena latarbelakang kebudayaan oral mereka, mereka berlebih dalam hal kepandaian berbicara dan pandai meyakinkan orang. Orang Minang bisa menonjol di masa keadaan tidak normal, seperti di zaman catut dan spekulasi di tahun-tahun 1950-an. Tapi dalam keadaan biasa di mana usaha kewiraswastaan lebih harus diandalkan pada ketekunan, ketabahan, kecermatan, dan keuletan dalam mempertahankan dan memupuk yang ada, yang ditekankan justru bukan segi spekulasinya, tapi segi perhitungan yang cermat dengan ladenan yang baik dan memuaskan. Orang Minang dalam hal ini barangkali masih harus belajar banyak, dan mereka harus berjuang mengatasi hambatan sosial-budaya mereka sendiri. Orang Minang cenderung untuk lebih menekankan pada hasil besar yang dapat diraih ini, daripada menjaga relasi yang buahnya barangkali baru bisa dinikmati di hari esok.
Ada istilah yang khas Minang yang menggambarkan watak licik dalam berdagang, yaitu galir. Galir di samping berarti licik, pintar, juga berarti lebih berorientasi kepada diri dan kepada keuntungan diri-sendiri. Sifat galir inilah yang menyukarkan orang Minang untuk bisa berkongsi dalam berusaha, karena akibatnya kurang rasa percaya mempercayai. Kongsi dalam berusaha biasanya tidak berusia lama, oleh karena itu yang disukai adalah usaha perseorangan dengan penguasaan penuh dari yang bersangkutan. Usaha yang ditinggalkan akan menjadi rebutan antara anak dan kemenakan karena kedua belah pihak merasa saling berhak.
Matinya usaha juga tidak bisa dihindarkan, karena selagi hayat di pengusaha juga biasanya tidak menurunkan kepandaian itu kepada anak-anak atau kemenakan-kemenakannya. Ada beberapa sikap yang diperlihatkan. Pertama, berbeda dengan didikan Tionghoa yang menurunkan kepandaian berusaha itu kepada anak-anaknya melalui latihan-latihan yang diberikan sejak dari kecil (baik karena ikut menolong-nolong di kedai, di toko, di tempat usaha, yang biasanya satu dengan tempat kediaman, maupun sebagai aprentis dan partner kemudiannya), pedagang dan pengusaha Minang tidak memperlihatkan keinginan yang sama terhadap anak-anaknya. Anak-anak mereka biasanya lebih mereka sukai untuk memasuki sekolah dan hidup sebagai priyayi daripada mengulangi atau meneruskan profesi yang sama dengan mereka. Karena mereka rata-rata memulai dari bawah secara bersakit-sakit, mereka tidak ingin kalau anak-anak mereka juga akan berpayah-payah seperti itu. Juga, karena ada semacam anggapan bahwa berdagang dan berusaha itu tidaklah sebaik jika jadi ambtenar, pegawai makan gaji, berpangkat tinggi, jadi tuan dan hidup senang. Kehidupan “tuanku” (priyayi), apalagi berlebih setelah masa merdeka ini, lebih dilihat sebagai norma ideal yang harus dimiliki oleh anak-anak mereka, yang kalau tidak karena darah bisa dikejar dengan uang. Oleh karena itu, keahlian berdagang dan berusaha tidak dipusakakan kepada anak-anak mereka. Berdagang atau berusaha seolah-olah hanya bagus untuk orang-orang yang tidak berpendidikan cukup sebagai mereka.
Kedua, akibat dari kehidupan yang terbelah antara dua kepentingan: kepentingan untuk ibu (kemenakan), di satu pihak, dan kepentingan untuk istri (anak), di pihak lain, jalan ke luar yang bisa diambil adalah justru dengan tidak melibatkan kedua-duanya. Dengan demikian konflik ke dalam antar-keluarga, sebagai akibat dari sistem kekerabatan yang dualistis tersebut, dapat dikurangi, walaupun tidak mungkin dihindarkan sama sekali. Sistem kekerabatan yang dualistis (bukan bilateral) seperti yang berlaku di Minangkabau adalah sumber dari bermacam konflik yang sifatnya bulit in, yang efeknya juga terlihat dalam kita membicarakan segi kewiraswastaan ini.
Karena itu pula tradisi kewiraswastaan di Minangkabau tidak berjawat secara turun-temurun. Dari segi pandangan ini dapat pulalah dimengerti kenapa yang berkembang di antara orang Minangkabau hanya kebolehan dalam berdagang, tapi tidak dalam berusaha dalam arti produktif (seperti usaha pabrik, kerajinan, buat-membuat, dan sebagainya). Jiwa yang resah dan terbelah dari orang Minangkabau tidak memungkinkan untuk memasuki usaha berlama-lama semacam itu, karena hal demikian memerlukan ketekunan, bukan hanya kelincahan, keberanian berspekulasi dan kegaliran semata. Juga dari tradisi merantau seperti yang telah kita analisa di muka, tidak mungkin diharapkan bahwa orang Minang akan memasuki dunia usaha (di luar perdagangan) yang berlama-lama, selama corak perantauannya masih berorientasi ke kampung, dan merantau sekedar untuk memenuhi tuntutan adat dan tradisi.
Dengan sistem pendidikan yang berkembang di Sumatera Barat sekarang ini, secara sosiologis kita tidak melihat bahwa akan tumbuh pengusaha-pengusaha berbakat dari anak-anak didik kita berikan kepada mereka sekarang ini tidak memberi tanah subur untuk berkembang ke arah itu. Didikan kewiraswastaan seperti yang diangankan oleh Engku Syafei dan Engku S.M. Latif hanya tumbuh di kayu tanam, tapi juga tersekat di situ, karena tidak berkembang ke daerah-daerah lainnya.
Selama ini, jika ada orang-orang Minang yang sukses dalam berusaha di rantau, hal itu harus dilihat sebagai kekecualian, yang tumbuh dari karena kekerasan hati. Sebagian besar dari mereka hanya tinggal di bawah-bawah, mengikuti irama lingkaran dari kehidupan merantau yang orientasi ekonominya lebih bermotifkan upaya untuk memenuhi tuntutan-tuntutan sosial.