04 Februari 2009

SUKU BUNGA PRIORITAS DALAM ERA DEREGULASI
(Riyanto, Suara Karya 23 November 1988)
Dewasa ini dikenal dua kelompok suku bunga yang masing-masing terbentuk atau ditetapkan dengan latar belakang dan alasan yang berbeda. Agak berbeda dengan keadaan sebelum deregulasi Juni 1983, yang penetapan suku bunga dilakukan sedemikian rupa, sehingga sebagian besar kegiatan ekonomi yang masih dipandang perlu didukung dan berkaitan dengan hajat hidup orang banyak mendapat bantuan fasilitas kredit bank yang diatur dan ditunjang oleh bank sentral.

Pengaturan suku bunga dan bahkan besarnya jumlah kredit ditetapkan oleh Bank Sentral berdasarkan urutan prioritas yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah. Karenanya dapat dimengerti mengapa selama periode tersebut perbankan nasional terlebih-lebih bank pemerintah kurang leluasa untuk menetapkan sendiri tingkat bunga yang dikehendaki. Pengaturan secara sentral ini berkaitan pula dengan banyaknya bantuan kredit likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank pelaksana yang menyalurkannya kepada sektor, golongan, maupun kegiatan ekonomi yang dikategorikan prioritas.

Perbankan mengemban misi untuk menunjang proyek-proyek pembangunan yang ditetapkan Pemerintah. Kelompok ataupun kegiatan yang berpredikat prioritas ini dipandang masih memerlukan uluran tangan, dukungan maupun fasilitas di bidang kemudahan usaha perpajakan, perlindungan terhadap kompetisis serta bantuan kredit bank dengan fasilitas lunak sehingga dapat meningkatkan kemampuan mereka. Salah satu sasaran yang ingin dicapai dengan kebijakan Trilogi Pembangunan ialah pemerataan yang dilaksanakan melalui mekanisme penetapan sektor prioritas tersebut.

Karenanya bisa dipahami mengapa sebelum adanya kebijakan 1 Juni 1983 terdapat demikian banyak sektor prioritas yang mendapat dukungan bank sentral dengan berbagai fasilitas lunak baik suku bunga maupun jumlah kredit yang diberikan. Penggolongan kegiatan/sektor ekonomi yang dianggap prioritas dan mendapat perlakuan khusus dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Pinjaman investasi baik berskala besar untuk berbagai proyek/sektor industri perhubungan, pariwisata, pertanian, perkebunan, pencetakan, sawah dan lain sebagainya maupun yang berskala kecil seperti kredit mini, midi, maupun kredit-kredit kepada koperasi anggotanya.
Kredit khsusu untuk usaha-usahawan kecil dalam bentuk KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen) dengan pinjaman maksimal tidak lebih dari Rp. 15 juta dengan harapan usahawan-usahawan ini mampu berkembang maju.
Pinjaman modal kerja baik berskala kecil maupun besar untuk berbagai sektor prioritas seperti:
- Pengadaan dan penyaluran pangan (beras, padi, jagung, garam rakyat0 oleh BUUD dan KUD
- Program Bimas dan Inmas pertanian rakyat, peternakan, dan perikanan rakyat.
- Fasilitas kredit ekspor dan produksi ekspor.
- Peternakan, perikanan, pengumpulan dan penyaluran hasil pertanian yang dilakukan oleh BUUD/KUD dan koperasi.
- Fasilitas kredit untuk sektor industri dan jasa-jasa seperti gula, minyak goreng, tekstil, kertas, semen, angkutan umum, konstruksi serta impor dan lain sebagainya.
Kredit priorotas lainnya seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) dan kredit untuk mendirikan asrama mahasiswa.

Dengan berbagai kemudahan seperti digambarkan di atas maka pemerintah melalui kebijakan di bidang perbankan akan berusaha mendorong sektor-sektor yang diprioritaskan untuk maju dan berkembang ke arah yang lebih baik. Mekanisme melalui sektor perbankan dimaksudkan agar golongan kelompok maupun sektor-sektor yang dikategorikan prioritas tersebut tidak menganggap bahwa bantuan tersebut sebagai sesuatu yang tidak perlu dibayar kembali. Di lain pihak dimaksudkan pula agar ada unsur mendidik dan sikap tanggung jawab yang lebih nyata dari para penerima kredit.

Pemberian fasilitas tersebut nampaknya masih terus dilakukan sebagai bagian dari kebijakan dan strategi pemerintah untuk mencapai sasaran penerimaan maupun pertumbuhan. Itu sebabnya mengapa didalam GBHN 1988 bab IX huruf C bidang ekonomi terdapat petunjuk-petunjuk penting yang perlu diperhatikan oleh perbankan antara lain sebagai berikut:
Kebijakan perdagangan yang mendorong dan membantu koperasi serta pengusaha golongan ekonomi lemah perlu dilanjutka dan disempurnakan antara lain dengan memberukan kemudahan dalam mengembangkan usaha termasuk penyediaan kredit dan permodalan.
Kemampuan koperasi untuk berperan lebih besar di berbagai sektor seperti pertanian, perindustrian, konstruksi, perdagangan, keuangan dan sebagainya perlu ditingkatkan. Untuk itu perlu didorong dan dikembangkan kerja sama antara koperasi dengan usaha negara dan swasta.
Pengusaha golongan ekonomi lemah termasuk pengusaha informal dan tradisional perlu terus dibina untuk meningkatkan kemampuan usaha dan pemasaran dalam rangka mengembangkan kewiraswastaan dan sebagainya. Sejalan dengan itu perlu disediakan secara memadai berbagai kemudahan dan bantuan seperti kredit dan permodalan, tempat usaha, dan sebagainya.

Selain di bidang ekonomi, pada bidang sosial budaya telah digariskan pula hal-hal yang berkaitan dengan perumahan dan pemukiman yang antara lain berbunyi: ”lembaga pembiayaan yang melayani pembangunan perumahan perlu ditingkatkan dan dikembangkan peranannya sehingga dapat mendorong terhimpunnya modal yang memungkinkan pembangunan rumah milik dan rumah sewa dalam jumlah yang besar. Sejalan dengan itu perlu diciptakan iklim yang menarik bagi pembangunan perumahan baik oleh masyarakat maupun oleh perorangan antara lain dengan penyediaan kredit yang memadai, pengaturan persewaan dan hipotek perumahan.”

Dengan pedoman tersebut di atas jelas bahwa terdapat sektor-sektor prioritas yang memerlukan dukungan pembiayaan perbankan dengan harapan agar kemampuan golongan atau sektor yang memperoleh manfaat tersebut dapat ditingkatkan. Karenanya seperti telah disinggung di atas, bank sentral sebagai lembaga yang bertanggung jawab di bidang pembiyaan perbankan telah menetapkan kemudahan tidak saja menyangkut alokasi dana kredit, tetapi juga tingkat bunga yang dibebankan.

Kebijakan Suku Bunga
Sebagaimana dimaklumi kebijakan suku bunga pada periode sebelum 1 Juni 1983 lebih banyak diatur dan diarahkan untuk menunjang proyek-proyek prioritas seperti digambarkan di atas, sehingga tingkat bunga yang berlaku relatif sangat rendah.

Secara umum suku bunga kredit investasi berkisar antara 10.5% - 13.5% per tahun dan modal kerja antara 12% - 21% per tahun dan bahkan kredit ekspor hanya 9% per tahun sedangkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) antara 5% - 9% per tahun, serta Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) dan kredit asrama mahasiswa masing-masing hanya 6% dan 5% per tahun.

Sedangkan suku bunga yang berlaku di perbankan swasta nasional berada pada tingkat antara 18% - 32% per tahun. Dengan adanya kebijakan 1 Juni 1983, maka tingkat bunga yang berlaku di bank-bank pemerintah untuk sektor nonprioritas menjadi sekitar 16.5% - 23.5% dan 18% - 24% setahun masing-masing untuk kredit investasi dan modal kerja, sementara di BUSN tercatat antara 21% - 30% per tahun atau ada yang lebih.

Kenaikan suku bunga tersebut merupakan konsekuensi logis dari kebijakan deregulasi sehingga berdampak kurang menguntungkan bagi dunia usaha nasional. Upaya-upaya telah dilakukan untuk mempengaruhi tingkat bunga tersebut dengan antara lain menetapkan kebijakan penyediaan fasilitas diskonto, mengeluarkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) maupun Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Dengan instrumen moneter tersebut, maka diharapkan tingkat agar suku bunga khususnya bunga deposito berjangka dapat diturunkan. Sebagai contoh dengan adanya kebijakan penurunan suku bunga fasilitas diskonto dari 17.5% menjadi 16.5% dari suku bunga SBI (satu bulan) dari 15% menjadi 14.5% per tahun. Pada Mei 1984 telah menyebabkan turunnya suku bunga deposito berjangka antara 0.25% sampai 1%.

Demikian selanjutnya dengan penurunan suku bunga fasilitas diskonto dan SBI yang tercatat September 1984 dari 26% dan 18% per tahun menjadi 18.5% dan 15% pada bulan Agustus 1985 serta kemudian dengan menurunnya suku bunga deposito pada bank-bank pemerintah telah menurun dari 15% - 21% per tahun pada tahun 1984 menjadi 13% – 15% per tahun pada Agustus 1985 dan 14% - 24% per tahun pada BUSN menjadi 12.5% - 19% selama periode yang sama.

Terlepas dari upaya untuk menurunkan tingkat bunga dengan berbagai kebijakan seperti digambarkan di atas maka kondisi obyektif yang berlaku nampaknya belum memungkinkan untuk menekan tingkat bunga yang benar-benar realistis serta mampu dipikul oleh golongan atau sektor yang diprioritaskan pemerintah.

Faktor pengaruh tingkat bunga luar negeri, keterbukaan perekonomian Indonesia, pandangan yang kurang positif terhadap nilai rupiah serta kurang efisiennya pengelolaan bank didalam negeri telah menyebabkan tingginya biaya-biaya intermdiasi (intermediation call) yang kesemuanya berakibat sulitnya pembentukan tingkat bunga yang relatif rendah.

Suku bunga yang berlaku umum bagi penerima kredit baik prioritas maupun nonprioritas belum mungkin diberlakukan dewasa ini. Kekuatan dan kemampuan sektor-sektor yang diprioritaskan, terutama golongan ekonomi lemah dan koperasi belum sama dengan golongan-golongan/sektor-sektor lain yang termasuk kategori non prioritas. Kekuatan dan kemampuan mereka belum dapat disejajarkan, sehingga gagasan untuk memberi kemudahan seperti yang digariskan di dalam GBHN masih tetap perlu ditunjang.

Itu sebabnya walaupun kebijakan deregulasi sektor perbankan telah dua kali diadakan, yang terakhir dikeluarkan pada tanggal 27 oktober 1988, namun nampaknya kebijakan suku bunga prioritas masih tetap dilanjutkan. Dengan perkembangan yang telah dicapai selama serta adanya kemampuan yang lebih besar dari golongan masyarakat tertentu, maka dukungan suku bunga prioritas telah mengalami penyesuaian-penyesuaian.

Golongan yang semula memperoleh KIK ataupun KMKP yang dibebani bunga 10.5% - 12% telah ditingkatkan menjadi 12% - 15%. Demikian pula fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) mengalami peningkatan pula dari 5% – 9% per tahun menjadi lebih tinggi lagi, yang kesemuanya memberi arti bahwa kemampuan golongan masyarakat tersebut dianggap telah mulai meningkat, sehingga secara berangsur-angsur dukungan berupa subsidi bunga perlu dikurangi.

Pakto 27 nampaknya tidak ada perubahan yang berarti di bidang kebijakan suku bunga prioritas dan apa yang sudah digariskan di dalam paket 1 Juni 1983 masih tetap dilanjutkan. Hanya kemungkinan suku bunga kredit ekspor yang dinilai ada unsur subsidi sehingga dinilai menimbulkan persaingan tidak sehat di pasaran internasional (terutama di dalam rangka pelaksanaan GATT), maka terpaksa akan diadakan penyesuian di masa-masa yang akan datang.

Pakto 27 lebih banyak diarahkan kepada upaya-upaya untuk mempenharuhi tingkat bunga yang berlaku umum di pasaran dengan lebih mengefektifkan pemanfaatan instrumen pasar uang melalui fasilitas diskonto.

Dengan mempergunakan mekanisme tidak langsung diharapkan suku bunga umum yang berlaku di pasaran baik suku bunga simpanan maupun pinjaman dapat dipengaruhi dan pada gilirannya dapat memperkecil perbedaan antara suku bunga prioritas dengan suku bunga yang berlaku di pasaran. Kondisi yang demikian dapat diartikan pula memperkecil jumlah subsidi bunga yang dipermasalahkan dewasa ini.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa walaupun langkah deregulasi demi deregulasi terus dilakukan, namun sepanjang pemerintah masih mempunyai sasaran dan misi untuk menunjang golongan-golongan masyarakat lemah, koperasi maupun sektor-sektor yang diprioritaskan maka penetapan suku bunga prioritas masih terus dilakukan sebagai salah satu kebijakan moneter perbankan nasional.

Tidak ada komentar: