07 Januari 2008

OEANG REPUBLIK INDONESIA


Latar Belakang Dikeluarkannya ORI

ORI adalah uang kertas pertama kali yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI. ORI dikeluarkan untuk menggantikan uang yang beredar saat itu di masyarakat, yaitu uang De Javasche Bank, uang invasi, dan uang pendudukan Jepang. Gagasan untuk mencetak ORI pertama kali di cetuskan pada saat diadakan pertemuan di kantor Wakil Presiden antara bulan September dan Oktober 1945. Pada pertemuan tersebut Moh. Hatta mengemukakan tentang perlunya mengeluarkan uang baru sebagai salah satu atribut negara merdeka dan berdaulat. Selanjutnya pada saat dilaksanakan siding BP KNIP pada tanggal 16 Oktober 1945 diputuskan untuk melakukan pencetakan uang baru oleh Pemerintah Indonesia.
Setelah keputusan untuk mencetak uang tersebut, maka pada tanggal 24 Oktober 1945, memerintahkan tim dari Serikat Buruh Percetakan G. Kloff untuk melakukan peninjauan tentang lokasi pencetakan uang. Hasil yang didapat adalah bahwa pencetakan uang akan dilakukan di dua tempat, yaitu di Percetakan G. Kloff dan Nederlands Indisch Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF) di Kendalpayak, Malang.
Untuk meresmikan dan menerbitkan usaha mengeluarkan uang, maka dikeluarkan Surat Keputusan No.3/RO tanggal 7 November 1945 yang membentuk “Panitia penyelenggara pencetakan uang kertas Republik Indonesia” yang diketuai oleh T.R.B. Sabarudin (Direktur BRI). Kemudian dibentuk pula panitia pertimbangan cara-cara menerima, menyimpan, dan mengedarkan uang baru yang diketuai oleh Endang Koesnadi.
Pencetakan pertama ORI dilakukan di Percetakan Negara karena G. Kolff telah dikuasai oleh tentara NICA. Mula-mula uang yang dicetak adalah pecahan 100 rupiah, dengan klise yang dibuat di gedung Balai Pustaka dan percetakan De Unie. Akan tetapi pencetakan ORI mendapatkan banyak halangan, terutama dari tentara NICA. Menjelang bulan Desember 1945 semua pekerjaan yang berkaitan dengan pencetakan ORI terpaksa dihentikan karena keadaan Jakarta yang tidak memungkinkan lagi melakukan pencetakan ORI. Hal itu menyebabkan uang yang telah dicetak tetapi belum diberikan nomor seri dipindahkan ke Yogyakarta.
Pencetakan uang kemudian dilakukan pada percetakan NIMEF di Kendalpayak, Malang, Solo, dan Yogyakarta, dengan menggunakan bahan baku kertas dari pabrik kertas Padalarang dan pabrik kertas Leces (Probolinggo).

ORI Mulai Diedarkan

Sebelum ORI dapat dikeluarkan, pemerintah harus menarik semua uang Jepang dan uang Hindia Belanda agar tidak terjadi inflasi di masyarakat. Pemerintah memutuskan untuk menarik peredaran uang Jepang dan uang Hindia Belanda secara berangsur-angsur agar tidak menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat. Sebagai tindakan pertama, pada tanggal 22 Juni 1946 Pemerintah Republik Indonesia melarang orang membawa uang lebih dari f.1.000 dari daerah Karesidenan Jakarta, Semarang, Surabaya, Bogor, dan Priangan (pendudukan Belanda) ke daerah-daerah lain di Jawa dan Madura. Demikian juga membawa uang dari luar ke Pulau Jawa dan Madura melebihi f.5.000 tanpa izin Menteri Perdagangan dan Perindustrian.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.3 tanggal 5 Juli 1946 tentang Kewajiban Menyimpan Uang di Bank (pada tanggal 1 Oktober 1946, Perpu ini digantikan dengan UU No.18/1946) mulai tanggal 15 Juli 1946 di Jawa dan Madura seluruh uang Jepang dan uang Hindia Belanda harus disimpan pada bank-bank yang ditunjuk pemerintah, yaitu: Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Surakarta, Bank Nasional, Bank Tabungan Pos dan Rumah Gadai. Sementara uang Hindia Belanda dan uang De Javasche Bank seluruhnya harus disimpan dalam bank. Sebagai gantinya, setiap penduduk akan diberi kompensasi berupa pemberian ORI 1 Rupiah setiap jiwa. Uang Jepang yang disetorkan kepada bank-bank berjumlah f. 1.892 juta dan dalam kas-kas pemerintah terdapat sejumlah f. 264 juta
Hasil cetakan ORI dikirim ke seluruh Jawa dan Madura dalam gerbong-gerbong kereta api dengan pengawalan ketat. Berdasarkan Undang-Undang No.19/1946 tentang pengeluaran uang Republik Indonesia, maka ORI secara resmi akan diedarkan pada tanggal 26 Oktober 1945. Akan tetapi karena keinginan Pemerintah untuk mengedarkan ORI secara serentak pada waktu yang sama di seluruh Jawa dan Madura, maka ORI baru dapat diedarkan mulai tanggal 30 Oktober 1946.
Pengedaran ORI didahului dengan pidato Wakil Presiden Moh. Hatta pada tanggal 29 Oktober 1946. Pengedaran tersebut mengacu kepada Undang-Undang No.7/1946 tanggal 1 Oktober 1946 dan Undang-Undang No. 19/1946. Dalam kedua undang-undang tersebut dinyatakan bahwa ORI merupakan uang pemerintah. UU No.19/1946 berisi tentang pengaturan dasar nilai ORI, dasar tukar dan penukaran uang lama dengan uang baru, cara pembayaran utang lama yang belum lunas pada waktu mulai beredarnya ORI, penetapan saat mulai berlakunya uang. ORI pertama kali yang diedarkan mempunyai pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, ½ rupiah, 1 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah, dan 100 rupiah. Pada ORI pertama tercantum tanggal 17 Oktober 1945 yang dapat dikaitkan dengan sidang BP KNIP pada tanggal 16 Oktober 1945.
Jenis-Jenis ORI.
a. ORI I
ORI I telah mempunyai tanda pengaman yang ditandai dengan nomor seri dari uang tersebut. Pada pecahan kecil (1,5, dan 10 sen) tidak terdapat nomor seri. Nomor seri baru digunakan pada uang setengah rupiah ke atas dengan enam angka dan dua huruf. Nomor sandi yang pertama biasanya berkaitan huruf didepannya, dimana pada pecahan 100 rupiah angka sandinya adalah angka kedua setelah angka nol.
A – B – C --> 5
D – E – F --> 1
G – H – I --> 6
K – L – M --> 2
N – O – P --> 7
R – S – T --> 3
U – V – W --> 8
Z --> 4
Y --> 9
X --> 0
Bedasarkan nomor sandi tersebut, maka pemalsuan terhadap ORI pertama dapat diketahui, terutama ORI yang dipalsukan oleh tentara NICA. Selain itu terdapat ORI yang telah dibawa dari percetakan di Jakarta, yaitu pecahan setengah rupiah.
b. ORI II
ORI II bertanda tanggal 1 Djanuari 1947 dengan nama kota Yogyakarta. ORI II terdapat pecahan 5,10,25, dan 100 rupiah yang nomor sandinya sama dengan ORI yang pertama.
c. ORI III
ORI III bertanda tanggal 26 Djuli 1947 dengan nama kota Yogyakarta. ORI III dicetak di daerah Kanten, Ponorogo karena daerah Malang diduduki oleh tentara NICA. ORI III terdiri dari pecahan ½ dan 2½ rupiah dengan dua huruf tanpa nomor. Pecahan 25 dan 100 rupiah dengan seri tercetak masing-masing SDX dan SDA. Pecahan 50 dan 250 rupiah dengan ragam nomor seri seperti ORI II. Pecahan 100 rupiah dengan nomor enam angka dan seri empat huruf. Dari ORI III terlihat bahwa inflasi mulai terjadi di daerah Indonesia karena pecahan ½ dan 2½ rupiah tidak terdapat nomor seri (dianggap sebagai pecahan kecil). ORI III dicetak di tempat yang berbeda, karena terdapat perbedaan pada ejaan kota, yang mungkin disebabkan oleh perpindahan tempat pencentakan dan plat cetaknya. Pada tahun 1947 diedarkan pula uang federal pecahan 10 dan 25 sen. Uang tersebut dikeluarkan dalam rangka persiapan pembentukan Republik Indonesia Serikat. Uang ini tidak termasuk ORI karena diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tanggal Batavia, 1 December 1947.
d. ORI IV
ORI IV bertanda nama kota Yogyakarta dengan tanggal 23 Agustus 1948. ORI IV mempunyai pecahan yang ganjil seperti 40, 75, 100, dan 400 rupiah. Pecahan 40 rupiah dengan seri empat huruf tanpa nomor, 75 rupiah dengan lima atau enam nomor dan empat huruf, pecahan 100 dan 400 rupiah dengan nomor enam angka dan seri empat huruf. Penandatangan ORI IV adalah Wakil Presiden Moh. Hatta. Inflasi yang terjadi pada ORI semakin parah karena nilai 40 rupiah sudah tidak diberi nomor lagi. Pecahan yang bernilai tidak lazim ini berkaitan dengan kelangkaan terhadap pecahan-pecahan kecil yang terjadi di daerah. Hal ini terbuktikan dengan adanya penerbitan bon dan surat tanda terima uang yang diterbitkan di berbagai daerah di Indonesia akibat kelangkaan uang kecil tersebut. Bon merupakan alat tukar di suatu daerah yang dapat digunakan sebagai alat transaksi di suatu kota. Pemakaian bon biasanya dilakukan saat uang pecahan besar ditukarkan dengan bon sejumlah uang yang ditukarkan, dan apabila masih bersisa maka dikembalikan sesuai dengan nilai yang ada di bon tersebut. Bon yang diketemukan antara lain bon Magelang, 1 Agustus 1948, bon Kediri 5 Agustus 1948. setelah bon kemudian muncul surat tanda penerimaan uang untuk karisedanan Kediri pada tanggal 16 Oktober 1948, disusul daerah Karisedenan Kedu pada tanggal 25 Oktober 1948. Ibukota RI juga mengeluarkan surat tanda penerimaan uang tertanggal 10 November 1948. Nilai pecahan yang dikeluarkan pada umumnya terdiri atas pecahan ½. 2, 2½, 5, dan tertinggi 10 rupiah. ORI IV juga mengenal tanda pengaman yang tertera dalam sandi di dalam nomor serinya. Pecahan 40 rupiah menggunakan kode bahwa huruf ke-4 dan huruf ke-2 selalu berurutan, dan apabila angka depan huruf dari nomor seri, maka akan terdapat makna kata Ampat atau empat, begitu pula dengan pecahan 100 rupiah yang bermaknakan Seratus Tembakauan (gambar tembakau) dan 400 rupiah yang bermaknakan empat ratus tebuan (gambar kebun tebu). Hal yang sama terjadi pada mata uang darurat yang berlaku di daerah-daerah, seperti halnya uang Banten.
e. ORIBA (ORI Baru)
ORIBA (Uang Baru) dikeluarkan untuk diedarkan di seluruh wilayah Indonesia apabila pengkuan kedaulatan telah dilakukan. URIBA yang dicetak mempunyai pecahan 10 sen, ½ rupiah, dan 100 rupiah dan hanya sempat diedarkan di wilayah Kutaraja (Aceh). Hal itu dikarenakan dalam perjanjian KMB, DJB menjadi bank sirkulasi di Indonesia dan itu berarti mata uang yang berlaku adalah mata uang yang dikeluarkan oleh DJB, yaitu uang federal. Dengan demikian ORI harus ditukarkan dengan uang federal dengan kurs yang berbeda-beda. Dengan beredarnya uang DJB dan uang pemerintah, maka ORI secara resmi dinyatakan tidak berlaku mulai bulan Maret 1950. Jadi, ORI mempunyai usia yang tidak lama, hanya 3 tahun 5 bulan. Meskipun usianya tidak lama, akan tetapi ORI mempunyai peranan yang penting dalam menyatukan perekonomian Indonesia di awal kemerdekaan.





1 komentar:

fandy-go-blog mengatakan...

halah bal,lu tidak memfasilitasi orang2 bodoh seprti gw dan banyak penjelajah dunia maya lainnya. tulisan lu banyak yang satu kalimat anak kalimatnya kebanyakan. jadi bingung bacanya.

di tulisan pertama (krisis ekonomi) gw liat ikbal yang gw kenal telah berubah dari orang sinting,calon sultan,kepala kancut, menjadi seorang pembela BI,HA5X.wajar wajar wajar,pengaruh tempat berkerja memang cukup kuat,walaupun lu msh sok2an mempertahankan idealisme. pertanyaannya,emang lu punya idealisme?!ha5x

di tulisan kedua lebih berbobot dari pada tulisan pertama. gw ngerasa kaya ada di ruang kuliah lagi ngebaca makalah orang item-keriting-berkacamata yang lagi persentasi di depan kelas. halah,lu copy-paste makalah seminar lu ya.dasar.baku banget bahasanya.bahasa makalah.

soal content tulisan sih gw ga usah komentar. mutunya terjamin klo lu yang tulis. puas lu gw jilat!!!

sory bal, komen gw sinis dan ga bermutu. tp kan itu usaha penyesuain dengan tipikal tulisan di dunia maya,ha5x. piss ah