Hutang Indonesia Akibat Konferensi Meja Bundar
Ada berapakah sebenarnya hutang Indonesia yang harus dibayarkan oleh Pemerintah Indonesia kepada kerajaan Belanda. Hutang tersebut merupakan salah satu bagian dari isi Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada Agustus – November 1949. Draft hutang yang disampaikan oleh delegasi Belanda merupakan hutang Hindia Belanda yang harus dibayarkan oleh Pemerintah Indonesia. Belanda berasumsi bahwa hutang Hindia Belanda seharusnya dilunasi oleh pemerintahan yang akan mewarisinya, sehingga pemerintah Kerajaan Belanda tidak mau untuk menanggung beban hutang tersebut.
Banyak tulisan yang mengungkapkan tentang jumlah hutang tersebut. Akan tetapi tulisan-tulisan tersebut sepakat menyatakan bahwa delegasi Belanda mengajukan draft hutang Hindia Belanda yang harus dibayar oleh Pemerintah Indonesia sebesar 6,1 miliar gulden. Sebuah jumlah yang sangat besar, mengingat saat itu Belanda baru saja mendapatkan bantuan Marshall Plan dari Amerika Serikat sebesar USD. 1.127 miliar (kurs saat itu USD 1 = f. 3.80) untuk membangun negara tersebut Pasca Perang Dunia II. Draft hutang tersebut disusun secara terperinci tentang hutang luar negeri dan hutang dalam negeri Hindia Belanda. Hutang luar negeri Hindia Belanda saat itu mencapai 3 miliar gulden dan hutang dalam negerinya berjumlah 3,1 miliar gulden. Kerajaan Belanda hanya bersedia untuk membayar f. 500 juta saja, sehingga total hutang yang harus ditanggung oleh Pemerintah Indonesia sebesar 5,6 miliar gulden.
Jumlah tersebut tentu saja sangat memberatkan Pemerintah Indonesia, karena keadaan ekonomi Indonesia saat itu dalam keadaan yang terpuruk pasca perang revolusi kemerdekaan. Soemitro Djodjohadikusumo selaku wakil Indonesia di bidang ekonomi tentu saja menolak keras hal tersebut. Ia melakukan perhitungan bahwa seharusnya Belanda-lah yang membayar hutang kepada Indonesia karena telah melakukan kerusakan di Indonesia saat melakukan agresi militer I dan II. Perhitungan yang dilakukan oleh Soemitro kemudian menyatakan bahwa Belanda harus membayar kepada Indonesia sebesar f. 540 juta. Perundingan masalah hutang ini merupakan hal yang alot dalam Konferensi Meja Bundar yang baru berakhir pada di awal November 1949 (3 bulan perundingan).
Perbedaan pendapat tentang hutang tersebut baru terlihat saat jumlah yang harus dibayarkan oleh Indonesia atas hutang Hindia Belanda. Banyak sumber yang menyatakan bahwa sebenarnya hutang yang harus ditanggung oleh Pemerintah Indonesia setelah melalui berbagai kompromi adalah sebesar f. 4,5 milyar gulden. Ada pula yang menyatakan bahwa jumlah hutang yang harus dibayar Indonesia adalah 4,3 milyar gulden atau setara dengan USD. 1,13 miliar. Di satu sisi isi perjanjian KMB tentang masalah penyelesaian hutang-piutang (pasal 25 – 27) dijelaskan bahwa Indonesia harus membayar hutang Hindia Belanda sebesar f. 2 milyar. Perbedaan angka tersebut memang membingungkan, akan tetapi jumlah hutang sebenarnya yang harus dibayar oleh Pemerintah Indonesia dapat dilihat dalam laporan tahunan Bank Indonesia. Dari validitas sumber yang didapatkan bahwa sebenarnya hutang Hindia Belanda yang harus ditanggung oleh Pemerintah Indonesia berjumlah f. 2 milyar gulden. Penyebutan jumlah hutang Hindia Belanda yang harus ditanggung oleh diatas 4 milyar gulden mungkin dikarenakan oleh laporan tahunan Bank Indonesia tentang jumlah hutang luar negeri Indonesia. Padahal jumlah hutang luar negeri Pemerintah merupakan hutang yang dihasilkan oleh pemerintah secara keseluruhan, dan hutang Hindia Belanda yang harus ditanggung merupakan salah satu bagian dari hutang tersebut.
Apakah hutang ‘limpahan’ tersebut dibayar oleh pemerintah Indonesia? Hal itu bisa dilihat dari laporan tahunan Bank Indonesia, lembaga yang mengatur seluruh kegiatan yang berkaitan dengan moneter di Indonesia. Berdasarkan laporan tersebut dicatatkan bahwa hutang-hutang pemerintah Indonesia dibayar oleh pemerintan Indonesia dengan cara dicicil. Akan tetapi berapa jumlah hutang limpahan yang dibayar oleh Pemerintah Indonesia tidak dilaporkan secara terinci dan hanya tersimpan di dalam ruang arsip Bank Indonesia. Laporan yang ada hanyalah pembayaran hutang luar negeri Indonesia secara keseluruhan. Pembayaran hutang limpahan tersebut baru terhenti setelah adanya pembatalan hasil perjanjian KMB oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1956 akibat masalah Irian Barat yang nantinya akan diikuti dengan tindakan pengambil alihan dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia pada akhir decade 1950-an. Sisa hutang pada saat pembatalan tersebut hanya dapat diketahui dalam rupiah, yaitu sekitar Rp. 500 juta (data tentang kurs rupiah dengan gulden tidak ditemukan). Sesuatu hal yang sangat merugikan sebenarnya bagi Pemerintah Indonesia, karena hutang tersebut hampir dilunasi. Akan tetapi hal itu sudah terjadi dan sebenarnya kita bisa belajar bahwa tindakan yang dilakukan tanpa perencanaan yang matang dan hanya didasari atas rasa emosional semata-mata tidak membawa keuntungan. Yang terjadi hanyalah kerugian, dan hal tersebut masih saja terus diulangi oleh bangsa Indonesia sampai saat ini. Memang, kita tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu untuk dijadikan sebagai pelajaran di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Banyak tulisan yang mengungkapkan tentang jumlah hutang tersebut. Akan tetapi tulisan-tulisan tersebut sepakat menyatakan bahwa delegasi Belanda mengajukan draft hutang Hindia Belanda yang harus dibayar oleh Pemerintah Indonesia sebesar 6,1 miliar gulden. Sebuah jumlah yang sangat besar, mengingat saat itu Belanda baru saja mendapatkan bantuan Marshall Plan dari Amerika Serikat sebesar USD. 1.127 miliar (kurs saat itu USD 1 = f. 3.80) untuk membangun negara tersebut Pasca Perang Dunia II. Draft hutang tersebut disusun secara terperinci tentang hutang luar negeri dan hutang dalam negeri Hindia Belanda. Hutang luar negeri Hindia Belanda saat itu mencapai 3 miliar gulden dan hutang dalam negerinya berjumlah 3,1 miliar gulden. Kerajaan Belanda hanya bersedia untuk membayar f. 500 juta saja, sehingga total hutang yang harus ditanggung oleh Pemerintah Indonesia sebesar 5,6 miliar gulden.
Jumlah tersebut tentu saja sangat memberatkan Pemerintah Indonesia, karena keadaan ekonomi Indonesia saat itu dalam keadaan yang terpuruk pasca perang revolusi kemerdekaan. Soemitro Djodjohadikusumo selaku wakil Indonesia di bidang ekonomi tentu saja menolak keras hal tersebut. Ia melakukan perhitungan bahwa seharusnya Belanda-lah yang membayar hutang kepada Indonesia karena telah melakukan kerusakan di Indonesia saat melakukan agresi militer I dan II. Perhitungan yang dilakukan oleh Soemitro kemudian menyatakan bahwa Belanda harus membayar kepada Indonesia sebesar f. 540 juta. Perundingan masalah hutang ini merupakan hal yang alot dalam Konferensi Meja Bundar yang baru berakhir pada di awal November 1949 (3 bulan perundingan).
Perbedaan pendapat tentang hutang tersebut baru terlihat saat jumlah yang harus dibayarkan oleh Indonesia atas hutang Hindia Belanda. Banyak sumber yang menyatakan bahwa sebenarnya hutang yang harus ditanggung oleh Pemerintah Indonesia setelah melalui berbagai kompromi adalah sebesar f. 4,5 milyar gulden. Ada pula yang menyatakan bahwa jumlah hutang yang harus dibayar Indonesia adalah 4,3 milyar gulden atau setara dengan USD. 1,13 miliar. Di satu sisi isi perjanjian KMB tentang masalah penyelesaian hutang-piutang (pasal 25 – 27) dijelaskan bahwa Indonesia harus membayar hutang Hindia Belanda sebesar f. 2 milyar. Perbedaan angka tersebut memang membingungkan, akan tetapi jumlah hutang sebenarnya yang harus dibayar oleh Pemerintah Indonesia dapat dilihat dalam laporan tahunan Bank Indonesia. Dari validitas sumber yang didapatkan bahwa sebenarnya hutang Hindia Belanda yang harus ditanggung oleh Pemerintah Indonesia berjumlah f. 2 milyar gulden. Penyebutan jumlah hutang Hindia Belanda yang harus ditanggung oleh diatas 4 milyar gulden mungkin dikarenakan oleh laporan tahunan Bank Indonesia tentang jumlah hutang luar negeri Indonesia. Padahal jumlah hutang luar negeri Pemerintah merupakan hutang yang dihasilkan oleh pemerintah secara keseluruhan, dan hutang Hindia Belanda yang harus ditanggung merupakan salah satu bagian dari hutang tersebut.
Apakah hutang ‘limpahan’ tersebut dibayar oleh pemerintah Indonesia? Hal itu bisa dilihat dari laporan tahunan Bank Indonesia, lembaga yang mengatur seluruh kegiatan yang berkaitan dengan moneter di Indonesia. Berdasarkan laporan tersebut dicatatkan bahwa hutang-hutang pemerintah Indonesia dibayar oleh pemerintan Indonesia dengan cara dicicil. Akan tetapi berapa jumlah hutang limpahan yang dibayar oleh Pemerintah Indonesia tidak dilaporkan secara terinci dan hanya tersimpan di dalam ruang arsip Bank Indonesia. Laporan yang ada hanyalah pembayaran hutang luar negeri Indonesia secara keseluruhan. Pembayaran hutang limpahan tersebut baru terhenti setelah adanya pembatalan hasil perjanjian KMB oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1956 akibat masalah Irian Barat yang nantinya akan diikuti dengan tindakan pengambil alihan dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia pada akhir decade 1950-an. Sisa hutang pada saat pembatalan tersebut hanya dapat diketahui dalam rupiah, yaitu sekitar Rp. 500 juta (data tentang kurs rupiah dengan gulden tidak ditemukan). Sesuatu hal yang sangat merugikan sebenarnya bagi Pemerintah Indonesia, karena hutang tersebut hampir dilunasi. Akan tetapi hal itu sudah terjadi dan sebenarnya kita bisa belajar bahwa tindakan yang dilakukan tanpa perencanaan yang matang dan hanya didasari atas rasa emosional semata-mata tidak membawa keuntungan. Yang terjadi hanyalah kerugian, dan hal tersebut masih saja terus diulangi oleh bangsa Indonesia sampai saat ini. Memang, kita tidak pernah belajar dari pengalaman masa lalu untuk dijadikan sebagai pelajaran di masa sekarang dan masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar