Krisis Di Indonesia
Pendahuluan
Krisis nilai tukar yang terjadi sebagai akibat penularan dari krisis di Thailand telah melanda Indonesia dalam tahun 1997-1999, tidak saja di bidang ekonomi tetapi berkembang menjadi krisis multidimensi. Hal tersebut terjadi karena krisis moneter di Indonesia secara cepat menjalar menjadi krisis perbankan, krisis ekonomi, dan berlanjut ke krisis sosial-politik dan bidang-bidang lain.
Depresiasi Rupiah yang besar telah menyebabkan berbagai kesulitan. Para pengusaha mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri yang jatuh waktu dan untuk mengimpor bahan baku yang diperlukannya. Bank-bank mengalami kesulitan dari rentetan masalah yang dihadapi nasabah dalam membayar hutang-hutang mereka, ditambah lagi dengan adanya sebagian masyarakat melakukan spekulasi di tengah-tengah perkembangan yang semakin memprihatinkan. Krisis tersebut kemudian menyebabkan berkurangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek perekonomian Indonesia, sedangkan pada saat yang bersamaan prospek ekonomi di kawasan lain, khususnya Amerika, sangat menjanjikan. Modal asing yang selama ini turut membiayai pembangunan ekonomi Indonesia tidak masuk lagi, bahkan mengalir keluar secara bersamaan dan dan dalam jumlah yang besar. Akibatnya, gejolak nilai tukar telah menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang sangat parah, dan stagflasi mewarnai ekonomi Indonesia sehingga aktivitas ekonomi merosot tajam. Pada paruh pertama tahun 1998, misalnya, kegiatan ekonomi mengalami kontraksi sebesar 12% per tahun sebagai akibat banyaknya perusahaan mengurangi aktivitas atau bahkan menghentikan produksinya. Laju inflasi juga melambung tinggi, yakni mencapai 69,1% dalam periode Januari – Agustus 1998. tingginya laju inflasi menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat, khususnya golongan berpendapatan rendah. Dalam perkembangannya, kondisi ekonomi diperparah dengan rusaknya sistem distribusi bahan kebutuhan pokok yang berakibat pada timbulnya gejolak sosial-politik.
Krisis juga telah mengakibatkan timbulnya berbagai masalah yang dihadapi Bank Indonesia seperti dilema dalam mengatasi krisis perbankan yang menimbulkan masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Di sisi lain, krisis juga telah mempercepat proses perubahan status Bank Indonesia menjadi bank sentral yang independen.
Pemicu Terjadinya Krisis
Pemicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah efek dari krisis nilai tukar di Thailand pada awal Juli 1997 yang melanda pasar valuta asing di kawasan Asia dan mempengaruhi pasar valas di Indonesia yang beroperasi dalam perekonomian nasional yang mengidap berbagai kelemahan struktural. Proses penularan berkembang cepat menjadi krisis yang melanda semua aspek kehidupan masyarakat karena pasar keuangan domestik sudah terintegrasi ke dalam pasar keuangan global. Krisis di Indonesia menjadi sangat parah karena baik dari sumber asalnya maupun struktur ekonomi nasional memang menyebabkan terjadinya proses deteriorisasi secara sistematik sehingga menimbulkan dampak yang sangat besar. Gejolak ekstern pada pasar valas merupakan dampak penekanan nilai mata uang di kawasan, setelah terjadi perubahan sentimen pasar dari optimisme yang berlebihan. Sementara itu, ekonomi nasional diwarnai dengan struktur keuangan, terutama perbankan, yang lemah dan sektor riil yang juga lemah sebagaimana tercermin pada ekonomi biaya tinggi. Kedua unsur ini menyebabkan krisis yang terjadi menjadi sangat dahsyat sehingga dampaknya juga sangat luas. Krisis yang pada awalnya hanyalah krisis nilai tukar kemudian berkembang menjadi krisis perbankan, hingga menjalar menjadi krisis sosial dan politik yang berakibat sangat dahsyat bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Krisis Nilai Tukar
Krisis nilai tukar merupakan penularan dari krisis serupa di Thailand. Mulai Juli 1997, rupiah mengalami depresiasi yang besar. Dalam waktu satu bulan, nilai rupiah di pasar valuta asing terus melemah, sehingga untuk menyelamatkan cadangan devisa negara, Bank Indonesia melepaskan system nilai tukar mengambang terkendali menjadi system mengambang bebas. Sejak diberlakukannya system itu, maka nilai tukar rupiah benar-benar terjun bebas ke level yang terus merosot. Puncaknya terjadi pada bulan Juni 1998, ketika nilai rupiah menjadi Rp. 16.500,- per dolar Amerika Serikat. Hal itu memperlihatkan bahwa dalam waktu satu tahun saja, rupiah dengan mudah terdepresiasi lebih dari 500% terhadap dolar Amerika Serikat.
Terjun bebasnya nilai rupiah disebabkan oleh berbagai peristiwa social-politik yang terjadi di Indonesia, terutama gelombang kerusuhan massa pada Mei 1998 yang telah menurunkan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Baru pada saat Pemerintah mengundang lembaga moneter internasional (IMF) untuk membantu penyelesaian krisis, maka nilai tukar rupiah mengalami penguatan secara bertahap. Sampai saat ini nilai tukar rupiah cenderung stabil di pasar valuta, yaitu berada di kisaran Rp. 9.000,- s/d Rp. 10.000,- per satu dolar Amerika Serikat.
Krisis Perbankan
Pada saat awal krisis melanda di bulan Juli 1997, perbankan merupakan jenis usaha yang terkena dampak paling parah. Kondisi krisis menyebabkan perbankan tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Krisis perbankan dimulai dengan timbulnya kesulitan likuiditas yang diakibatkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah yang berakibat pada kesulitan bank dalam memenuhi kewajibannya kepada luar negeri dan kesulitan nasabahnya dalam melunasi hutangnya kepada bank. Kondisi perbankan kemudian menjadi rawan setelah munculnya penarikan simpanan dan pemindahan dana dari bank yang lemah ke bank yang kuat secara besar-besaran akibat semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Apalagi setelah likuidasi 16 bank swasta nasional pada tanggal 1 November 1997 yang dilakukan tanpa persiapan yang memadai untuk menghadapi rush atau bank run. Akibatnya beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat ikut terkena dampak tersebut sehingga posisi mereka menjadi tidak sehat dan mengalami kesulitan likuiditas. Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah melakukan berbagai langkah penyelamatan antara lain mendirikan BPPN, penyempurnaan kelembagaan, dan pemberian status mandiri kepada Bank Indonesia. Selain itu untuk membantu permodalan dan membiayai operasional maka bank-bank tersebut diberikan Bantuan Likuiditas dari Bank Indonesia. Hal itu mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat yang sejak pertengahan tahun 1999 sudah mulai menyimpan kembali dana mereka di sector perbankan. Setelah itu untuk proses penyehatan perbankan, maka Pemerintah mulai melakukan program restrukturisasi dam rekapitalisasi perbankan agar perbankan mampu beroperasi seperti sebelum krisis.
Krisis Sosial dan Politik
Krisis moneter dan perbankan telah memberikan pengaruh negative yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, sehingga dampak social dan politiknya juga luar biasa. Hal itu disebabkan oleh struktur dan kelembagaan social serta politik di Indonesia juga mengidap kelemahan, sehingga proses penularan krisis terus berlangung dan melanda sendi-sendi kehidupan social dan politik , sehingga Indonesia akhirnya mengalami krisis multidimensi. Banyak perusahaan yang terpaksa gulung tikar dan pada akhirnya muncul pengangguran baru di Indonesia akibat pemutusan hubungan kerja dalam jumlah yang besar. Di sisi lain harga-harga barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi dan ini semakin membenani rakyat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Keadaan tersebut pada akhirnya meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia dan menimbulkan masalah-masalah social baru yang merugikan kehidupan social di Indonesia.
Krisis yang semakin dahsyat pada akhirnya memaksa mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan untuk menuntut perubahan di negeri ini. Demonstrasi mahasiswa yang awalnya dilakukan dengan damai ternyata malah dilawan dengan tindakan yang represif dari aparat keamanan. Puncak dari ketegangan politik pada saat itu ialah terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Kematian mahasiswa tersebut menimbulkan gelombang kerusuhan missal pada dua hari berikutnya di berbagai kota di Indonesia. Kerusuhan yang terjadi semakin menenggelamkan Indonesia dalam kehancuran dan ketidakpercayaan masyarakat internasional terhadap keamanan di Indonesia. Hal ini tentu saja menyulitkan Pemerintah untuk melakukan perbaikan terhadap krisis yang terjadi. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga semakin menurun, dan satu-per satu unsur yang mendukung pemerintahan mulai menarik dukungannya, sehingga pemerintahan mulai goyah dan tidak dapat dipertahankan lagi. Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun mengundurkan diri, dan dengan demikian Orde Baru berakhir dan mulailah Era Reformasi di Indonesia.
Penutup
Krisis yang terjadi di Indonesia perlahan-lahan mulai dapat diatasi. Nilai tukar Rupiah mengalami perkembangan yang stabil sampai dengan saat ini. Selain itu struktur perbankan telah diperkuat berkat diberikannya kemandirian kepada Bank Indonesia dalam menentukan berbagai kebijakan di bidang perbankan. Saat ini perbankan telah mampu bangkit kembali dan telah menjadi lembaga intermediasi keuangan yang efektif dan terpercaya. Keadaan perbankan saat ini terus diperbaiki, sehingga terjadinya krisis perbankan yang nyaris menghancurkan system perbankan Indonesia pada tahun 1997 tidak terulang kembali.
Akan tetapi meskipun krisis nilai tukar dan perbankan telah teratasi, krisis yang lebih luas yaitu krisis social di masyarakat belum sepenuhnya dapat teratasi. Masalah lapangan pekerjaan, sulitnya pemenuhan kebutuhan hidup, hingga munculnya bibit-bibit disintegrasi bangsa di daerah terus saja datang silih berganti. Ketidak berpihakan Pemerintah kepada masyakarat golongan menengah ke bawah dan praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang dilakukan oleh sebagian oknum pejabat di negeri ini mengakibatkan rakyat kecil semakin hidup dalam ketertinggalan. Entah sampai kapan keadaan sebagian besar masyarakat Indonesia terus hidup dalam kemiskinan, dan entah sampai kapan pula bangsa ini dapat hidup dalam suasana yang “gemah ripah loh jinawi” seperti cerita yang pernah disampaikan oleh nenek moyang kita di masa lalu.
Krisis nilai tukar yang terjadi sebagai akibat penularan dari krisis di Thailand telah melanda Indonesia dalam tahun 1997-1999, tidak saja di bidang ekonomi tetapi berkembang menjadi krisis multidimensi. Hal tersebut terjadi karena krisis moneter di Indonesia secara cepat menjalar menjadi krisis perbankan, krisis ekonomi, dan berlanjut ke krisis sosial-politik dan bidang-bidang lain.
Depresiasi Rupiah yang besar telah menyebabkan berbagai kesulitan. Para pengusaha mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri yang jatuh waktu dan untuk mengimpor bahan baku yang diperlukannya. Bank-bank mengalami kesulitan dari rentetan masalah yang dihadapi nasabah dalam membayar hutang-hutang mereka, ditambah lagi dengan adanya sebagian masyarakat melakukan spekulasi di tengah-tengah perkembangan yang semakin memprihatinkan. Krisis tersebut kemudian menyebabkan berkurangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek perekonomian Indonesia, sedangkan pada saat yang bersamaan prospek ekonomi di kawasan lain, khususnya Amerika, sangat menjanjikan. Modal asing yang selama ini turut membiayai pembangunan ekonomi Indonesia tidak masuk lagi, bahkan mengalir keluar secara bersamaan dan dan dalam jumlah yang besar. Akibatnya, gejolak nilai tukar telah menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang sangat parah, dan stagflasi mewarnai ekonomi Indonesia sehingga aktivitas ekonomi merosot tajam. Pada paruh pertama tahun 1998, misalnya, kegiatan ekonomi mengalami kontraksi sebesar 12% per tahun sebagai akibat banyaknya perusahaan mengurangi aktivitas atau bahkan menghentikan produksinya. Laju inflasi juga melambung tinggi, yakni mencapai 69,1% dalam periode Januari – Agustus 1998. tingginya laju inflasi menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat, khususnya golongan berpendapatan rendah. Dalam perkembangannya, kondisi ekonomi diperparah dengan rusaknya sistem distribusi bahan kebutuhan pokok yang berakibat pada timbulnya gejolak sosial-politik.
Krisis juga telah mengakibatkan timbulnya berbagai masalah yang dihadapi Bank Indonesia seperti dilema dalam mengatasi krisis perbankan yang menimbulkan masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Di sisi lain, krisis juga telah mempercepat proses perubahan status Bank Indonesia menjadi bank sentral yang independen.
Pemicu Terjadinya Krisis
Pemicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah efek dari krisis nilai tukar di Thailand pada awal Juli 1997 yang melanda pasar valuta asing di kawasan Asia dan mempengaruhi pasar valas di Indonesia yang beroperasi dalam perekonomian nasional yang mengidap berbagai kelemahan struktural. Proses penularan berkembang cepat menjadi krisis yang melanda semua aspek kehidupan masyarakat karena pasar keuangan domestik sudah terintegrasi ke dalam pasar keuangan global. Krisis di Indonesia menjadi sangat parah karena baik dari sumber asalnya maupun struktur ekonomi nasional memang menyebabkan terjadinya proses deteriorisasi secara sistematik sehingga menimbulkan dampak yang sangat besar. Gejolak ekstern pada pasar valas merupakan dampak penekanan nilai mata uang di kawasan, setelah terjadi perubahan sentimen pasar dari optimisme yang berlebihan. Sementara itu, ekonomi nasional diwarnai dengan struktur keuangan, terutama perbankan, yang lemah dan sektor riil yang juga lemah sebagaimana tercermin pada ekonomi biaya tinggi. Kedua unsur ini menyebabkan krisis yang terjadi menjadi sangat dahsyat sehingga dampaknya juga sangat luas. Krisis yang pada awalnya hanyalah krisis nilai tukar kemudian berkembang menjadi krisis perbankan, hingga menjalar menjadi krisis sosial dan politik yang berakibat sangat dahsyat bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Krisis Nilai Tukar
Krisis nilai tukar merupakan penularan dari krisis serupa di Thailand. Mulai Juli 1997, rupiah mengalami depresiasi yang besar. Dalam waktu satu bulan, nilai rupiah di pasar valuta asing terus melemah, sehingga untuk menyelamatkan cadangan devisa negara, Bank Indonesia melepaskan system nilai tukar mengambang terkendali menjadi system mengambang bebas. Sejak diberlakukannya system itu, maka nilai tukar rupiah benar-benar terjun bebas ke level yang terus merosot. Puncaknya terjadi pada bulan Juni 1998, ketika nilai rupiah menjadi Rp. 16.500,- per dolar Amerika Serikat. Hal itu memperlihatkan bahwa dalam waktu satu tahun saja, rupiah dengan mudah terdepresiasi lebih dari 500% terhadap dolar Amerika Serikat.
Terjun bebasnya nilai rupiah disebabkan oleh berbagai peristiwa social-politik yang terjadi di Indonesia, terutama gelombang kerusuhan massa pada Mei 1998 yang telah menurunkan kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia. Baru pada saat Pemerintah mengundang lembaga moneter internasional (IMF) untuk membantu penyelesaian krisis, maka nilai tukar rupiah mengalami penguatan secara bertahap. Sampai saat ini nilai tukar rupiah cenderung stabil di pasar valuta, yaitu berada di kisaran Rp. 9.000,- s/d Rp. 10.000,- per satu dolar Amerika Serikat.
Krisis Perbankan
Pada saat awal krisis melanda di bulan Juli 1997, perbankan merupakan jenis usaha yang terkena dampak paling parah. Kondisi krisis menyebabkan perbankan tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Krisis perbankan dimulai dengan timbulnya kesulitan likuiditas yang diakibatkan oleh melemahnya nilai tukar rupiah yang berakibat pada kesulitan bank dalam memenuhi kewajibannya kepada luar negeri dan kesulitan nasabahnya dalam melunasi hutangnya kepada bank. Kondisi perbankan kemudian menjadi rawan setelah munculnya penarikan simpanan dan pemindahan dana dari bank yang lemah ke bank yang kuat secara besar-besaran akibat semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Apalagi setelah likuidasi 16 bank swasta nasional pada tanggal 1 November 1997 yang dilakukan tanpa persiapan yang memadai untuk menghadapi rush atau bank run. Akibatnya beberapa bank yang sebelumnya tergolong sehat ikut terkena dampak tersebut sehingga posisi mereka menjadi tidak sehat dan mengalami kesulitan likuiditas. Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah melakukan berbagai langkah penyelamatan antara lain mendirikan BPPN, penyempurnaan kelembagaan, dan pemberian status mandiri kepada Bank Indonesia. Selain itu untuk membantu permodalan dan membiayai operasional maka bank-bank tersebut diberikan Bantuan Likuiditas dari Bank Indonesia. Hal itu mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat yang sejak pertengahan tahun 1999 sudah mulai menyimpan kembali dana mereka di sector perbankan. Setelah itu untuk proses penyehatan perbankan, maka Pemerintah mulai melakukan program restrukturisasi dam rekapitalisasi perbankan agar perbankan mampu beroperasi seperti sebelum krisis.
Krisis Sosial dan Politik
Krisis moneter dan perbankan telah memberikan pengaruh negative yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, sehingga dampak social dan politiknya juga luar biasa. Hal itu disebabkan oleh struktur dan kelembagaan social serta politik di Indonesia juga mengidap kelemahan, sehingga proses penularan krisis terus berlangung dan melanda sendi-sendi kehidupan social dan politik , sehingga Indonesia akhirnya mengalami krisis multidimensi. Banyak perusahaan yang terpaksa gulung tikar dan pada akhirnya muncul pengangguran baru di Indonesia akibat pemutusan hubungan kerja dalam jumlah yang besar. Di sisi lain harga-harga barang-barang kebutuhan pokok melambung tinggi dan ini semakin membenani rakyat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Keadaan tersebut pada akhirnya meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia dan menimbulkan masalah-masalah social baru yang merugikan kehidupan social di Indonesia.
Krisis yang semakin dahsyat pada akhirnya memaksa mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan untuk menuntut perubahan di negeri ini. Demonstrasi mahasiswa yang awalnya dilakukan dengan damai ternyata malah dilawan dengan tindakan yang represif dari aparat keamanan. Puncak dari ketegangan politik pada saat itu ialah terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998. Kematian mahasiswa tersebut menimbulkan gelombang kerusuhan missal pada dua hari berikutnya di berbagai kota di Indonesia. Kerusuhan yang terjadi semakin menenggelamkan Indonesia dalam kehancuran dan ketidakpercayaan masyarakat internasional terhadap keamanan di Indonesia. Hal ini tentu saja menyulitkan Pemerintah untuk melakukan perbaikan terhadap krisis yang terjadi. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga semakin menurun, dan satu-per satu unsur yang mendukung pemerintahan mulai menarik dukungannya, sehingga pemerintahan mulai goyah dan tidak dapat dipertahankan lagi. Pada tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun mengundurkan diri, dan dengan demikian Orde Baru berakhir dan mulailah Era Reformasi di Indonesia.
Penutup
Krisis yang terjadi di Indonesia perlahan-lahan mulai dapat diatasi. Nilai tukar Rupiah mengalami perkembangan yang stabil sampai dengan saat ini. Selain itu struktur perbankan telah diperkuat berkat diberikannya kemandirian kepada Bank Indonesia dalam menentukan berbagai kebijakan di bidang perbankan. Saat ini perbankan telah mampu bangkit kembali dan telah menjadi lembaga intermediasi keuangan yang efektif dan terpercaya. Keadaan perbankan saat ini terus diperbaiki, sehingga terjadinya krisis perbankan yang nyaris menghancurkan system perbankan Indonesia pada tahun 1997 tidak terulang kembali.
Akan tetapi meskipun krisis nilai tukar dan perbankan telah teratasi, krisis yang lebih luas yaitu krisis social di masyarakat belum sepenuhnya dapat teratasi. Masalah lapangan pekerjaan, sulitnya pemenuhan kebutuhan hidup, hingga munculnya bibit-bibit disintegrasi bangsa di daerah terus saja datang silih berganti. Ketidak berpihakan Pemerintah kepada masyakarat golongan menengah ke bawah dan praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang dilakukan oleh sebagian oknum pejabat di negeri ini mengakibatkan rakyat kecil semakin hidup dalam ketertinggalan. Entah sampai kapan keadaan sebagian besar masyarakat Indonesia terus hidup dalam kemiskinan, dan entah sampai kapan pula bangsa ini dapat hidup dalam suasana yang “gemah ripah loh jinawi” seperti cerita yang pernah disampaikan oleh nenek moyang kita di masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar