04 Januari 2008

Menelusuri Pembinaan dan Pengembangan Wiraswasta Nasional


Pendahuluan
salah satu unsur yang dapat menjamin kelangsungan hasil maupun proses pembangunan adalah partisipasi daru seluruh lapisan masyarakat dalam kegiatan pembangunan itu sendiri. Di dalam kehidupan demokrasi ekonomi dewasa ini kita mengenal tiga bentuk pelaksana kegiatan usaha dalam masyarakat, yaitu pemerintah, swasta, dan koperasi. Tiga bentuk usaha tersebut mempunyai hak hidup dan kewajiban kepada masyarakat yang tidak berbeda satu dengan yang lain dan jelas partsipasinya dalam gerak dan arah pembangunan mutlak diperlukan.
Tanpa mengurangi arti serta sumbangan sektor kegiatan usaha pemerintah maupun arti serta pernanan yang dimintakan dari sektor koperasi, dalam tulisan ini pengkajian akan dititik beratkan pada peranan sektor swasta, atau dengan istilah yang dewasa ini sering terdengar: partsipasi wiraswasta nasional dalam pembangunan. Dalam sektor wiraswasta nasional ini pun kita batasi ruang lingkupnya pada apa yang biasanya tercakup dalam sebutan golongan ekonomi lemah, khususnya pribumi, yang potensi partisipasinya dalam derap pembangunan dewasa ini perlu digali dan digalakkan agar tercermin pemerataan kesempatan berusaha yang lebih wajar.
Pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional seperti tersebut di atas merupakan suatu masalah yang luas dan pelik. Apalgi kalau kita berbicara mengenai pembinaan kewiraswastaan pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi, yang justru merupakan kelompok terbesar dalam masyarakat namun secara struktural menduduki tempat yang terendah dalam strata sosial ekonomi Indonesia. peliknya pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional itu bukan saja karena menyangkut persoalan ekonomi semata-mata, namun hal tersebut tidak terlepas daripada masalah-masalah sosial-politik yang kadang-kadang menonjol. Apalagi tidak bida dihindari bahwa usaha pengembangan dan pembinaan ini membuat pertanyaan mengenai golongan pribumi dan non-pribumi.
Meskipun fakta tersebut ada di dalam masyarakat dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari usaha-usaha pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional, akan tetapi pada masa yang lampau hal ini tidak mudah untuk dibicarakan secara terbuka bahkan sementara pihak menganggapnya tabu. Oleh karena itu di dalam masalah pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional perlu kiranya kita mendudukkan persoalannya secara wajar dengan membuang jauh-jauh prasangka buruk dari semua pihak serta menyingkirkan sikap rasialis.
Kedewasaan dari masyarakat dalam menanggapi hal ini merupakan salah satu syarat untuk menghilangkan ketegangan maupun keresahan sosial ekonomi dan politik. Jadi perlu kiranya disadari bahwa usaha pembinaan dan pengembangan ini bukan hanya merupakan pula kewajiban dari masyarakat dan para pengusaha baik para pengusaha pribumi, non-pribumi, maupun asing. Kesadaran para pengusaha, terutama golongan non-pribumi dan asing dalam pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi ini sangat penting oleh karena dalam jangka panjang pembinaan tersebut akan menguntungkan bagi kedua belah pihak, setidak-tidaknya akan mengurangi ketegangan rasial yang sering timbul oleh karena adanya perasaan tidak adanya kesempatan berusaha yang sama di kalangan pribumi dan non-pribumi.
Salah satu aspek dari pembinaan pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi yang tidak kalah pentingnya dari yang tersebut di atas ialah adanya pengaruh yang timbal-balik terhadap pembangunan sosial ekonomi itu sendiri terutama pada pola kegiatan ekonomi di Indonesia. Seperti telah disebutkan di muka kegiatan usaha dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta baik itu nasional maupun asing, dan koperasi. Dalam beberapa hal usaha pengembangan dan pembinaan wiraswasta nasional, terutama yang kecil dan menengah, akan mempengaruhi kegiatan ekonomi dalam pola demokrasi ekonomi. Di satu pihak diharapkan bahwa adanya pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional, terutama pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi, akan meningkatkan partisipasi mereka dalam pembangunan sehingga jarak ekonomi antar golongan dalam masyarakat akan relatif menyempit.
Partisipasi yang seimbang ini hanya dapat tercapai kalau sudah ada perimbangan kedudukan ekonomi antara berbagai golongan dalam masyarakat. Diharapkan pula bahwa pembinaan dan pengembangan ini akan memberikan kesempatan kerja yang lebih banyak dan tersebar luas sehingga relatif akan menunjang proses perataan pendapatan masyarakat. Selain daripada itu pembinaan dan pengambangan wiraswasta nasional akan membawa ke arah pembauran dan akulturasi yang wajar dari golongan non-pribumi. Proses pembauran dalam dunia usaha antara golongan pribumi dan non-pribumi akan kurang berhasil apabila didasarkan atas “paksaan”. Pembauran dalam bidang usaha biasanya akan lebih berhasil dengan meningkatkan derajat golongan ekonomi lemah pribumi sehingga dapat mempunyai bargaining position yang seimbang dan proporsional dalam perekonomian Indonesia. Diharapkan pula akan adanya perubahan struktur nilai sosial para pengusaha sebagai suatu profesi. Hal ini dikaitkan dengan harapan bahwa “kebudayaan berusaha” yang di kalangan pengusaha masih dianggap rendah dapat ditumbuhkan. Dalam hal ini perlu kiranya kita sadari bahwa kebudayaan berusaha yang mungkin tercipta oleh adanya usaha-usaha pembinaan kewiraswastaan akan menimbulkan nilai-nilai baru yang mungkin tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dewasa ini. Hendaknya masyarakat pun sadar akan akibatnya dan dapat menerima adanya struktur nilai baru para pengusaha.
Perubahan-perubahan yang diharapkan terjadi, dalam rangka pembinaan pengusaha ekonomi lemah pribumi, baik itu yang menyangkut hal-hal yang bersifat ekonomis maupun sosial dalam pola ekonomi campuran dewasa ini, perlu dibarengi oleh adanya pola kebijaksanaan yang jelas mengenai bidang-bidang usaha mana yang diberikan kepada pengusaha swasta nasional, terutama yang kecil dan menengah, dan kegiatan ekonomi mana yang boleh dijalankan oleh usaha asing. Hal ini tidak lain dimaksudkan agar terjadi keserasian dalam kesempatan berusaha di Indonesia.
Perlu kiranya kita sadari bahwa usaha pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional merupakan kegiatan terus-menerus dan berjangka panjang. Apalagi kalau program ini menyangkut para pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi yang rata-rata mempunyai angka moralitas usaha yang cukup tinggi, bahkan di negara berkembang pun angka moralitas usaha kecil cukup tinggi. Demikian pula kita jangan berkhayal bahwa dalam jangka pendek program tersebut dapat menciptakan wiraswasta nasional yang kecil menjadi pengusaha yang besar, oleh karena pada dasarnya tidak semua pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi, bahkan mungkin untuk sebagian besar, mampu dan mempunyai motivasi untuk berkembang menjadi besar. Namun yang perlu untuk diingat bahwa peranan dan fungsi para pengusaha kecil dan menengah ini pun ada dan bahkan penting dalam kegiatan ekonomi, sehingga adanya kesempatan untuk berusaha serta kepastian akan hak hidup mereka pun sudah merupakan sumbangan besar dalam mendorong kegiatan usaha kecil dan menengah. Dengan kata lain, meskipun tujuan akhir dari kegiatan pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional adalah menciptakan golongan pengusaha yang tangguh dan cukup mampu bersaing dalam pasaran internasional, namun jangan dilupakan bahwa dalam struktur kegiatan usaha kita tetap mengenal usaha swasta besar, menengah, dan kecil, di mana baik yang menengah maupun yang kecil mempunyai andil pula dalam roda perekonomian.

Menengok Sarana dan Usaha Pembinaan dan Pengembangan

Sejak Indonesia bertekad untuk kembali pada UUD 1945 dan Pancasila tahun 1966, maka pola ekonomi yang dianut adalah sistem demokrasi ekonomi yang meninggalkan sistem ekonomi terpimpin dari periode sebelumnya. Dalam sistem demokrasi ekonomi dihindarkan ciri-ciri dari persaingan bebas tanpa batas, etatisme dan monopoli yang merugikan masyarakat; sedangkan pemerintah berkewajiban memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia usaha; sebaliknya dunia usaha perlu memberikan tanggapan terhadap pengarahan dan bimbingan serta penciptaan iklim tersebut dengan kegiatan-kegiatan yang nyata.
Dalam rangka penjabaran pola demokrasi ekonomi inilah berbagai usaha dilakukan demi tercapainya pemerataan kesempatan berusaha yang diharapkan pula sekaligus tercapainya partisipasi sektor swasta dalam pembangunan. Kalau kita tengok ke belakang sejarah pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional, maka pada dasarnya program tersebut telah bermula pada tahun limapuluhan. Kurun waktu yang demikian lamanya dibandingkan dengan hasil yang ingin dicapai sering menimbulkan pertanyaan akan manfaat program pembinaan dan pengembangan ini. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi kadang-kadang menimbulkan kejenuhan bagi para pelaksana program bahkan tidak jarang terjadi dapat menimbulkan apatisme di kalangan pengusaha sendiri. Di lain pihak orang sering melupakan bahwa orang sering melupakan bahwa program sekali jadi yang hasilnya dapat dinikmati dalam jangka pendek. Maka perlu kiranya masyarakat digugah kembali akan pentingnya program tersebut terutama dalam rangka menciptakan kesempatan berusaha bagi golongan ekonomi lemah. Oleh karena itulah hal ini kemudian dipertegas kembali dengan adanya tekad dan kemauan politik dari pemerintah orde baru yang antara lain tercermin pada TAP MPR-RI No.IV/MPR/73 dan tersurat kembali pada TAP MPR-RI No.IV/MPR/1978.
Berbagai sarana telah tercipta dan untuk mudahnya dapat dikelompokkan dalam:
Pertama, sarana fasilitas. Sarana fasilitas sudah tidak asing lagi bagi dunia usaha swasta nasional di Indonesia, sekurang-kurangnya semenjak tahun 1957 pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan yang bersifat diskriminatif berdasarkan kewarganegaraan dan yang bermaksud untuk memberikan kedudukan yang terlindung bagi wiraswasta nasional terhadap pengusaha asing. Sebagian dari tujuan kebijaksanaan ini bermaksud untuk menyediakan lapangan usaha bagi pengusaha golongan ekonomi lemah pribumi. Beberapa contoh dapat disebutkan, antara lain adalah Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1959 yang menyediakan segala aktivitas usaha di dalam semua daerah luar kotamadya secara eksklusif bagi pengusaha nasioanl; Undang-undang No.6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam negeri yang memberikan batas waktu tertentu bagi pengusaha asing pemilik modal di dalam negeri untuk menjalankan usaha di Indonesia; Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.314/Kp/XII/70 yang menyediakan keagenan tunggal, distribusi barang-barang impor, perdagangan impor, ekspor, dan distribusi serta usaha jasa pengusaha/perusahaan nasional, serta menetepkan pula bahwa perwakilan perusahaan asing hanya dapat didirikan di satu tempat di Indonesia dan tidak boleh mempunyai cabang-cabang. Hal tersebut kemudian disusul dengan kebijaksanaan pengalihan kegiatan distribusi perusahaan asing mulai 1 Januari 1978 yang untuk tahap pertama meliputi 19 perusahaan asing.
Kedua, sarana permodalan. Berbagai tindakan telah diambil pemerintah untuk memperkuat permodalan para pengusaha nasional. Salah insentif yang peling besar dari Undang-Undang No.6 Tahun 1968 adalah bahwa undang-undang tersebut memberikan pemutiahan atas modal dalam negeri yang ditanam di rehabilitasi, pembaharuan, perluasan, dan pembangunan baru di bidang-bidang tertentu dan dengan demikian memberikan kesempatan bagi wiraswasta nasional yang telah memiliki modal tersebut dari sumber-sumber yang tidak dipertanyakan lagi untuk menggunakannya. Sejak Agustus 1971, pemerintah juga memberikan fasilitas pemutihan atas modal baru yang ditanam di dalam bank-bank yang telah menjalankan merger.
Di samping itu, sejak April 1969 pemerintah menyediakan pinjaman jangka menengah dan panjang dengan tingkat bunga yang rendah untuk keperluan investasi/kredit investasi di dalam bidang-bidang pertanian, perbankan, industri, produksi barang ekspor, pengangkutan, pariwisata, pertambangan serta prasarana. Di dalam lingkungan Dirjen Koperasi pada tahun 1970 telah didirikan Lembaga Jaminan Kredit Koperasi; lembaga ini bertugas untuk menambah jaminan koperasi-koperasi yang meminta kredit. Dengan dua cara yang berlainan, kedua badan tersebut termaksud untuk memperoleh kredit dari bank. Salah satu usaha yang dewasa ini diperkembangkan dan diperluas adalah KIK dan KMKP yang diperuntukkan khusus bagi golongan ekonomi lemah pribumi.
Sejalan dengan kebijaksanaan ini, PT. Askrindo telah ditetapkan pula untuk bertugas sebagai lembaga pemberi jaminan secara otomatis atas penutupan KIK/KMKP ini. Di lain pihak wadah-wadah yang berbentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dan Koperasi Unit Desa (KUD) disertai pula Kredit Candak Kulak (KCK) yang ditujukan bagi masyarakat dan kota kecamatan melalui pasar. Sedangkan bagi wiraswasta yang tergolong menengah PT. Bahana merupakan wahana penyertaan modal maupun manajemen dalam rangka pengembangan usaha. Namun perlu kiranya kita sadari bahwa meskipun sarana permodalan itu penting, namun bukanlah satu-satunya penunjang dalam pembinaan wiraswasta nasional.
Ketiga, sarana perlindungan. Di samping adanya peraturan-peraturan yang mengkhusukan beberapa lapangan usaha bagi pengusaha nasional, pemerintah juga telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan untuk memberikan suatu kepastian usaha bagi perusahaan-perusahaan tertentu. Contoh-contoh adalah penunjukkan perusahaan-perusahaan tertentu sebagai pemegang merk, sebagai eksportir tunggal, sebagai biro perjalanan yang diizinkan dan sebagainya, perusahaan penerbangan yang diizinkan dan sebagainya. Sarana ini sering dijadikan “perjuangan” organisasi pengusaha. Terlepas dari baik dan buruknya sarana pelindungan ini, namun nampaknya anggapan bahwa adanya proteksi dapat meningkatkan usaha masih sangat kuat di kalangan organisasi/asosiasi pengusaha maupun para wiraswasta itu sendiri.
Keempat, sarana tempat usaha. Searah dengan langkah pembangunan maka permasalah baru timbul sebagai akibat salah satu akibat dari adanya program peremajaan pasar atau lokasi pertokoan yang biasanya terkait dalam rangka penataan kembali perencanaan kota. Invstasi pada pusat-pusat perbelanjaan, terutama pada waktu yang lampau dilaksanakan dengan perhitungan komersial. Pola ini menyebabkan wiraswasta golongan ekonomi lemah biasanya kemudian tersingkir baik oleh karena tidak adanya kemampuan untuk menebus kios maupun karena lokasi kios pada tempat usaha yang baru tersebut kurang menguntungkan dibandingkan pada waktu yang lampau. Memang tidak dapat disangkal bahwa dengan pola pembiayaan peremajaan pasar seperti tersebut di atas adanya pendatang baru dengan modal yang lebih kuat tidak dapat dicegah. Keadaan yang demikian tidak mustahil mempertajam jurang pemisah antara golongan ekonomi kuat dan lemah, ditambah lagi oleh kenyataan bahwa perbedaan ini secara fisik dapat terlihat sehingga nudah menimbulkan perasaan rasialisme.
Sadar akan kemungkinan adanya gejolak sosial, maka pemerintah melancarkan program Inpres Pasar yang kemudian disusul akhir-akhir ini dengan pola pembiayaan pendirian/peremajaan pusat perbelanjaan menggunakan kredit perbankan melalui pemerintah daerah. Dengan pola pembiayaan yang baru ini diharapkan pada wiraswasta golongan ekonomi lemah dapat menggunakan kesempatan berusaha pada pasar-pasar yang telah diremajakan.
Kiranya dalam hal ini, perlu diingat bahwa pengkhususan penggunaan pusat pertokoan hanya kepada golongan ekonomi lemah adalah kurang bijaksana. Aloksi yang wajar dan proporsional antara golongan ekonomi kuat dan wiraswasta nasional yang tergolong lemah dalam suatu pasar akan banyak mendorong terciptanya pembauran usaha antara kedua kelompok tersebut. Bahkan yang diharapkan dari terciptanya perpaduan tempat usaha ini adalah dimungkinkannya pengalihan keterampilan usaha dari yang kuat kepada yang lemah. Memang tidak dapat disangkal akan perlunya kebijaksanaan pemberian priorits lokasi kios yang relatif strategis bagi golongan ekonomi lemah.
Kelima, sarana pendidikan, latihan, penyuluhan, dan konsultasi. Pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional menjadi lebih kompleks oleh karena dalam usaha menumbuhkan kebudayaan berusaha yang wajar dan sehat terpaut soal sikap para pengusaha. Oleh karena itu salah satu sasaran pembinaan golongan ekonomi lemah adalah perubahan sikap.
Sudah banyak tulisan-tulisan yang membahas soal sikap atau mental pengusaha, dan secara umum sering dikatakan bahwa para pengusaha belum mempunyai jiwa enterpreneurship. Apakah hal ini termasuk kebudayaan Indonesoa atau tidak masih memerlukan penelitian dan pengkajian yang mendalam. Namun secara umum beberapa sikap pengusaha yang menyangkut kegiatan usaha dapat diidentisir, seperti: sikap terhadap hidup. Sikap ini erat hubungannya dengan pandangan terhadap lingkungan, sikap pasrah kepada alam dan nasib.
Sikap asal jadi, dimana produksi akan sesuatu barang atau jasa tidak dilaksanakan secara kritis dan teliti. Mungkin hal ini dipengaruhi oleh masa lampau di mana pembeli itu mencari barang atau jasadan bukannya sebaliknya seperti apa yang berlaku di dewasa ini.
Sikap terhadap waktu. Pada umumnya jangkauan sikap terhadap waktu ini relatif pendek. Mungkin oleh karena pengalaman serta keadaan masa lalu membuat orang lebih memikirkan waktu sekarang dari masa datang yang mungkin gambarannya belum jelas. Sikap terhadap waktu ini mempengaruhi pula sikap terhadap uang atau modal. Sehingga keinginan untuk menabung atau investasi sering dikalahkan dengan pengeluaran yang lebih bersifat konsumtif. Sifat yang terakhir tersebut diperkuat dengan adanya sikap terhadap status dalam msayarakat. Pola penghargaan terhadap anggota masyrakat sering diukur dari pola konsumsi anggota masyarakat tersebut dan dari prestasi. Atas dalih tersebut di atas maka peranan pendidikan dan latihan bagi wiraswasta nasional tidak terlepas kaitannya dengan usaha pembinaan dan pengembangan golongan ekonomi lemah. Pentingnya pendidikan dan latihan keterampilan di bidang usaha, naik yang berupa pendidikan formal maupun non-formal, tercermin pula dari berbagai program nasional yang dewasa ini dilaksanakan. Dalam hal ini dapatlah disebutkan proyek Pembinaan Golongan Ekonomi Lemah Departemen Perdagangan dan Koperasi yang menekankan pada latihan keterampilan usaha dan konsultasi perusahaan. Kemudian kita kenal pula proyek bimbingan dan pengembangan industri kecil dari Departemen Perindustrian yang meliputi program pendidikan dan latihan, bimbingan teknik dan manajemen serta program promosi dan informasi. Di samping itu terdapat pula berbagai macam program pendidikan dan latihan yang dilaksanakan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia di pusat maupun di daerah serta lembaga pendidikan lainnya.
Mengingat bahwa sarana pendidikan, latihan, penyuluhan dan konsultasi memerlukan pendekatan serba muka serta keterampilan yang multi disipliner, maka sudah seyogyanya bahwa pengkut sertaan lembaga pemdidikan tinggi dalam program ini sangat diperlukan. Keterbatasan tenaga pelaksana yang terampil pada departemen teknis yang ditugaskan untuk menyelenggarakan program ini dapat diimbangi dengan tenaga pendidik dan penyuluh dari dunia universitas. Pendayagunaan potensi universitas akan mempunyai pengaruh timbal-balik dalam arti bahwa disamping program ini dapat dilaksanakan dalam ruang lingkup yang lebih luas juga lembaga pendidikan tinggi akan dapat lebih menghayati problema sosial politik dan ekonomi golongan ekonomi lemah untuk dapat diteliti dan dikaji lebih mendalam guna terciptanya gagasan-gagasan baru.
Kelima kelompok sarana pembinaan dan pengembangan merupakan serangkaian kebijaksanaan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sarana lain yang sering tidak disadari, bahkan mungkin dianggap merupakan penunjang bagi perkembangan dunia usaha, adalah mengenai hubungan perburuhan. Meskipun pada akhir-akhir ini pemerintah berusaha untuk menata kembali hubungan kerja yang wajar antara para buruh dan pengusaha, namun pelaksanaan dari ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah masij jauh dari yang diharapkan. Hal ini tidak lain oleh karena terbatasnya kesempatan kerja dibandingkan dengan jumlah angka kerja yang setiap tahun bertambah. Oleh karena itu pada dasawarsa ini dapatlah dikatakan bahwa secara relatif para pengusaha menduduki posisi yang lebih baik dibandingkan dengan buruh dalam hubungan kerja; suatu sarana yang umum dijumpai di negara yang sedang berkembang meskipun hal ini tidak berarti adanya produktivitas buruh yang cukup memadai.
Kalau secara sadar dan obyektif kita menilai dan mengkaji sarana pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional tersebut di atas, serta kita bandingkan dengan keadaan yang sekarang diresahkan, timbul pertanyaan mengapa program tersebut masih dirasakan kurang berhasil. Hal ini tidak lain oleh karena tolak ukur obyektif akan keberhasilan dalam usaha tersebut belum ada, apalagi kalau kita menginginkan ukuran yang dapat diandalkan validitasnya. Ukuran-ukuran yang ada biasanya tercetus secara relatif dari gejolak sosial-politik dan ekonomi dalam masyarakat yang sekaligus dapat merupakan indikator yang perlu kita perhatikan dengan seksama.

Mencari Titik Temu antara Aspirasi Wiraswasta dan Iklim Usaha
Dalam menelusuri kembali sejarah usaha pembinaan dan pengembangan wiraswasta nasional, beberapa hal dapat kita kaji kembali untuk mencari titik-titik kesamaan antara harapan golongan ekonomi lemah di satu pihak dan tugas pemerintah untuk membimbing, mengarahkan dan menciptakan iklim usaha dalam alam demokrasi ekonomi guna mendorong perkembangan wiraswasta nasional.
Dari penelitian dan pengalaman konsultasi pada dasarnya para pengusaha golongan ekonomi lemah masih menganggap faktor lingkungan usaha sebagai variabel utama di dalam keberhasilan berusaha dewasa ini.
Hal-hal yang dirasakan belum tercermin dalam iklim usaha pada waktu ini antara lain adalah, persaingan tidak sehat yang tercermin dalam kesempatan usaha yang belum merata; terkait dengan hal ini adalah masalah perizinan, retribusi dan pungutan lainnya serta hubungan dengan sektor perbankan yang belum memenuhi harapan. Penetapan pajak masih tetap dirasakan sebagai beban di samping itu peraturan pemerintah yang berubah-ubah menyebabkan ketidak pastian berusaha. Kesemuanya itu sering dijadikan tuntutan para wiraswasta nasional.
Di lain pihak secara obyektif dapatlah kita katakan bahwa hambatan yang dirasakan oleh golongan ekonomi lemah ini pun dihadapi olej golongan ekonomi kuat. Persoalan pokok yang kitanya perlu kita kaji adalah bagaimana cara pengelolaan batasan-batasan iklim usaha yang demikian adanya itu untuk kemajuan usaha golongan ekonomi lemah. Memang di sinilah mungkin letak perbedaan yang esensial mengenai seni berusaha golongan ekonomi kuat yang dengan batasan iklim usaha yang ada bisa lebih maju dari rekannya wiraswasta nasional.
Penekanan yang berlebihan dalam asas perjuangan golongan ekonomi lemah akan hal-hal tersebut di atas kuranglah pada tempatnya apabila tidak diimbangi dengan usaha membenahi diri dalam arti memperbaiki keadaan dalam perusahaan mereka itu sendiri. Problema dalam perusahaan wiraswasta nasional umumnya berkisar soal keuangan, yang tentunya terkait pada kredit investasi maupun kredit modal kerja. Manajemen dan pembagian tugas yang belum dapat diandalkan, terutama pada perusahaan yang berdasarkan keluarga. Sering dijumpai bahwa tidak adanya pemisahan harta kekayaan perusahaan dan pribadi yang tercermin pula pada lemahnya administrasi keuangan dan pembukuan. Tidak adanya kesadaran mengenai kalkulasi biaya dan informasi pasar menambah sukarnya untuk berkembang lebih lanjut. Kiranya para pengusaha golongan golongan ekonomi lemah perlu menyadari akan pentingnya membenahi diri dalam bidang-bidang tersebut.
Dari uraian di atas, jelas bahwa orientasi golongan ekonomi lemah masih lebih mementingkan adanya pelayanan “istimewa”, yang kiranya agak sukar bagi pemerintah untuk memberikan kebijaksanaan menyeluruh yang berpangkal tolak pada status golongan ekonomi kuat dan lemah tanpa menimbulkan resiko gejolak rasialisme. Dalam hal ini adalah lebih wajar bahwa penyelesaian dapat dilaksanakan melalui suatu perundang-undangan atau peraturan yang mengatur ruang lingkup dan jenis kegiatan dalam roda ekonomi bagi golongan ekonomi lemah, sedang dan kuat. Adanya semacam tingkatan kegiatan maupun usaha jenis usaha yang diperuntukkan bagi usaha kecil, menengah, dan besar dalam struktur perekonomian akan lebih menjamin keserasian usaha. Hal ini pun akan mendorong pula pola sub-kontrak pekerjaan dari yang besar kepada yang menengah dan kecil, sehingga di satu pihak kita dapat menghindari adanya pemupukan “kegiatan produksi dan perdagangan terpadu” pada satu kelompok, sedangkan di pihak lain pola ini dapat pula memberikan peluang kerja dan pengalihan keterampilan bagi para pengusaha golongan ekonomi lemah.
Membicarakan iklim usaha dalam mencari titik temu antara aspirasi wiraswasta nasional dengan lingkungannya tidaklah lengkap bila tidak membicarakan soal aparatur negara. Sadar akan kelemahan aparaturnya pemerintah pada dasarnya telah bertekad untuk menatanya kembali sehingga dapat lebih peka terhadap masalah pembangunan. Namun jangan dilupakan bahwa dengan gerak pembangunan dan perubahan sosial ekonomi yang relatif demikian cepatnya ini aparatur pemerintah sering tidak bisa mengimbanginya, hal ini tercermin antara lain dari terbatasnya daya absorbsi aparatur negara itu sendiri. Sehingga sering kita jumpai kurangnya kesadaran dari aparatur negara sendiri terhadap pentingnya pembinaan dan pengembangan golongan ekonomi lemah. Kritik semcam ini sering pula dilemparkan kepada sektor perbankan, terutama dalam rangka program KIK dan KMKP. Bahkan ada sementara pandangan yang mengatakan bahwa bank-bank pelaksana kurang mempunyai orientasi pembangunan. Kiranya kita jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan tanpa melihat permasalahannya dengan lebih mendalam. Selama hasil kerja pimpinan bank pelaksana diukur dengan kriteria komersial pula. Sedangkan kita ketahui untuk memenuhi kriteria komersial dalam mendapat kredit inilah justru para pengusaha golongan ekonomi lemah itu mengalami kesukaran. Di lain pihak sering kita jumpai pula bahwa daya absorbsi golongan ekonomi lemah tidak cukup untuk memanfaatkan peluang usaha yang terbuka. Sehingga tidak jarang terjadi bahwa daya absorbsi golongan ekonomi lemah tidak cukup untuk memanfaatkan peluang usaha yang terbuka. Sehingga tidak jarang terjadi bahwa kesempatan tersebut kembali dimanfaatkan oleh golongan ekonomi kuat. Dilema-dilema semcam itulah kiranya dapat dipecahkan secara tuntas baik antar aparatur negar amaupun di kalangan para pengusaha golongan ekonomi lemah itu sendiri.
Salah satu titik temu yang sering didambakan dan dihimbau oleh masyarakat adalah adanya pembauran usaha antara golongan ekonomi kuat dan lemah. Perlu kita sadari bahwa pembauran dalam dunia usaha akan memerlukan waktu yang relatif panjang karena masih diperlukannya penjajagan oleh masing-masing pihak. Usaha-usaha persuasi akan lebih langgeng dan berhasil dibandingkan dengan adanya paksaan oleh karena itu kesadaran dari kedua belah pihak sangat diperlukan. Dalam hal ini berbagai usaha telah dirintis baik melalui organisasi Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa di pusat dan di daerah maupun melalui Yayasan Karya Bhakti Pengusaha Nasional Swasta Indonesia. suatu organisasi yang beranggotakan para pengusaha yang relatif kuat dengan tujuan untuk menolong pengusaha yang lemah. Menarik pula usaha beberapa tokoh pengusaha non-pribumi untuk mengadakan liberalisasi dari kebijaksanaan personalia. Hal ini diartikan sebagai usaha untuk lebih banyak menerima tenaga-tenaga pribumi bukan saja pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi. Di samping itu ada pula penyertaan kalangan pribumi ke dalam usaha non-pribumi dalam bentuk patungan berasaskan hak yang sama. Keberhasilan dalam pembauran ini masih jauh, namum setidak-tidaknya langkah telah diayun ke arah saling pengertian serta tenggang rasa.

Tidak ada komentar: