21 Januari 2009



Sejarah Singkat Gedung De Javasche Bank (Museum Bank Indonesia)


De Javasche Bank resmi berdiri di Batavia pada 24 Januari 1828 berdasarkan Octrooi. Pada waktu itu De Javasche Bank adalah perusahaan swasta yang modalnya berasal dari 34 pemegang saham.

Sebagai perusahaan swasta yang bergerak di bidang perbankan, kegiatan De Javasche Bank berkaitan erat dengan perdagangan hasil bumi dari berbagai penjuru Hindia Belanda, oleh karena itu De Javasche Bank tidak saja memiliki kantor di Batavia, tetapi juga di beberapa kota besar seperti Semarang, Surabaya, Medan, Solo, dan lain-lain. Pentingnya komoditi hasil bumi bagi De Javasche Bank terlihat pada kaca patri yang menjadi ornamen hias gedung.

Sejarah Gedung
Pada awal berdirinya, De Javasche Bank menempati bangunan dua lantai bekas rumah sakit dalam kota, yang saat itu dikenal dengan nama Binnenhospital. Gedung berbentuk L ini terletak di sisi jalan Bank dan pinggir Kali Besar. Pada saat itu Binnenhospital berada persis di sebelah dalam tembok kota tua Batavia.

Sesuai dengan perkembangan zaman, kegiatan De Javasche Bank makin banyak. Kapasitas gedung sudah tidak memadai dengan kebutuhannya sebagai bank besar, sehingga dimintalah Biro Arsitek Ed Cuypers en Hulswit untuk merancang renovasi dan perluasan gedung. Biro arsitek ini adalah konsultan arsitektur terkemuka yang didirikan di Batavia pada 1908 sebagai cabang dari biro yang sama di Amsterdam. Maka dimulailah pembangunan perluasan gedung dengan menambahkan beberapa unit baru.

Kronologis Renovasi
Kronologis pembangunan adalah sebagai berikut:
Tahap 1: 1909-1912
Tahap 2: 1922
Tahap 3: 1924
Tahap 4: 1933-1935

Pada tahap satu pembangunan difokuskan pada penyediaan beberapa fungsi baru yang sebelumnya tidak ada. Unit-unit tersebut adalah ruang-ruang berlapis baja tempat penyimpanan benda berharga (pantserkluizen atau lazim disebut kluis, atau yang sekarang dikenal dengan nama ruang khasanah). Oleh Biro Arsitek Ed Cuypers en Hulswit bangunan baru ini direnovasi menjadi lebih dekoratif dan bergaya neo klasik. Kelihatannya Biro Arsitek Ed Cuypers en Hulswit terpengaruh dengan tren yang saat itu tengah berkembang di Eropa, yaitu aliran arsitektur Beaux Arts. Aliran ini dipelopori oleh para arsitek lulusan sekolah arsitek bergengsi, Ecole des Beaux Arts, di Paris. Aliran ini amat terbuka dalam memanfaatkan gagasan-gagasan karya seni lain ke dalam rancangan arsitektur bangunannya. Ini terlihat jelas pada berbagai elemen bangunan luar ruang maupun interior gedung ini. Gaya ‘Arts and Craft’, ‘Art Nouveau’, dan ‘Art Deco’ memperkaya unsur dekoratif bangunan. Itu sebabnya bangunan ini menjadi karya arsitektur penting di Hindia Belanda. Selain itu, bangunan ini merupakan gedung bergaya Eropa pertama di Hindia Belanda yang memasukkan unsur-unsur domestik dalam ragam hiasnya, seperti elemen dekoratif yang berasal dari makara maupun kolom-kolom dari candi-candi hindu maupun bentuk stupa.

Kemudian pada tahap dua perluasan yang dilakukan tidak mengubah bentuk arsitektur bangunan maupun tampilan luarnya. Fokus renovasi tahap dua ini adalah dengan menambah beberapa kluis, ruang arsip, ruang rapat besar, dan rumah penjaga. Ruang rapat besar ini kemudian dikenal dengan nama Ruang Hijau karena dindingnya ditutup keramik hijau yang didatangkan dari Martin & Co, Amsterdam. Konstruksi ruang lapis bajanya dibuat khusus oleh perusahaan LIPS dari Dordrect. Dinding, lantai, dan plafon dibuat dari beton setebal 65 cm diperkuat dengan baja ulir dan dinding ganda. Pada setiap sudut dinding luar dipasang cermin sudut untuk kepentingan keamanan.

Pembangunan yang dilakukan pada 1924 sebetulnya hanya meneruskan apa yang sudah dikerjakan pada tahap sebelumnya (1922) dengan menyelesaikan unit bangunan di sepanjang jl Bank (dulu disebut Javabankstraat). Bangunan baru ini menggantikan bangunan bekas rumah sakit, sehingga sudah tidak tersisa lagi bangunan bekas rumah sakit Binnenhospital tersebut.

Dan pada tahap terakhir, 1933-1935, terdapat beberapa tambahan baru, seperti kluis yang ditempatkan di sisi jalan Pintu Besar Utara (dulu jalan Binnen-Nieuwpoortstraat), tampak depan (di sisi jalan Pintu Besar Utara) dirombak tampilannya menjadi lebih sederhana, tambahan ruang effecten baru, dan juga unit baru yang megah, yang ditempatkan di tengah-tengah.

Sedangkan sejak 1935 sampai sekarang perubahan dan renovasi tidak ada yang dilakukan secara besar-besaran sehingga mengubah bentuk terakhir (1935). Perubahan yang terjadi lebih karena harus menyesuaikan dengan kebutuhan praktis atau karena fungsi ruang yang berubah. Perubahan dilakukan dengan menutup koridor menjadi ruangan baru ataupun membagi ruangan lama dengan partisi dan diding baru.

Unsur dekoratif dari gaya ‘Beaux Arts’ terus bertahan hingga kini. Unsur-unsur tersebut dapat dilihat dari bentuk-bentuk ragam hias dan ornamen yang terdapat pada gedung, seperti misalnya jendela dormer, louver, balustrade, kolom-kolom dengan kepala dekoratif, pilaster, bukaan dinding arcade, ressaut, ataupun kaca patri.

Kaca Patri
Kaca-kaca patri di gedung ini dipesan dari studio Jan Schouten, Delft, Belanda—diperkirakan pada sekitar 1922, 1924, dan 1935, ketika gedung ini dibangun. Karena dirawat dengan hati-hati, sampai saat ini kondisi kaca-kaca patri ini masih baik. Kaca patri ini adalah kaca yang dilukis dan diberi warna dengan cara dibakar hingga 1.100°C agar mendapat kualitas warna yang terbaik. Setelah diwarnai, kaca tersebut dirangkai menjadi beragam motif dengan menggunakan patrian timah. Motif lukisan kaca patri di gedung ini kebanyakan mewakili berbagai aspek seputar perdagangan dan kehidupan di Hindia Belanda.

Kaca patri lobi
Kaca patri di lobi ini terdiri dari tiga bagian. Di baris paling atas, sebelah kiri, menunjukkan seorang dewi berlambang kota Batavia (sebagai tempat berdirinya De Javasche Bank); dan di sebelah kanan menunjukkan seorang dewi berlambang kota Surabaya. Kaca-kaca patri di baris tengah menggambarkan berbagai kegiatan seni, seperti menyanyi, fotografi, drama, mematung, pembuatan film dan keramik. Pada baris terbawah, digambarkan berbagai aktivitas masyarakat Hindia Belanda kala itu. Dua yang paling kiri menggambarkan kegiatan bertenak dan bertani; di tengah menunjukkan dua kapal—kapal bermesin uap dan kapal layar—yang melaut mengangkut kekayaan Nusantara; dan dua yang paling kanan menggambarkan kegiatan panen dan membatik.

Kaca patri Ruang Hijau
Kaca patri di ruang hijau ini menggambarkan komoditi utama pada saat itu, seperti hasil tambang (minyak bumi, timah), hasil perkebunan (tembakau, kopi, coklat), rempah-rempah (lada, pala), dan hasil bumi lainnya yang dianggap penting (garam).

Kaca patri tangga
Kaca patri yang berada di ruang tangga tiga menggambarkan Dewa Merkurius yang merupakan dewa pelindung perdagangan, di bawahnya tertera tulisan “De Javasche Bank Gericht Anno 1828” atau “De Javasche Bank, didirikan pada 1828”.

Di bawah kaca patri Merkurius terdapat tiga kaca patri kecil dengan lambang tiga kota penting dalam perdagangan di Pulau Jawa kala itu, yaitu lambang kota Semarang, Surabaya, dan Batavia.

Lokasi Gedung

Kantor pusat De Javasche Bank atau yang kemudian diteruskan oleh Bank Indonesia ini terletak di kawasan ‘Kota’. Kawasan ini adalah kawasan tertua di wilayah Jakarta. Nama yang disandangnya sejak pendudukan Belanda yang pertama kali di Jawa pada abad ke-17 adalah Batavia. Gedung ini terletak di jalur utama yang membelah kota lama dengan balai kotanya yang dibangun pada abad ke-18 di utara dan kota baru dengan alun-alun baru di sebelah selatan yang dibangun pada awal abad ke-20.

Sebagai wilayah yang pertama kali dibangun oleh Belanda, Kota juga merupakan pelabuhan utama yang memasok segala kebutuhan termasuk sebagai bandar perdagangan yang cukup penting, karena kapal-kapal dagang dari seluruh penjuru dunia berlabuh di Batavia untuk berdagang.

1 komentar:

Caroline mengatakan...

Mas Ikbal, thanks banget infonya :) lebih in depth sampai dgn info tahap renovasi gedung javasche bank. Dapat info dr mana? :)