03 Desember 2009

KAPAL-KAPAL NUSANTARA

MENUJU JAYAKARTA

CATATAN sejarah mengenai masyarakat pertama kali yang bermukim dan hidup secara teratur di kawasan yang kini dinamakan Jakarta, diduga adalah penduduk Kerajaan Tarumanegara, sekitar abad ke-5. Saksi tertua akan informasi tersebut adalah Prasasti Tugu, yang hampir seribu empat ratus tahun lamanya tertanam di desa Batu Tumbuh (Tugu), Jakarta Utara, dan pada tahun 1911 dipindahkan ke Museum Nasional. Bekas tempat berdirinya prasasti itu kini tertutup jalan aspal, walaupun inilah monumen historis tertua tentang Jakarta.

Tentang Prasasti Tugu ini, A.Heuken SJ (Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta), menyebutkan bahwa prasasti tersebut berkaitan dengan empat prasasti tua di Jawa lainnya yang berasal dari masa Purnawarman, penguasa Kerajaan Tarumanegara. Keempat batu lainnya yang juga ditulis dalam bahasa Sansekerta adalah: Prasasti Ciaruteun, Prasasti Cidanghiang (Lebak), Prasasti Kebon Kopi (Ciampea) dan Prasasti Jambu (Nanggung; sebelah barat Bogor).


Pada akhir abad ke-7, Kerajaan Tarumanegara diduga kuat sudah lenyap. Daerahnya takluk pada Sriwijaya untuk kemudian pada abad ke-11 berada pada pengaruh Jawa sebagaimana ditunjukkan melalui Prasasti Citatih (Cibadak, 1030 M). Tentang istilah Sunda (Kelapa) itu sendiri baru muncul pada abad ke-10, sebagaimana Prasasti Kebon Kopi II (942 M) dan sebuah catatan (buku) Cina yang mengandung uraian tentang Sunda, Chu-fan-chi, karangan Chau Ju-kua (1178-1225).

Menurut Abdurrachman Surjomihardjo (Sejarah Perkembangan Kota Jakarta), berita-berita tentang adanya masyarakat yang menetap di daerah Jakarta sekarang ini pasca Purnawarman hingga datangnya Portugis tidak banyak jumlahnya. Baru pada awal abad ke-16 terdapat lagi berita-berita mengenai bekas daerah Purnawarman itu.


Di daerah itu muncul pelabuhan yang dikenal sebagai Sunda Kelapa yang berada dalam pengawasan kerajaan Hindu Sunda, Kerajaan Pakuan Pajajaran, dengan Ibukota kerajaannya terletak di sekitar Batutulis (Bogor). Orang-orang Tionghoa golongan tua yang ternyata telah cukup lama berkunjung ke kawasan ini kadang masih menyebut Sunda Kelapa sebagai Kota Yecheng atau Kota Kelapa.

Adalah Tome Pires (The Suma Oriental), seorang musafir Portugis yang mengunjungi Sunda Kelapa, menuliskan bahwa pelabuhan ini telah dikunjungi kapal-kapal dari Palembang, Tanjungpura, Malaka, Makasar, Madura dan juga pedagang-pedagang dari India, Tiongkok Selatan dan kepulauan Ryuku (kini Jepang). Pires yang datang bersama Enrique Leme, utusan Gubernur Jenderal Portugis, d'Alboquerque, tiba di Sunda Kelapa pada 1522.


Kehadiran mereka ini memang telah ditunggu Raja Sunda Samian atau Sangiang (Sang Hyang) Surawisesa (1521-1535), yang ketika masih menjadi putra mahkota sempat mengunjungi d'Alborquerque yang telah menguasai Malaka sejak 1511. Dan selanjutnya, pada 21 Agustus 1522 disepakati sebuah perjanjian persahabatan antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Portugal. Menurut A.Heuken SJ (Historical Sites of Jakarta), "inilah perjanjian internasional pertama di negara kepulauan yang kemudian dikenal sebagai Indonesia kini".
Di dalam tulisan J.D. Baros (Da Asia), dalam perjanjian itu, saksi dari Sunda Kelapa adalah 'Padam Tumongo, Ssamgydepati et Bemgar, - yakni Paduka Tumenggung, Sang Adipati dan (Syah)bandar dan dari pihak Portugis delapan orang. Masing-masing, Fernao de Almeida (bendahari pelayaran); Fransisco Eanes (pencatat muatan); Joao Countinho; Gil Barbosa; dan Thome Pinto.


Menurut Hoesein Djajadiningrat (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten), perjanjian itu (tidak ditandatangani oleh pihak Sunda, tetapi) disyahkan menurut adat dengan mengadakan selamatan.

Sebagai tanda perjanjian tersebut, sebuah batu besar ditanam di pantai. Batu yang disebut padro itu ditemukan kembali pada tahun 1918, waktu dilakukan penggalian untuk membangun rumah baru di pojok persimpangan Prinsen Straat dan Groene Straat di Jakarta Kota. Jalan-jalan itu sekarang bernama Jl Cengkeh dan Jl Nelayan Timur. Adapun batu padrao sekarang disimpan dalam Museum Nasional di Jl. Medan Merdeka Barat. Lokasi semula batu ini menunjukkan, bahwa pantai pada awal abad ke-16, kurang lebih lurus dengan garis yang kini menjadi Jl. Nelayan.


Tentang kenapa Raja Pakuan Pajajaran menerima perjanjian tersebut diduga karena mereka memandang kehadiran Portugis akan memperkokoh posisi mereka dalam urusan niaga terutama lada, maupun dalam menghadapi tentara Islam dari Kesultanan Demak, yang kekuatannya sedang naik daun di Jawa Tengah.

Tentu saja, Perjanjian Sunda-Portugis ini mencemaskan Sultan Trenggana dari Demak. Maka, karena itu pada tahun 1526/1527, Fatahillah, panglima pasukan Cirebon, yang bersekutu dengan Demak, mendatangi Sunda Kelapa dengan 1.452 orang tentara. Dan sejak itu, penduduk Sunda yang terkalahkan mundur ke arah Bogor.


Adapun Jayakarta (nama baru Sunda Kelapa sejak 1527) dihuni oleh 'Orang Banten' yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon bersama saudagar-saudagar Arab dan Tionghoa di muara Ciliwung. Adapun penguasaannya berada di bawah Cirebon dan untuk kemudian di bawah Banten.

Menurut perhitungan dan perkiraan Dr. Soekanto, kejadian itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527, yang kini dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta. Menurut Soekanto, pada hari itu Fatahillah memberi nama baru pada Sunda Kelapa karena kemenangannya atas tentara Hindu Sunda dan awak kapal Portugis. Tetapi, dasar historis hipotesis tersebut ada beberapa yang meragukannya. Setidaknya Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo pada tahun 1956, sewaktu menghadiri perayaan pertama hari ulang tahun Jakarta merasa terheran-heran dan setengah mengejek 'peringatan ganjil' itu.


Sementara itu, menurut Prof.Dr.Slametmuljana dari Universitas Indonesia, penamaan kota ini menjadi Jayakarta baru diperoleh dari adipati yang ketiga, yakni Pangeran Jayawikarta atau Wijayakarta. Namun, belum terdapat data sejarah yang pasti membenarkan salah satu hipotesis tersebut. Hanya saja, Walikota Soediro (1952-1960), memperoleh dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk teori Dr. Soekanto. Maka, pemerintah Jakarta berpegang pada teori ini. Keputusan 1956 tersebut disebut sebagai 'kemenangan Soediro' berlandaskan 'kemenangan Fatahillah' yang kurang pasti tanggalnya. Dengan demikian, sebagaimana diungkapkan ahli sejarah Abdurrachman Surjomihardjo, perdebatan historis itu telah diselesaikan (?) dengan keputusan politis.

Dan, menurut Dr. Soekanto, sebagai seorang pimpinan Muslim, Fatahillah tentu teringat kepada Surah Al-Fath, ayat 1, yang berbunyi, "Inna fatahna laka fathan mubinan," (Sungguh Kami telah memberi kemenangan kepada mu, kemenangan yang tegas atau Jayakarta). Sementara menurut Abdurrachman Surjomihardjo, di samping itu, sering pula dipakai kata Surakarta, yang berarti karya yang berani dan sakti. Tetapi nama Jayakarta lebih terpakai. Adapun, nama Jakarta itu sendiri muncul pertama kali dalam buku Joao de Barros, Da Asia…, (Xacatra por outro nome Caravam - 'Xacatra yang disebut juga Caravam (=Karawang).
Naskah ini diterbitkan pada tahun 1552 dari sumber yang lebih tua. **
Mencari Sosok Gubernur Bank Indonesia Yang Ideal


Tidak terasa sudah lebih dari 6 bulan, Bank Indonesia berlayar di tengah-tengah kekacauan ekonomi Indonesia tanpa kehadiran seorang Nakhoda. Semenjak Gubernur Bank Indonesia, Boediono mengundurkan diri karena menjadi Wakil Presiden pada bulan Mei 2009, praktis sampai hari ini Bank Indonesia tidak lagi memiliki seorang leader. Memang, jabatan Gubernur Bank Indonesia saat ini dilaksanakan oleh Deputi Gubernur Senior. Akan tetapi, hal itu kurang lengkap, mengingat Bank Indonesia saat ini berada dalam titik terendah kepercayaan publik akibat kasus Bank Century, maka kehadiran sosok Gubernur yang mampu menyelesaikan polemik Bank Century dan membawa Bank Indonesia menjadi bank sentral yang kredibel sangat dibutuhkan.

Merefleksikan diri dengan sejarah, apabila kita kembali ke masa lalu maka akan didapatkan bahwa sosok yang menjadi Gubernur Bank Indonesia seolah menjadi sasaran tembak bagi kepentingan-kepentingan politik. Sejarah berbicara bahwa sebagian besar Gubernur Bank Indonesia selalu tersandung dengan masalah hukum saat menjabat ataupun setelah tidak lagi menjabat. Praktis, hanya Loekman Hakim, Soetikno Slamet, Soemarno, Radius Prawiro, Rachmat Saleh, Arifin Siregar, dan Adrianus Mooy yang 'aman' lolos dari jeratan hukum saat menjadi Gubernur Bank Indonesia.

Dimulai dari Gubernur Bank Indonesia yang pertama, Sjafruddin Prawiranegara. Kegigihan beliau untuk menjadikan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen menjadikan bumerang bagi kepemimpinannya di Bank Indonesia. Pemerintah saat itu yang sedang kekurangan uang, terus meminta kepada Bank Indonesia. Sjafruddin, sebagai sosok yang keras tentu saja terus berusaha menolak hal itu, karena akan mengakibatkan dampak yang kurang baik bagi perekonomian Indonesia, dan itu terbukti saat inflasi Indonesia mengalami lonjakan di pertengahan dekade 1950-an. Perlawanan yang dilakukan oleh Sjafruddin membuat pemerintah berang, dan akhirnya menuduh Sjafruddin terlibat dalam pemberontakan PRRI di Sumatera. Sjafruddin kemudian dicopot dari jabatannya pada Januari 1958, dan menjadi buron pemerintah, bahkan sempat dipenjara.

Gubernur Bank Indonesia selanjutnya yang mengalami masalah dengan hukum adalah Jusuf Muda Dalam. Penggagas pembentukan bank tunggal ini, dihukum mati oleh Pemerintah Orde Baru karena kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia. Masa kepemimpinan Jusuf Muda Dalam yang singkat (3 tahun) menjadikan Bank Indonesia sebagai kasir bagi proyek-proyek pemerintah. Perekonomian terpuruk, inflasi meroket, dan keadaan sosial-politik sangat carut-marut waktu itu.

Setelah 30 tahun mengalami masa yang tenang, tanpa gejolak politik dan ekonomi yang kuat, maka pada tahun 1997-1998 Gubernur Bank Indonesia kembali menjadi pesakitan di depan hukum. Soedradjad Djiwandono, Gubernur Bank Indonesia saat itu, harus berurusan dengan hukum karena kebijakannya dalam kasus BLBI yang berpotensi merugikan negara hingga ratusan triliunan rupiah. BLBI yang awalnya kebijakan untuk menyelamatkan sistem perbankan nasional dari kehancuran total, malah menjadi buah simalakama bagi Bank Indonesia. Masyarakat yang tidak banyak mengetahui bahwa BLBI merupakan kebijakan pemerintah, dan Bank Indonesia hanya sebagai pelaksana kebijakan saja, menghujat Bank Indonesia sebagai bank sentral yang gagal. Uang ratusan triliun yang seharusnya bisa membantu rakyat yang sedang mengalami krisis justru diberikan kepada bankir-bankir hitam dan banyak yang dilarikan ke luar negeri. Hingga saat ini, benang kusut kasus BLBI belum terurai secara rapi, dan masih banyak aset negara yang perlu dikembalikan untuk modal pembangunan. Soedrajad Djiwandono dan jajaran direksinya pada waktu itu, mungkin belum bisa tenang sampai hari ini. Kasus BLBI terus dibiarkan mengambang oleh aparat penegak hukum, kadang hangat...kadang dingin...tergantung mood pemerintah untuk mengungkapkan kasus ini. Jadi, saya berpikir bahwa kasus ini akan menjadi cacat bagi penegak hukum dalam memberantas kejahatan kerah putih di Indonesia.

Pada tahun 1999, angin segar berhembus ke Bank Indonesia. Independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mengatur bidang perbankan, moneter, dan sistem pembayaran benar-benar membuat Bank Indonesia bebas untuk menentukan arah kebijakaannya demi memperlancar recovery dan stabilisasi perekonomian Indonesia pasca krisis. Akan tetapi, independensi Bank Indonesia justru menjadi semacam kutukan bagi para Gubernur yang memimpinnya. Seluruh Gubernur Bank Indonesia pada masa ini selalu tersandung dengan masalah hukum. Kerja keras Gubernur Bank Indonesia untuk mengeluarkan Indonesia dari berbagai krisis dianggap tidak berarti. Masalah ekonomi memang tidak ada, tetapi kasus-kasus yang menimpa Gubernur Bank Indonesia banyak terjadi di ranah politik, wilayah yang sebenarnya bukan menjadi core dari Bank Indonesia.

Syahril Sabirin, Gubernur Bank Indonesia periode 1998-2003, di tengah-tengah masa jabatannya tersandung masalah Bank Bali yang juga belum selesai sampai saat ini. Keinginan Gus Dur (Presiden Indonesia 1999-2001) untuk melengserkan beliau dari kursi BI 1 ternyata tidak berhasil. Syahril yang merasa tidak bersalah terhadap skandal Bank Bali terus dikejar dan malah sempat dijadikan tersangka dan mendekam di tahanan selama beberapa hari. Nuansa politis terhadap kasus Syahril sangat kuat, bahkan melibatkan pejabat pemerintahan saat itu. Syahril berhasil menyelesaikan jabatannya sampai pada waktunya, akan tetapi hal ini menjadi catatan buruk prestasinya yang telah berhasil membantu Indonesia keluar dari krisis yang parah.

Gubernur pengganti Syahril, yaitu Burhanuddin Abdullah (2003-2008) dapat dikatakan sangat tragis nasibnya. Prestasi beliau yang sangat mengagumkan karena membawa stabilisasi bagi perekonomian Indonesia ternyata tidak dianggap sama sekali. Dugaan penyaluran dana 100 miliar ke DPR untuk memuluskan pembahasan amandemen UU Bank Indonesia di tahun 2004 ternyata menjadi onak di masa jabatannya. Dia beserta beberapa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia yang lain menjadi pesakitan di depan pengadilan, hanya karena kebijakannya yang sebetulnya bukan kemauan dari Bank Indonesia. Kita semua mahfum, bahwa DPR merupakan lembaga wakil rakyat yang justru bukan representasi dari suara rakyat. Banyak oknum di DPR yang menjadi makelar undang-undang, dan terus meminta uang kepada lembaga yang akan diatur oleh undang-undang yang bersangkutan. Kini, Burhanuddin harus mendekam selama 5 tahun di dalam tahanan. Waktu yang sangat lama untuk seseorang yang dikenal bersih dan jujur seperti Burhanuddin.

Gubernur Bank Indonesia yang terakhir, yaitu Boediono (2008-2009) saat ini sedang tidak nyenyak tidurnya, karena adanya skandal Bank Century yang melibatkan diri beliau dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kucuran dana sebesar lebih dari 6.5 triliun untuk penyelamatan Bank Century banyak digugat oleh rakyat. Kemana dan untuk apa dana sebesar itu diberikan, padahal Bank Centruy bukanlah bank besar..?? bola salju kasus ini terus menggelinding, dan memunculkan banyak interpretasi di masyarakat. Audit investigatif BPK telah diserahkan, PPATK sedang membuat laporan aliran dana, hak angket telah disetujui, dan Pansus DPR telah dibuat. Semua itu untuk menguak tabir hitam di balik skandal dana Bank Century. Akan tetapi saya yakin, Boediono tidak bersalah dalam hal ini. Dia hanya sebagai pengambil keputusan yang mendegar masukkan dari para bawahannya. Dia tidak akan mempertaruhkan reputasinya sebagai orang yang bersih, jujur, dan anti korupsi hanya karena sebuah kebijakan.

Nah, bagaimanakan seharusnya sosok Gubernur Bank Indonesia yang ideal agar kejadian-kejadian di atas tidak terulang lagi. Cerdas, ahli, pegawai karier, dan jujur saja bukanlah sesuatu yang cukup. Dia harus mempunyai pandangan ke depan tentang perekonomian Indonesia, dan kuat dalam bargainning politik dengan pemerintah dan DPR. Ekonomi Indonesia yang sangat rentan di masa depan, membutuhkan sosok Gubernur Bank sentral yang tajam intuisinya dan mampu membuat kebijakan untuk mengantisipasi kondisi perekonomian yang memang tidak stabil. Kemudian, sosok yang kuat dalam bargainning politik juga sangat dibutuhkan sebagai seorang Gubernur Bank Indonesia. Jangan sampai, kasus para Gubernur Bank Indonesia pasca Independensi terulang kembali kepadanya. Dia harus mampu melobi pemerintah dan DPR, serta mampu mengatasi konflik kepentingan yang kerap terjadi diantara dua lembaga tersebut. Satu hal lagi mengenai sosok Gubernur Bank Indonesia yang ideal adalah dia mampu membawa Bank Indonesia sebagai lembaga yang terbuka dan dikenal oleh masyarakat. Banyak masyarakat yang belum mengenal tugas-tugas Bank Indonesia, sehingga ketika ada kasus tentang ekonomi mereka seolah-olah menunjuk Bank Indonesia sebagai pelakunya. Sudah saatnya Bank Indonesia keluar dari menara gading, dan terjun ke masyarakat, tidak lagi sebagai supervisor yang hanya menerima laporan, tetapi langsung faca to face dengan masyarakat. Semoga kriteria-kriteria tersebut ada di dalam sosok Gubernur Bank Indonesia yang baru....dan dia menjadi Ratu Adil bagi Bank Indonesia...Kita lihat saja nanti....