12 Maret 2008


KRISIS MONETER DI INDONESIA:

Pendahuluan
Krisis nilai tukar yang terjadi sebagai akibat penularan dari krisis di Thailand telah melanda Indonesia dalam tahun 1997-1999, tidak saja di bidang ekonomi tetapi berkembang menjadi krisis multidimensi. Hal tersebut terjadi karena krisis moneter di Indonesia secara cepat menjalar menjadi krisis perbankan, krisis ekonomi, dan berlanjut ke krisis sosial-politik dan bidang-bidang lain.
Depresiasi Rupiah yang besar telah menyebabkan berbagai kesulitan. Para pengusaha mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban luar negeri yang jatuh waktu dan untuk mengimpor bahan baku yang diperlukannya. Bank-bank mengalami kesulitan dari rentetan masalah yang dihadapi nasabah dalam membayar hutang-hutang mereka, ditambah lagi dengan adanya sebagian masyarakat melakukan spekulasi di tengah-tengah perkembangan yang semakin memprihatinkan. Krisis tersebut kemudian menyebabkan berkurangnya kepercayaan investor asing terhadap prospek perekonomian Indonesia, sedangkan pada saat yang bersamaan prospek ekonomi di kawasan lain, khususnya Amerika, sangat menjanjikan. Modal asing yang selama ini turut membiayai pembangunan ekonomi Indonesia tidak masuk lagi, bahkan mengalir keluar secara bersamaan dan dan dalam jumlah yang besar. Akibatnya, gejolak nilai tukar telah menimbulkan berbagai kesulitan ekonomi yang sangat parah, dan stagflasi mewarnai ekonomi Indonesia sehingga aktivitas ekonomi merosot tajam. Pada paruh pertama tahun 1998, misalnya, kegiatan ekonomi mengalami kontraksi sebesar 12% per tahun sebagai akibat banyaknya perusahaan mengurangi aktivitas atau bahkan menghentikan produksinya. Laju inflasi juga melambung tinggi, yakni mencapai 69,1% dalam periode Januari – Agustus 1998. tingginya laju inflasi menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat, khususnya golongan berpendapatan rendah. Dalam perkembangannya, kondisi ekonomi diperparah dengan rusaknya sistem distribusi bahan kebutuhan pokok yang berakibat pada timbulnya gejolak sosial-politik.
Krisis juga telah mengakibatkan timbulnya berbagai masalah yang dihadapi Bank Indonesia seperti dilema dalam mengatasi krisis perbankan yang menimbulkan masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Di sisi lain, krisis juga telah mempercepat proses perubahan status Bank Indonesia menjadi bank sentral yang independen.
Dalam masa krisis, peran Bank Indonesia tidak dapat digambarkan sebagai peran yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian integral dari upaya Indonesia untuk menanggulangi permasalahan negara, apalagi setelah Pemerintah meminta bantuan IMF hingga diterbitkannya LoI yang mencakup aspek ekonomi yang menyeluruh.

Kondisi Indonesia Sebelum Terjadi Krisis Pada Juli 1997
Seperti kondisi pada beberapa tahun sebelum tahun 1997, perekonomian Indonesia dalam semester pertama tahun 1997 masih menunjukkan dinamika yang tinggi. Laju inflasi cenderung semakin rendah sehingga mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi dunia usaha. Kegairahan dunia usaha yang didukung oleh kondisi makroekonomi yang stabil telah mengundang lebih banyak modal asing masuk, khususnya ke sektor swasta. Berbagai perkembangan ini, ditambah dengan proses privatisasi yang semakin kuat, telah menjadi faktor pendorong penting bagi tingginya kegiatan ekonomi. Permintaan domestik yang didorong oleh kegiatan investasi maupun konsumsi merupakan penggerak utama pertumbuhan tersebut. Dalam paruh pertama tahun 1997, laju inflasi juga masih relatif rendah, yakni hanya 2,5%.
Sejalan dengan dinamikan perekonomian yang masih tinggi, kebijakan monter hingga pertengahan tahun 1997 masih diarahkan untuk mengendalikan permintaan dalam negeri dalam rangka memelihara stabilitas makroekonomi. Upaya pengendalian permintaan dalam negeri tersebut dilakukan karena ekspansi kredit perbankan ke berbagai sektor termasuk sektor properti dan sektor konsumtif masih sangat kuat, dan pada saat bersamaan didorong pula oleh derasnya arus masuk modal luar negeri, khususnya pinjaman luar negeri sektor swasta yang berjangka pendek. Dalam hubungan ini, Bank Indonesia tetap menempuh kebijakan moneter yang berhati-hati antara lain dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) dan membatasi pemberian kredit kepada sektor properti.
Kegiatan perbankan sampai dengan pertengahan tahun 1997 secara umum masih berkembang dengan kecepatan tinggi. Mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat, sementara ekspansi kredit tetap kuat terutama sektor properti. Ekspansi berlebihan juga telah menyebabkan kewajiban perbankan dalam valuta asing, khusunya bank swasta nasional, meningkat tajam seperti tercermin pada memburuknya posisi devisa neto dan semakin besarnya rekening administratif dalam valuta asing perbankan selama tiga tahun terakhir. Di sisi lain, kredit non lancar pada beberapa bank nasional cenderung meningkat sementara efisiensi usaha memburuk. Perkembangan tersebut menyebabkan tingginya kerentanan perbankan nasional terhadap guncangan-guncangan yang terjadi dalam perekonomian.
Perkembangan makro ekonomi yang mantap sebelum krisis telah memberikan keyakinan kepada investor baik dalam maupun luar negeri atas prospek perekonomian Indonesia sehingga semakin mendorong masuknya arus modal dan semakin memperdalam proses integrasi perekonomian internasional. Akan tetapi, di sisi lain dinamika perekonomian yang tinggi tersebut tidak sepenuhnya disertai dengan upaya untuk manata pengelolaan dunia usaha dan menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sebagaimana tercermin pada kurangnya transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan. Sementara itu, kelemahan informasi , baik mutu maupun ketersediaannya, semakin memperburuk kualitas keputusan yang diambil oleh dunia usaha dan Pemerintah. Berbagai faktor ini memperlemah kondisi fundamental mikroekonomi sehingga meningkatkan kerentanan perekonomian terhadap guncangan-guncangan eksternal.
Melemahnya fundamental mikroekonomi dapat dilihat pada menurunnya efisiensi pengelolaan dunia usaha dalam beberapa tahun terakhir sebelum krisis. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya distorsi dalam pengalokasian sumber daya yang dilakukan baik baik oleh sektor swasta maupun oleh sektor pemerintah sehingga mendorong meningkatnya konglomerasi usaha yang monopolistik dam perilaku pencari rente (rent seeking). Meskipun kegiatan investasi dan produksi naik dengan cepat dalam lima tahun terakhir, pemanfaatan sumber daya, terutama modal, menjadi kurang optimal dan cenderung terkonsentrasi pada sektor-sektor yang kurang efisien seperti tercermin pada naiknya incremental capital output ratio (ICOR) dalam tahun 1992-1997, yakni menjadi rata-rata sekitar 4.2 dibandingkan rata-rata sekitar 3.1 pada tahun 1988-1991. kelemahan-kelemahan fundamental mikroekonomi tersebut di atas mengakibatkan ketergantungan pada sektor luar negeri semakin besar, khususnya hutang luar negeri sektor swasta, meskipun kesenjangan tabungan-investasi nasional masih berada pada tingkat yang wajar. Ketergantungan sektor swasta kepada sektor luar negeri tersebut semakin meningkat sejalan dengan pesatnya kegiatan investasi sektor swasta, sehingga hutang luar negeri swasta meningkat tajam. Sejak lima tahun terakhir krisis, hutang luar negeri swasta meningkat rata-rata sebesar 28,6% per tahun dibandingkan hutang luar negeri pemerintah sebesar 0,4% per tahun sehingga pangsa hutang luar negeri swasta meningkat dari 33,9% pada akhir Maret 1994 menjadi 60,7% pada akhir Maret 1998. keadaan itu bertambah rentan karena sebagian besar hutang luar negeri tersebut berjangka pendek dantidak dilindungi nilai.
Sebelum krisis melanda Indonesia, memang banyak yang mengatakan bahwa nilai tukar rupiah terlalu tinggi, yang merugikan daya saing ekspor nasional. Argumen ini biasanya diikuti dengan usul agar dilakukan depresiasi terhadap rupiah yang lebih besar daripada yang dilakukan Bank Indonesia selama beberapa tahun, antara 3% - 5% per tahun. Argumen ini didukung oleh staf IMF yang membuat evaluasi kinerja perekonomian Indonesia. Di Indonesia terdapat dua kelompok yang mempunyai pemikiran yang berbeda, tetapi pengamat ekonomi Indonesia lebih cenderung over valuation rupiah. Ini mungkin terjadi karena bias terhadap kepentingan ekspor sebagai mesin pembangunan yang perlu didorong dengan melakukan depresiasi rupiah, minimal sebesar perbedaan laju inflasi Indonesia dengan negara-negara mitra dagang. Namun, bahkan mereka yang menerima argumen ini tidak ada yang kemudian mengusulkan agar dilakukan koreksi terhadap nilai tukar dengan depresiasi sebesar 70% - 80%.

Pemicu Terjadinya Krisis
Pemicu terjadinya krisis ekonomi di Indonesia adalah efek dari krisis nilai tukar di Thailand pada awal Juli 1997 yang melanda pasar valuta asing di kawasan Asia dan mempengaruhi pasar valas di Indonesia yang beroperasi dalam perekonomian nasional yang mengidap berbagai kelemahan struktural. Proses penularan berkembang cepat menjadi krisis yang melanda semua aspek kehidupan masyarakat karena pasar keuangan domestik sudah terintegrasi ke dalam pasar keuangan global. Krisis di Indonesia menjadi sangat parah karena baik dari sumber asalnya maupun struktur ekonomi nasional memang menyebabkan terjadinya proses deteriorisasi secara sistematik sehingga menimbulkan dampak yang sangat besar. Gejolak ekstern pada pasar valas merupakan dampak penekanan nilai mata uang di kawasan, setelah terjadi perubahan sentimen pasar dari optimisme yang berlebihan. Sementara itu, ekonomi nasional diwarnai dengan struktur keuangan, terutama perbankan, yang lemah dan sektor riil yang juga lemah sebagaimana tercermin pada ekonomi biaya tinggi. Kedua unsur ini menyebabkan krisis yang terjadi menjadi sangat dahsyat sehingga dampaknya juga sangat luas.

Krisis Nilai Tukar
Perkembangan nilai tukar rupiah dalam tahun 1997 dan 1998 diwarnai oleh gejolak yang sangat tajam dan disertai oleh kuatnya tekanan-tekanan depresiatif menyusul terjadinya krisis nilai tukar di Thailand. Sebagian besar dari gejolak tersebut berkaitan merosotnya kepercayaan investor luar negeri seperti tercermin pada tingginya tekanan-tekanan arus modal ke luar, baik dalam rangka oembayaran hutang luar negeri yang jatuh tempo maupun kegiatan-kegiatan spekulatif, di samping munculnya krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membumbungnya laju inflasi menjelang akhir tahun 1997/1998.
Dengan menyebarnya pengaruh krisis nilai tukar di Thailand ke negara-negara ASEAN lain, sejak Juli 1997 rupiah mengalami tekanan depresiatif yang besar. Pelebaran kisaran intervensi yang dilakukan pada 11 Juli 1997 dari 8% menjadi 12%, tidak mampu mengurangi tekanan depresiatif tersebut. Arus balik modal keluar negeri semakin tinggi dan tekanan-tekanan spekulatif bertambah kuat. Hal ini mengakibatkan rupiah terus melemah sehingga pada pertengahan Agustus 1997 nilai tukar rupiah di pasar valuta asing antarbank telah menembus batas atas kisaran intervensi Bank Indonesia. Guna mengamankan cadangan devisa, sejak 14 Agustus 1997 Bank Indonesia memutuskan untuk mengubah sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali dengan kisaran intervensi menjadi sistem mengambang bebas. Sejak saat itu, pergerakan rupiah semakin bergejolak, terutama sebagai akibat meningkatnya kegiatan spekulatif terhadap rupiah. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang sejak pertengahan Juli hanya berkisar antara Rp.2500 – Rp.2600 per dolar bergejolak menjadi sekitar Rp.2700 – Rp.3000 per dolar. Selain itu premi swap yang semula hanya berkisar 9,0% naik tajam menjadi 30,1%.
Mulai pertengahan Agustus hingga akhir September 1997, perkembangan nilai tukar relatif bergerak dalam kisaran yang agak sempit, antara Rp.2900 – Rp.3000 per dolar. Upaya Bank Indonesia untuk meningkatkan pasokan dolar antara lain melalui penurunan GWM valuta asing dan pelaksanaan intervensi gabungan dengan otoritas moneter Singapura dan Jepang tampaknya hanya dapat menstabilkan nilai rupiah dalam jangka pendek. Oleh karena itu, sejak Oktober 1997 nilai tukar rupiah kembali tertekan. Pergerakan nilai tukar rupiah menjadi sangat bergejolak dan bahkan sempat diperdagangkan pada tingkat terendah sekitar Rp. 16.000 per dolar pada akhir Januari 1998. Hal ini disebabkan oleh belum pulihnya kepercayaan terhadap prospek perekonomian Indonesia disamping tetap tingginya permintaan terhadap dolar, baik karena dirorong oleh masih kuatnya arus modal keluar maupun karena tekanan kebutuhan untuk pembayaran pinjaman luar negeri. Dalam kondisi yang kurang menguntungkan tersebut, upaya Bank Indonesia mengurangi ketetatan likuditas valas guna menstabilkan nilai rupiah menjadi kurang efektif.
Rencana pemerintah menerapkan Currency Board System (CBA) sempat membuat rupiah menguat hingga mencapai Rp.7000 per dolar pada 11 Februari 1998. Namun, dengan munculnya berbagai pandangan kontra terhadap rencana tersebut, rupiah kembali cenderung melemah di sekitar Rp.8500 hingga Maret 1998.
Untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, Pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan, antara lain pemulihan stabilitas moneter, penyediaan fasilitas pembiayaan perdagangan oleh Bank Indonesia, penyelesaian utang luar negeri swasta, dan sterilisasi pengeluaran pemerintah melalui penjualan valuta asing di pasar. Sebagai hasil dari berbagai upaya tersebut, yang diundang oleh kecenderungan penurunan suku bunga di negara-negara maju, nilai tukar rupiah mulai stabil dan cenderung menguat kembali dalam paruh kedua tahun 1998/1999.
Dalam triwulan kedua tahun 1998, nilai tukar rupiah mengalami penurunan tajam hingga mencapai tingkat terendah, yaitu Rp. 16,.500,- per dolar pada Juni 1998. Hal ini berkaitan dengan semakin lemahnya kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang tercermin dari tingginya tingkat inflasi sebagai akibat ekspansi moneter yang terjadi pada periode ini sehingga mendorong peningkatan permintaan di pasar valuta asing dan memperlemah nilai tukar rupiah. Upaya penanganan pinjaman luar negeri swasta yang belum menemui titik terang dan credit line perbankan Indonesia yang dibekukan oleh pihak luar negeri ikut memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah. Ketidakstabilan sosial politik di Indonesia, menyusul kerusuhan sosial pada Mei 1998, telah menurunkan kepercayaan terhadap perekonomian nasional. Kepercayaan yang rendah dan kegiatan spekulasi yang meningkat tercermin pada premi swap yang meningkat tajam telah mengakibatkan nilai tukar rupiah semakin tertekan. Disamping itu, melemahnya nilai tukar yen hingga mencapai 146,0 yen per dolar AS pada Juni 1998 juga berdampak pada merosotnya nilai tukar mata uang negara-negara Asia, termasuk Indonesia.
Pada Juli – Oktober 1998 rupiah cenderung menguat, yaitu berkisar antara Rp. 14.500 hingaa Rp. 10.800 per USD pada akhir Oktober 1998. penguatan ini berkaitan dengan pencairan dana IMF dan bantuan keuangan internasional lainnya. faktor lain yang akan secara signifikan turut memacu penguatan rupiah adalah membaiknya kondisi moneter dalam negeri, khususnya laju inflasi yang bergerak ke arah rendah daripada ekspektasi pasar, sentimen pasar yang positif terhadap kebijakan restrukturisasi perbankan, serta restrukturisasi hutang luar negeri Indonesia. penguatan rupiah juga didorong oleh situasi eksternal, yaitu fenomena melemahnya dolar secara global sebagai dampak penurunan suku bunga fedfund dua kali berturut-turut, masing-masing sebesar 25 basis poin, dari 5,25% menjadi 4,75% dan persepsi pasar yang cukup baik terhadap rencana peluncuran mata uang tunggal Eropa, Euro.
Dalam bulan November 1998 sampai dengan pertengahan Januari 1999, nilai tukar rupiah bergerak stabil pada kisaran Rp. 7.500 – Rp. 8.000. perkembangan tersebut antara lain disebabkan oleh sentimen pasar yang positif terhadap perkembangan ekonomi dan kebijakan pemerintah. Selanjutnya rupiah melemah kembali di kisaran Rp. 8.500 – Rp. 9.200 pada aFebruari hingga pertengahan Maret 1999. depresiasi tersebut terutama dipicu oleh melemahnya kembali mata uang regional, khususnya Bath Thailand dan Dolar Singapura, dan uang Yuan RRC. Berbagai kerusuhan di dalam negeri dan penundaan pembekuan beberapa bank pada akhir Februari turut memberikan andil bagi bertambahnya sentmen negatif pelaku pasar terhadap rupiah.
Pada akhir Maret hingga Mei 1999, rupiah kembali menguat dan bergerak stabil pada kisaran Rp. 8.500 – Rp.8.800. penguatan rupiah berkaitan dengan pembelian rupiah di pasar, terutama untuk pembayaran pajak akhir tahun fiskal oleh perusahaan asing. Sentimen positif pasar terhadap rupiah dalam periode tersebut juga dipengaruhi oleh pencairan dana bantuan internasional yang berasal dari IMF, ADB, dan JEXIM, serta adanya restrukturisasi hutang luar negeri perbankan. Kondisi perbankan yang cenderung membaik, khususnya setelah dikeluarkannya undang-undang politik, relatif lancarnya rangkaian persiapan pelaksanaan persiapan pemilu, serta semakin besarnya iklim keterbukaan pemerintah di berbagai hal turut pula mengoreksi sentimen negatif pasar yang terjadi sebelumnya.
Rangkaian kegiatan politik yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum 7 Juni 1999, yang semula dikhawatirkan membawa konsekuensi instablitas sosial politik, ternyata berjalan cukup lancar. Kondisi tersebut berpengaruh positif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah, yang menguat hingga Rp.6.630 per dolar pada akhir Juni 1999. Pada pertengahan Juli 1999 nilai tukar rupiah stabil pada kisaran antara Rp. 6.500 sampai Rp. 6.800. Pada Agustus dan September 1999 nilai tukar rupiah mengalami tekanan temporal yang cukup kuat sehingga sempat melemah mencapai Rp. 9.000 per dolar Amerika Serikat. Melemahnya nilai rupiah tersebut banyak dipengaruhi oleh merebaknya beberapa issue yang berkaitan dengan pelaksanaan program pemulihan ekonomi Indonesia, antara lain issue ditundanya pencairan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan internasional, peristiwa yang berkaitan dengan masalah memanasnya kondisi keamanan di Timor Timur menjelang dan sesudah pelaksanaan jajak pendapat, dan issue mengenai penyelesaian kasus Bank Bali selain itu, faktor-faktor non ekonomi seperti memanasnya suhu politik menjelang sidang umum MR juga turut mempengaruhi fluktuasi nilai rupiah.
Tekanan terhadap rupiah pada waktu itu bersifat sementara sebagaimana terlihat pada menguatnya kembali rupiah ke tingkat di bawah Rp. 7.000,- per dolar Amerika Serikat pada akhir Oktober 1999. optimisme pasar mulai membaik sejalan dengan didatangkannya tim teknis IMF ke Jakarta untuk membicarakan kembali program pemulihan ekonomi yang telah disepakati. Penyerahan laporan hasil pemeriksaan Price Water House Cooper versi panjang (long form) oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat