CATATAN 'SEORANG' IKBAL
catatan si Ikbal dalam menuangkan ide dan pikirannya. Mohon maaf apabila tulisan dan gambar yang disajikan kurang bermutu atau kurang berkenan bagi anda, karena saya hanya ingin berbagi ide dan pemikiran kepada sesama.
11 Agustus 2011
Suatu ketika, Muadz bin Jabal ra mengadap Rasulullah SAW dan bertanya: “Wahai Rasulullah, tolong jelaskan kepadaku mengenai firman Allah SWT: Pada sangkakala ditiup, maka kamu sekalian datang berbaris-baris” (Surah an-Naba’:18)
Mendengar pertanyaan itu, baginda menangis dan basah pakaian dengan air mata. Lalu menjawab: “Wahai Muadz, engkau telah bertanya kepada aku, perkara yang amat besar, bahwa umatku akan digiring, dikumpulkan berbaris-baris menjadi 12 barisan, masing-masing dengan pembawaan mereka sendiri….”
Maka dijelaskanlah oleh Rasulullah ke 12 barisan tersebut :-
BARISAN PERTAMA
Di iring dari kubur dengan tidak bertangan dan berkaki. Keadaan mereka ini dijelaskan melalui satu seruan dari sisi Allah Yang Maha Pengasih: “Mereka itu adalah orang-orang yang sewaktu hidupnya menyakiti hati tetangganya, maka demikianlah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka…”
BARISAN KEDUA
Diiring dari kubur berbentuk babi hutan. Datanglah suara dari sisi Allah Yang Maha Pengasih: “Mereka itu adalah orang yang sewaktu hidupnya meringan-ringankan solat, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka…”
BARISAN KETIGA
Mereka berbentuk keldai, sedangkan perut mereka penuh dengan ular dan kala jengking. “Mereka itu adalah orang yang enggan membayar zakat, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka…”
BARISAN KEEMPAT
Diiring dari kubur dengan keadaan darah seperti air pancutan keluar dari mulut mereka. “Mereka itu adalah orang yang berdusta di dalam jualbeli, maka inilah balasannya dan tempat mereka adalah neraka…”
BARISAN KELIMA
Diiring dari kubur dengan bau busuk daripada bangkai. Ketika itu Allah SWT menurunkan angin sehingga bau busuk itu mengganggu ketenteraman di Padang Mahsyar. “Mereka itu adalah orang yang menyembunyikan perlakuan derhaka takut diketahui oleh manusia tetapi tidak pula rasa takut kepada Allah SWT, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka…”
BARISAN KEENAM
Diiring dari kubur dengan keadaan kepala mereka terputus dari badan. “Mereka adalah orang yang menjadi saksi palsu, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka…”
BARISAN KETUJUH
Diiring dari kubur tanpa mempunyai lidah tetapi dari mulut mereka mengalir keluar nanah dan darah. “Mereka itu adalah orang yang enggan memberi kesaksian di atas kebenaran, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka…”
BARISAN KELAPAN
Diiring dari kubur dalam keadaan terbalik dengan kepala ke bawah dan kaki ke atas. “Mereka adalah orang yang berbuat zina, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka…”
BARISAN KESEMBILAN
Diiring dari kubur dengan berwajah hitam gelap dan bermata biru sementara dalam diri mereka penuh dengan api gemuruh. “Mereka itu adalah orang yang makan harta anak yatim dengan cara yang tidak sebenarnya, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka…”
BARISAN KESEPULUH
Diiring dari kubur mereka dalam keadaan tubuh mereka penuh dengan penyakit sopak dan kusta. “Mereka adalah orang yang derhaka kepada orang tuanya, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka…”
BARISAN KESEBELAS
Diiring dari kubur mereka dengan berkeadaan buta mata-kepala, gigi mereka memanjang seperti tanduk lembu jantan, bibir mereka melebar sampai ke dada dan lidah mereka terjulur memanjang sampai ke perut mereka dan keluar beraneka kotoran. “Mereka adalah orang yang minum arak, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah neraka…”
BARISAN KEDUA BELAS
Mereka diiring dari kubur dengan wajah yang bersinar-sinar laksana bulan purnama. Mereka melalui titian sirat seperti kilat. Maka,datanglah suara dari sisi Allah Yang Maha Pengasih memaklumkan: “Mereka adalah orang yang beramal salih dan banyak berbuat baik. Mereka menjauhi perbuatan durhaka, mereka memelihara sholat lima waktu, ketika meninggal dunia keadaan mereka sudah bertaubat, maka inilah balasannya dan tempat kembali mereka adalah syurga, mendapat keampunan, kasih sayang dan keredhaan Allah Yang Maha Peng
31 Maret 2011
ABDUL RAHMAN BASWEDAN
“Nasionalisme Tanpa Perbedaan”
Cahaya dari Kampung Ampel
Apabila kita menjelajahi Kota Surabaya yang dikenal sebagai ”kota pahlawan”, di sana terdapat suatu perkampungan yang memiliki nilai kesejarahan, yaitu Kampung Ampel. Di kampung itu kita akan teringat jasa Sunan Ampel, salah seorang di antara ”Wali Songo” yang menyebarkan agama Islam di Jawa Timur.
Di kampung Ampel itu, Abdul Rahman (A.R.) Awad Baswedan dilahirkan pada tanggal 9 September 1908. Awad adalah nama ayahnya, sedang Baswedan adalah nama keluarga. Dalam pola kehidupan masyarakat Arab di Indonesia, nama seseorang biasanya diikuti dengan nama keluarganya. Hal ini untuk mengetahui dari mana asal seseorang itu. Kakek A.R. Baswedan merupakan imigran yang datang dari wilayah Hadramaut (Yaman Selatan) untuk bekerja sebagai pedagang di Surabaya.
Sejak kecil, A.R. Baswedan sudah tinggal bersama kakek dan neneknya dari pihak Ibu. Panggilan sewaktu kecil untuk dirinya adalah Bagus, karena memang wajahnya tampan. Kakeknya merupakan orang ahli silat dari Bangil (Pasuruan) yang pandai memainkan berbagai macam senjata. Sewaktu kecil, Baswedan berkeinginan untuk mempelajari ilmu silat seperti kakeknya, dan suatu hari ia berujar pada kakeknya ”Kakek, bolehkah saya mempelajari ilmu silat.”
Sang Kakek yang mendengar permintaan cucunya itu menjadi kaget, sehingga ia berkata ”Untuk apa kau mempelajari silat?”
”Saya ingin bisa membela diri apabila suatu hari menghadapi penjahat yang mengancam keselamatan saya” tegas A.R. Baswedan.
”Tak usahlah kau belajar silat, karena kemanan masyarakat sekarang sudah dilakukan oleh polisi” ujar si Kakek.
”Lalu, apa yang saya harus lakukan untuk membela diri?” ucap A.R. Baswedan yang merasa kecewa keinginannya tidak dituruti.
”Sekarang yang harus kau lakukan adalah menuntut ilmu setinggi mungkin, karena dengan ilmu kau bisa membela masyarakat yang tertindas” ujar sang Kakek.
Perkataan sang Kakek tersebut membuat A.R. Baswedan terdiam, dan hal itu selalu tertanam di hatinya. Kelak perkataan Kakeknya itu mendorong dirinya untuk menuntut ilmu di Batavia.
Bimbingan yang diterima A.R. Baswedan banyak mempengaruhi jiwanya. Neneknya yang berperan menanamkan dasar-dasar keagamaan pada dirinya berhasil membuat dirinya menjadi seseorang yang saleh. Ayahnya yang selalu mengajak dirinya untuk bersembahyang di masjid menyebabkan dirinya mengetahui keadaan masyarakat di sekitarnya.
Suatu hari ketika selesai sholat berjamaah, ayahnya berkata kepada A.R. Baswedan, ”Kau lihat orang yang menjadi imam itu?”
”Iya Ayah, ada apa dengan imam tersebut” tanya A.R. Baswedan tak mengerti.
”Imam itu sebenarnya berkelakuan tidak baik, karena ia diketahui sering memakan hak anak-anak yatim” terang sang Ayah.
A..R. Baswedan yang merasa kaget dengan perkataan ayahnya kemudian bertanya ”Kalau memang imam itu berkelakuan tidak baik, mengapa orang itu tetap dipercaya menjadi imam?”
”Sebab imam itu orang yang mempunyai keturunan yang dianggap mulia oleh masyarakat disini, sehingga orang-orang tidak berani melawan dia dan akibatnya kemajuan masyarakat menjadi terhambat” terang Si Ayah.
”Kalau begitu hal ini tidak bisa dibiarkan, karena menurut Kakek semua manusia sama dan yang salah harus dihukum” ungkap A.R. Baswedan.
Obrolan-obrolan dengan ayahnya yang banyak membahas tentang ketimpangan dalam masyarakat dan ajaran Islam yang tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW yang berkembang di masyarakat, menyebabkan tumbuhnya bibit-bibit pemberontakan di dalam diri A.R. Baswedan. Kelak, saat dewasa A.R. Baswedan banyak melakukan kegiatan yang menginginkan persamaan sesama umat manusia dan berperan besar dalam proses proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Bersekolah di Madrasah
A.R. Baswedan mulai mendapat pendidikan pada usia lima tahun. Mula-mula ia masuk ke Madrasah Alkhairiyah. Sekolah ini berdekatan dengan Masjid Ampel yang dibangun masyarakat Arab di Surabaya. Murid-muridnya terdiri atas peranakan Arab dan Bumiputera.
Suatu hari A.R. Baswedan membawa uang lima sen ke sekolah, akan tetapi ketika ia membeli roti dari uangnya tersebut, roti itu dirampas oleh temannya yang mempunyai keturunan Al Katiri. Nama itu merupakan golongan yang dihormati dan mempunyai pengaruh besar terhadap warga keturunan Arab di Surabaya. Merasa haknya dirampas, A.R. Baswedan melawan dan terjadilah perkelahian diantara mereka. Oleh guru madrasah, A.R. Baswedan dipersalahkan dan dihukum. Merasa mendapat ketidak adilan, ia mengadu ke pamannya yang berdagang tak jauh dari sekolah tersebut.
”Paman, aku merasa diperlakukan tidak adil oleh guru sekolahku” ujar A.R. Baswedan ketika sampai di toko pamannya.
”Apa yang mereka lakukan terhadapmu?” tanya sang Paman
Maka A.R. Baswedan pun menceritkan semua kejadian yang terjadi di sekolah. Mendengar cerita keponakannya itu, sang paman marah dan langsung mengajak A.R. Baswedan ke sekolah.
”Ayo kita menghadap gurumu, aku tak rela keponakanku diperlakukan demikian” ucap sang paman.
Dengan langkah cepat, paman dan keponakannya tersebut langsung menuju ruang guru. Sesampainya disana, sang paman langsung menegur guru A.R. Baswedan.
”Mengapa Bapak malah membela Al Katiri, padahal dialah yang bersalah” ucap sang Paman dengan nada tinggi.
Mendengar ucapan sang Paman, guru madrasah tersebut merasa kaget dan menjawab ”Kami tahu keponakan Bapak tidak bersalah, tetapi kami tidak bisa membela keponakan Bapak karena yang menjahilinya adalah saudara dari pemilik madrasah ini.
”Mengapa kalau dia saudara pemilik saudara ini” lanjut sang Paman.
”Kalau kami para guru menyalahkan mereka, kami takut akan dipecat dari madrasah ini dan akan kehilangan mata pencaharian kami.” ujar sang guru dengan terbata-bata.
”Ah, ini tidak adil, sekolah ini tidak bisa mengajarkan yang benar dan salah, percuma saya dididik sejak kecil untuk menjunjung tinggi kebenaran.” potong A.R. Baswedan dengan kesal.
”Lantas apa yang akan kau lakukan?” tanya sang Paman
”Aku akan keluar dari sekolah ini, dan melanjutkan sekolah ke Batavia” tegas A.R. Baswedan
Sejak saat itu, A.R. Baswedan keluar dari madrasah tersebut, dan melanjutkan sekolahnya di Madrasah Al Irsyad, Batavia yang dipimpin oleh Syeh Ahmad Surkatie. Tak berapa lama ia di Batavia, ketika libur sekolah ia memutuskan untuk pulang ke Surabaya menjenguk orang tuanya. Ketika akan kembali ke Jakarta, ia tidak diijinkan oleh Ayahnya. A.R. Baswedan berkeras hati untuk kembali ke Jakarta, karena disana ia mendapatkan kecocokkan bersekolah di Al Irsyad. Hal itu membuat Ayahnya sedih, dan ia pun dipanggil ke kamar Ayahnya.
”Anakku, kemarilah dan pegang dadaku” panggil sang Ayah ketika A.R. Baswedan telah berada di sisinya.
”Ada apa ayah? Apakah Ayah sedang sakit?” tanya Baswedan.
’Kau rasakan dadaku, berdegup dengan kencang bukan? Aku sedang sakit jantung” ucap sang Ayah dengan suara yang pelan.
”Iya Ayah, mengapa kau tidak bilang kepadaku sebelumnya” lanjut A.R. Baswedan sambil memegang dada Ayahnya.
”Aku tak ingin mengganggu engkau yang sedang belajar di Batavia, sekarang apakah kau tega untuk meninggalkan Ayahmu yang sedang sakit untuk pergi ke Batavia” ujar sang Ayah dengan mata berkaca-kaca.
Mendengar perkataan Ayahnya, A.R. Baswedan hanya diam dan tidak melanjutkan pendidikannya di Batavia. Meskpun gagal berangkat ke Batavia, keinginan belajar Baswedan masih sangat kuat. Ia pun melanjutkan belajarnya ke madrasah Arab modern bernama Hadramaut School.
Di sekolah itu, ia kembali mendapatkan perlakuan berbeda dengan yang didapatkannya di Al Irsyad. Apabila di Al Irsyad diajarkan persamaan dan demokrasi, maka di sekolahnya ia diharuskan menghormati golongan tertentu yang merupakan pemilik sekolah tersebut. Di sekolahnya itu ia sering mengkritik perlakuan-perlakuan berbeda yang dilakukan oleh golongan tertentu dan sering melawan perintah guru yang tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam.
Jiwa memberontak A.R. Baswedan menyebabkan ia berkepribadian menonjol di antara murid-murid di madrasah itu. Bahkan murid lain tak ada yang berani mengemukakan kritik dan pertanyaan kepada gurunya. Umumnya mereka tunduk dan taat melakukan perintah guru meskipun tak disetujuinya. Sikap keras A.R.Baswedan menyebabkan kawan-kawannya enggan berteman dengan dirinya, karena takut dimusuhi oleh guru-guru di sekolah.
Tidak mempunyai teman, bukan berarti A.R. Baswedan menjadi minder. Waktunya lebih banyak dihabiskan di rumah dan toko dengan membaca buku-buku, surat kabar, dan majalah bahasa Arab dan Belanda baik dari dalam negeri maupun yang berasal dari Mesir dan Palestina. Berkat ketekunannya dalam membaca, A.R. Baswedan mempunyai pengetahuan yang luas. Suatu hari saat ia ditanya oleh Haji Agus Salim siapakah gurunya, maka ia menjawab bahwa gurunya adalah kitab-kitab dan kamus, karena sekolahnya terputus-putus dan hanya sampai tingkat madrasah.
Bertemu Gadis Impian
Sewaktu di Surabaya, A.R. Baswedan sering bertandang ke rumah pamannya. Di saat berkunjung itulah, ia bertemu dengan anak pamannya yang bernama Syeikhun. Pertemuan A.R. Baswedan dengan Syeikhun kemudian menambat hati keduanya. Walaupun Syeikhun saat itu masih berusia 14 tahun, akan tetapi badannya kelihatan besar dan cukup dewasa.
Pada suatu hari A.R. Baswedan menyampaikan maksudnya untuk melamar sepupunya tersebut kepada ayahnya. Ini merupakan suatu hal yang luar biasa dan jarang terjadi pada anak sebayanya. Anak-anak pada waktu itu umumnya dalam masalah perkawinan bersikap diam dan pasif serta menurut kehendak orang tuanya.
Sebelum ayahnya menyampaikan keinginan A.R. Baswedan kepada pamannya, ia sempat memanggilnya.
”Apakah kau benar-benar yakin akan melamar Syeikhun” tanya ayahnya.
”Mengapa Ayah? Bukankah umurku dan Syeikhun sudah cukup untuk melangsungkan pernikahan” jawab A.R. Baswedan.
”Memang umurmu sudah cukup, tapi Ayah takut lamaranmu ditolak oleh Paman” ucap sang Ayah.
”Apa alasan paman menolak lamaranku?” tanya A.R. Baswedan tak mengerti.
”Sifatmu yang keras yang nantinya menjadi alasan” terang Ayahnya.
”Jangan khawatir Ayah, saya tidak akan mengecewakan, kalau perlu saya akan buat surat perjanjian dengan Paman bahwa saya akan membina hubungan rumah tangga yang baik dengan Syeikhun” ujar Baswedan meyakinkan Ayahnya.
Mendengar ucapan Baswedan, maka Ayahnya meluluskan permintaan A.R. Baswedan, dan sang Paman pun menyetujui lamaran tersebut dan langsung menetapkan tanggal pernikahan. A.R. Baswedan dengan Syeikhun menikah pada tahun 1925, saat itu mereka berusia 17 tahun dan 14 tahun. Dari perkawinan mereka berdua, lahir 9 orang anak, yakni Anisah, Aliyah, Fuad, Awad Rhasyid, Hamid, Atikah, Nur, Imlati, dan Lukyana.
Bekerja Untuk Menafkahi Istri dan Anaknya
Setelah menikah, A.R. Baswedan bekerja menjadi juru dakwah di Majelis Tablig Muhammadiyah dan Jong Islamieten Bond (JIB). Dari kegiatan tabligh ini, A.R. Baswedan mengetahui keadaan sebenarnya kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga ia mulai tertarik untuk masuk ke dalam dunia politik.
Dunia dakwah dijalaninya selama 7 tahun, sesudah itu A.R. Baswedan memilih keluar dari jalur dakwah dan memilih untuk bekerja di harian Sin Tit Po di Surabaya. Sebelum masuk ke harian tersebut, istrinya sempat menanyakan keputusan A.R. Baswedan untuk bekerja di surat kabar milik orang Tionghoa yang dianggap tabu oleh masyarakat keturunan Arab.
”Apakah kau yakin dengan pilihanmu ini” tanya Syeikhun.
”Aku yakin, karena dengan ini aku bisa bekerja dengan hati” jawab A.R. Baswedan.
”Bukankah kau tak perlu bersusah payah bekerja, keluargamu dan keluargaku mempunyai toko yang bisa kau miliki kapan saja?” potong Syeikhun seakan tak setuju terhadap sikap suaminya.
”Aku tak mau hanya menerima warisan, aku harus berusaha sendiri tanpa bantuan dari orang tua” tegas A.R. Baswedan.
”Lalu mengapa kau bekerja untuk orang Tionghoa, bukankah nenek moyang kita melarang untuk bekerja dengan orang Tionghoa?” ungkap Syeikhun
”Apa salahnya aku bekerja dengan mereka, pada prinsipnya semua manusia sama dan kita sama-sama tinggal di Indonesia” jawab A.R. Baswedan.
”Baiklah, asal kau bekerja dengan halal, aku menyetujui langkah yang kau lakukan.” ucap Syeikhun.
Akhirnya, A.R. Baswedan bekerja sebagai wartawan di harian Sin Tit Po dan mengisi rubrik ”Abun Awas” yang isinya banyak mengkritik kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Dia bekerja di harian tersebut selama setahun, dan pada 1933 ia pindah ke harian Soeara Oemoem milik Dr. Soetomo di Surabaya. Meskipun ia mendapatkan pendapatan yang lebih kecil, tetapi ia lebih memilih bekerja di tempat yang sesuai dengan kata hatinya.
Perubahan besar dalam hidup A.R. Baswedan terjadi pada tahun 1934, ketika ia memutuskan untuk bekerja di harian ”Matahari” yang terbit di Semarang. Pada tanggal 1 Agustus 1934, A.R. Baswedan membuat kejutan untuk etnis Arab yang ada di Indonesia. Foto dirinya yang memakai pakaian Jawa lengkap dengan blangkonnya di harian ”Matahari” menyebabkan dirinya menjadi sasaran kritik dari etnis Arab di Hindia Belanda.
Akan tetapi, hal itu dilakukan oleh A.R. Baswedan untuk menggugah etnis Arab agar menyatu dengan bangsa Indonesia dan melawan penjajahan untuk merebut kemerdekaan secara bersama-sama. Selain itu, ia pernah menulis artikel di harian ”Matahari” yang berjudul ”Peranakan Arab dan Totoknya” yang menganjurkan etnis Arab melaksanakan komitmen dalam Sumpah Pemuda yakni berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu Indonesia. Ia menyebut tanah air Arab Peranakan adalah Indonesia, kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesia – Islam seraya menyerukan agar masyarakat etnis Arab peranakan wajib bekerja untuk tanah air dan bangsa Indonesia.
Aktivitas jurnalistik A.R. Baswedan berakhir pada tahun 1934, ketika ia memutuskan untuk keluar dari dunia jurnalistik yang telah menafkahi keluarganya dan memilih untuk terjun ke dunia politik Hindia Belanda dengan mendirikan Partai Arab Indonesia di Batavia. Meskipun pendapatannya di dunia jurnalistik cukup besar, tetapi ia rela keluar demi perjuangan dan keyakinannya untuk mempersatukan golongan Arab keturunan Indonesia agar mau turut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pendirian Partai Arab Indonesia
Sebelum mendirikan Partai Arab Indonesia, A.R.Baswedan dihadapkan pada keadaan bahwa adanya perpecahan antara golongan Arab yang berasal dari Jazirah Arab dengan golongan Arab keturunan yang lahir di Indonesia. Seluruh kemampuannya dikeluarkan untuk mewujudkan cita-citanya mempersatukan warga keturunan Arab untuk berjuang atas nama bangsa Indonesia. Uang tabungannya habis karena dipakai untuk membiayai transportasi dan kebutuhan rumah tangga. Bahkan, suatu saat listrik rumahnya hampir diputus dan keluarganya menumpang minum dan mandi di rumah tetangga karena air di rumahnya tidak mengalir. Keadaan ini tidak menyurutkan semangat A.R. Baswedan, bahkan ia dan istrinya tidak mau meminta tolong kepada orang lain, dan berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya dengan bekerja sebagai buruh cuci, penerjemah, dan guru mengaji.
Keinginan A.R. Baswedan untuk mempersatukan warga keturunan Arab menemui titik terang setelah ia berhasil mengumpulkan tokoh-tokoh keturunan Arab yang ada di Batavia. Mereka sebenarnya sudah lama menginginkan persatuan, namun usahanya selalu menemui kegagalan. Pada pertemuan tersebut, A.R. Baswedan menyampaikan maksud kedatangannya di Batavia.
”Aku berangan-angan untuk membanguan suatu pergerakan di kalangan kaum Arab peranakan dengan mendirikan Partai Arab Indonesia” kata A.R. Baswedan membuka pertemuan tersebut.
”Apa yang akan kau lakukan untuk mendirikan partai itu?” ujar A.S. Alatas, salah seorang yang hadir dalam pertemuan itu.
Kemudian A.R. Baswedan menjelaskan bahwa bagi Arab peranakan, tanah air Indonesia adalah tanah air mereka, sehingga perlu sekali diadakan satu pergerakan menuju tercapainya kepentingan nasib Arab peranakan di tempat tinggalnya yaitu Indonesia.
Saat menjelaskan tentang keinginannya, salah seorang tokoh yang hadir memotong pembicaraan A.R. Baswedan. ”Bagaimana kau bisa mempersatukan kaum Arab di Indonesia” ucap Hasan Argubi yang memotong pembicaraan A.R, Baswedan.
”Persatuan akan dapat dicapai dengan perantaraan kaum peranakan, karena mereka berkepentingan di Indonesia yang merupakan tempat tinggalnya.”usul A.R. Baswedan.
”Baiklah, saya kira usulan itu bagus” ujar Hasan Argubi.
Di pertemuan tersebut, A.R. Baswedan juga menguraikan bagaimana mendirikan partai untuk golongan Arab dan mempersatukan mereka. Tokoh-tokoh yang hadir di pertemuan tersebut, mendukung usulan A.R. Baswedan dan menerima kehadiran Partai Arab Indonesia.
Langkah A.R. Baswedan dilanjutkan dengan mengadakan Konferensi Peranakan Arab pada awal Oktober 1934. Mereka yang hadir dalam konferensi itu adalah tokoh-tokoh Arab peranakan yang mewakili perkumpulan orang Arab peranakan yang menetap di Indonesia. Konferensi tersebut menggemparkan seluruh Pemerintah kolonial dan kaum nasionalis, karena pada saat itu kaum peranakan Arab dikenal tidak bisa disatukan.
Di dalam konferensi tersebut, A.R. Baswedan mengucapkan sumpah yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab yang diucapkannya pada 4 Oktober 1934. Sumpah tersebut berisi sebagai berikut:
- Tanah air Arab peranakan adalah Indonesia;
- Kultur Arab peranakan adalah kultur Indonesia – Islam;
- Berdasarkan ketentuan di atas, Arab peranakan wajib bekerja untuk tanah air dan masyarakat Indonesia;
- Untuk memenuhi kewajiban itu, perlu didirikan organisasi politik khusus untuk Arab peranakan;
- Hindari hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan dalam masyarakat Arab;
- Jauhi kehidupan menyendiri dan sesuaikan dengan keadaan zaman dan masyarakat Indonesia.
Selain mengucapkan sumpah tersebut, A.R. Baswedan juga ditunjuk sebagai ketua dari Partai Arab Indonesia yang dideklarasikan pada 5 Oktober 1934.
Setelah deklarasi tersebut, dukungan kepada PAI mengalir dari berbagai kalangan, tidak hanya dari warga keturunan Arab tetapi juga dari kaum nasionalis. A.R. Baswedan sebagai ketua PAI mampu mempersatukan golongan Arab di Indonesia, meskipun masih ada beberapa dari orang-orang Arab keturunan tersebut yang enggan bergabung dengan PAI karena mereka tidak mau disejajarkan dengan orang Arab yang lainnya.
Di bawah A.R. Baswedan, PAI aktif ikut berperan dalam gerakan Indonesia Berparlemen, Kongres Rakyat Indonesia, dan Kongres Bahasa Indonesia. A.R. Baswedan juga berperan dalam pembinaan kantor berita ”Antara” yang didirikan oleh Sumanang, Adam Malik, Pandu Wiguna, dan A.M. Sipahutar.
Keberhasilan kepemimpinan A.R. Baswedan di dalam PAI menimbulkan pertanyaan dari beberapa pihak. Salah satu yang penasaran dengan gaya kepemimpinan A.R. Baswedan adalah Tjoa Tjie Liang. Suatu hari ia bertanya kepada A.R. Baswedan yang sedang berkunjung ke kediamannya di Semarang.
”Saudaraku, apa sebabnya gerakan bangsa Indonesia turunan Arab bisa berhasil?” tanya Tjoa Tjie Liang.
”Memangnya kenapa kau bertanya seperti itu?” ucap A.R. Baswedan yang bertanya balik kepada sahabatnya itu.
”Aku penasaran, sebab Partai Tionghoa Indonesia yang didirikan oleh orang-orang Tionghoa peranakan kurang berhasil mendapatkan tempat di kalangan orang Tionghoa.” jawab Tjoa Tjie Liang.
”Sebenarnya, keberhasilan PAI dalam mempersatukan orang Arab di Indonesia adalah mendidik orang Arab untuk menyadari dirinya sebagai putra Indonesia dan memupuk perasaan mereka sebagai orang Indonesia, serta membawa mereka keluar dari kehidupan menyendiri menjadi berbaur ke dalam masyarakat Indonesia.” terang A.R. Baswedan.
Demikianlah keberhasilan A.R. Baswedan dalam meniti perjuangannya untuk menyatukan bangsa Arab keturunan agar mau berjuang memerdekakan Indonesia dari belenggu penjajah. Pengorbanan dan keberaniannya untuk keluar dari pekerjaannya terbayar dengan pengakuan tokoh-tokoh pergerakan terhadap eksistensi PAI.
Aktivitas di Jaman Jepang
Ketika tentara Jepang berhasil masuk ke Indonesia tak lama kemudian pada tanggal 8 Maret 1942, mereka berhasil menguasai Hindia Belanda setelah Pemerintah Kolonial menyerah tanpa syarat di Kalijati. Setelah berkuasa, tentara Jepang langsung membubarkan partai politik yang ada di Hindia Belanda. Dengan demikian PAI yang dipimpin oleh A.R. Baswedan juga dibubarkan.
Di samping itu, Jepang melakukan penertiban terhadap semua media massa yang berbentuk surat kabar, majalah, dan siaran radio. Kesemuanya dikendalikan oleh tentara Jepang. Kantor Berita Antara ditutup dan berganti nama menjadi Domei. Penutupan tersebut menyebabkan A.R. Baswedan dan kawan-kawannya harus tunduk kepada perintah Jepang. Prinsip A.R. Baswedan yang anti penjajahan menyebabkannya memilih tidak bekerjasama dengan Jepang dan keluar dari kantor berita tersebut.
Sikap yang keras dari A.R. Basweadan dianggap menghambat tugas pemerintah pendudukan Jepang, maka ia ditangkap. Berkat bantuan dari tokoh pergerakan nasional bernama Mr. Singgih, maka A.R. Baswedan berhasil dibebaskan dari tahanan. Lepas dari tahanan, tidak berarti perlawanan A.R. Baswedan berhenti. Saat Jepang mengeluarkan peraturan adanya keharusan tiap-tiap keluarga turunan Cina dan Arab untuk mempunyai kartu penduduk suami-istri sendiri-sendiri lengkap dengan fotonya, A.R. Baswedan secara diam-diam menganjurkan agar peranakan Arab tidak mendaftarkan diri sebagai bukan orang Indonesia. Tindakan A.R. Baswedan diketahui oleh tentara Jepang, sehingga ia dipanggil oleh pemerintah Jepang untuk diperiksa.
Nasib baik kembali menghampiri A.R. Baswedan, karena saat akan ditangkap ia bertemu dengan Soekarno yang baru kembali dari masa tahanan di Bengkulu.
”Bung, tolonglah saya agar tidak ditahan oleh Pemerintah Jepang.” ucap A.R. Baswedan membuka pembicaraan dengan Soekarno.
”Apa yang bisa saya bantu, saudaraku?” ujar Soekarno.
”Tolong yakinkan kepada Pemerintah Jepang kalau saya adalah orang Indonesia, dan bukan orang asing yang tinggal di Indonesia” jawab A.R Baswedan.
”Baiklah, saya tahu aktivitas saudara di masa lalu dan saya dapat menjamin 100% kalau saudara benar-benar orang Indonesia.” kata Soekarno.
”Terima kasih atas pertolonganmu Bung!” ucap A.R. Baswedan.
”Tidak apa-apa, tetapi saya minta engkau ikut bersamaku ke Jakarta agar tidak lagi dicurigai oleh pihak Jepang.” Soekarno mengajak A.R. Baswedan untuk pindah dari Solo ke Jakarta.
”Baiklah kalau itu kehendak Bung, saya akan ikut.”
A.R. Baswedan kemudian ikut Soekarno ke Jakarta, dan disana ia tinggal di rumah anggota PAI. Selama di Jakarta, A.R. Baswedan bekerja sebagai pengumpul pakaian bekas yang dijual orang-orang Indo Belanda untuk dijual kembali kepada masyarakat. Pekerjaan itu dilakukan untuk menghindari kecurigaan dari tentara Jepang. Meskipun mendapatkan pengawasan yang ketat, A.R. Baswedan tetap menolak pemerintah Jepang yang fasis dan berusaha untuk mendapatkan tentang keterangan tentang perkembangan berita perang di Asia Pasifik. Kegiatan tersebut dilakukan dengan penuh bahaya, karena apabila diketahui oleh pihak Jepang, maka keselamatannya bisa terancam.
Saat Jepang terus mengalami kekalahan dalam perang, maka pemerintah pendudukan Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk mempersiapkan pembentukan negara Indonesia apabila memproklamirkan kemerdekaannya di kemudian hari. A.R.Baswedan yang menjadi anggota BPUPKI dengan tegas menegaskan bahwa tanah air peranakan Arab adalah Indonesia. Saat berpidato dalam sidang BPUPKI, A.R. Baswedan yang mewakili golongan Arab berkata:”saya telah memberi penjelasan bahwa tidak ada seorangpun daripada peranakan Arab yang menginginkan dan mencita-citakan kerakyatan lain daripada kerakyatan Indonesia.”
Menjadi Menteri Muda Penerangan
Setelah kemerdekaan Indonesia, A.R. Baswedan ditunjuk menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). KNIP adalah sebuah badan yang dibentuk pada tanggal 22 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan tugas-tugasnya sebagai berikut:
- Menyatakan keinginan rakyat Indonesia untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka;
- Mempersatukan rakyat dari segala lapisan dan jabatan, supaya terpadu pada segala tempat di seluruh Indonesia, persatuan kebangsaan yang bulat dan erat;
- Membantu menentramkan rakyat dan turut menjaga keselamatan umum;
- Membantu pemimpin dalam menyelenggarakan cita-cita bangsa Indonesia dan di daerah membantu Pemerintah Daerah untuk kesejahteraan umum.
Tugas menjadi anggota KNIP dilaksanakan oleh A.R. Baswedan sampai tahun 1946, dan ia diangkat menjadi Menteri Muda Penerangan di Kabinet Syahrir. Sebagai Menteri Muda Penerangan, A.R. Baswedan berkewajiban memberikan informasi dua arah yaitu informasi dari pemerintah kepada rakyat secara luas dan menyampaikan hasil penelitiannya pada Presiden. Cara A.R. Baswedan untuk mengetahui reaksi rakyat adalah turun ke tengah-tengah rakyat untuk mengetahui reaksi rakyat ketika mengikuti rapat-rapat yang dilakukan oleh Presiden Soekarno. Pekerjaan yang dilakukan oleh A.R. Baswedan memakan waktu siang dan malam, sehingga ia sering meninggalkan keluarganya dan lebih banyak tinggal di hotel bersama Menteri Penerangan, Mohammad Natsir.
Salah satu jasa A.R. Baswedan terhadap Republik Indonesia adalah saat ia ditunjuk menjadi anggota delegasi Indonesia bersama dengan Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), Mr. M. Natsir, St. Pamuncak, dan M. Rasyidi (Sekjen Kementerian Keuangan) untuk menghadiri undangan Liga Arab di Mesir. Undangan itu digunakan oleh delegasi Indonesia untuk mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab terhadap kemerdekaan Indonesia.
Di Kairo, A.R. Baswedan dengan kemampuan berbahasa Arabnya berhasil mendekati pemimpin-pemimpin negara Arab dan mendapatkan dukungan dari mereka. Dukungan tersebut sangat penting artinya, karena dengan adanya dukungan tersebut maka kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka telah diakui. Dokumen dukungan dari negara-negara Arab dicatat dalam suatu dokumen yang akan dibawa kembali ke Indonesia.
Keadaan Indonesia yang sedang genting akibat perang antara pihak Indonesia dengan Belanda, menyebabkan beberapa anggota delegasi bertahan di Kairo dan menugaskan A.R. Baswedan untuk membawa dokumen tentang pengakuan kemerdekaan RI kembali ke Indonesia. Sebelum kembali ke Indonesia, Haji Agus Salim berkata kepada A.R. Baswedan: ”Baswedan, bagi saya tidaklah penting apakah saudara sampai di tanah air atau tidak, yang penting dokumen-dokumen itu harus sampai Indonesia dengan selamat.” Memang, perjalanan yang ditempuh A.R. Baswedan cukup sulit, karena adanya hambatan dari pihak sekutu. Meskipun mendapatkan hambatan, akhirnya A.R. Baswedan berhasil membawa dokumen tersebut ke Indonesia dan menyampaikannya kepada Presiden Soekarno.
Menjadi Anggota Parlemen dan Konstituante
Setelah revolusi fisik di Indonesia berakhir dan adanya pengakuan kedaulatan dari Belanda, maka A.R. Baswedan memutuskan untuk pindah ke Jakarta. Di sana ia menjadi anggota parlemen dari partai Masyumi.
Selama menjadi anggota parlemen dari Partai Masyumi, A.R. Baswedan berperan dalam memberikan sumbangan kepada Masyumi tentang paham-paham yang modern di kalangan Islam. Selain itu, ia juga selalu menyebarkan paham dan semangat nasionalisme. A.R. Baswedan dengan gigih menghadapi suasana dan gerakan komunis dengan cara menyumbangkan pikiran dan mengadakan gerakan untuk membendung paham komunis di Indonesia.
A.R. Baswedan juga terpilih sebagai anggota Konstitante dari Partai Masyumi. Di dalam Konstituante, ia berjuang untuk memasukkan Islam sebagai dasar negara. Akan tetapi, perjuangannya ini menemui kegagalan karena Konstituante tidak berhasil menetapkan dasar negara pengganti Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Akhirnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dan pembubaran Konstituante. Dibubarkannya Konstituante, menjadi akhir dari perjalanan politik A.R. Baswedan, karena ia memilih untuk mundur dari dunia politik akibat penyakit yang mulai menderanya.
Menjalani Masa Purna Bakti
Setelah mundur dari dunia politik, A.R. Baswedan memutuskan untuk tinggal di Yogyakarta bersama dengan istri keduanya yang bernama Barkah Ganis (istri pertamanya meninggal pada tahun 1948 akibat serangan malaria). Di kota ini, ia membesarkan ke-11 anaknya hasil perkawinannya dengan Syeikhun dan Barkah.
Di Yogyakarta, A.R. Baswedan kembali aktif di dunia dakwah dan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Daerah Istimewa Yogyakarta, serta mengasuh Badan Koordinasi Pengajian Anak-Anak. A.R. Baswedan juga ikut serta dalam pendirian Lembaga Dakwah Kampus Jama’ah Shalahuddin di Kampus Universitas Gadjah Mada. Lembaga itu didirikan sebagai wadah pergerakan, pembinaan, pengkaderan, dan pelayanan sekaligus pusat keislaman kampus UGM. Akan tetapi, lembaga ini dibubarkan oleh Pemerintah Orde Baru karena banyak anggotanya yang terlibat dalam demonstrasi penentangan pemberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK) pada tahun 1978.
Di usianya yang telah senja, A.R. Baswedan lebih banyak menulis buku dan artikel di media massa. Ia juga menjalin hubungan dengan tokoh budayawan dan pemuka agama di Yogyakarta. Hal itu dilakukannya, karena ia berpandangan dalam pergaulan tidak perlu memandang latar belakang agama dan kedudukan seseorang.
A.R. Baswedan wafat pada tanggal 16 Maret 1986 setelah dirawat beberapa hari di Rumah Sakit Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. Hal itu sesuai dengan keinginan terakhirnya yang tidak ingin dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, karena ia tidak ingin diistimewakan.
A.R. Baswedan merupakan pejuang yang sederhana, dan tidak pernah memikirkan untuk mengumpulkan harta dari jabatan-jabatan yang pernah dimilikinya. Semua itu dilakukannya hanya untuk berjuang demi kesejahteraan bangsa Indonesia. Sampai akhir hayatnya, ia tidak pernah memiliki rumah sendiri. Rumah yang ditempati bersama keluarganya di Kompleks Taman Yuwono Yogyakarta, merupakan sebuah kompleks perumahan yang dipinjamkan oleh Haji Bilal untuk para pejuang revolusi saat ibukota Indonesia berada di Yogyakarta. Mobil yang dimilikinya pun merupakan hadiah ulang tahunnya yang ke-72 dari Adam Malik, Wakil Presiden Indonesia yang ke-3.